Mohon tunggu...
Annisa Mutia
Annisa Mutia Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Pencari ilmu yang berharap mendapatkan bekal yang cukup untuk pulang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Lintasan Pengetahuan

15 November 2011   13:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:38 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya katakan “memberi” karena acapkali orang tua kita yang terhormat yang nama besarnya melambung di tengah masyarakat karena kontribusi dan karya-karya mereka di anggap penting hanya “meluangkan” waktu bagi anak-anak mereka tanpa mau tau lebih dalam dan memperhatikan proses apa yang tengah terjadi pada anak-anak mereka. Mereka seringkali bahkan hanya menjadwalkan waktu sisa pada anak mereka untuk kegiatan yang tidak begitu memberi pengaruh bagi perkembangan psikis mereka, seperti jalan-jalan ke Mal untuk membelikan mainan atau benda yang diidam-idamkan anak-anak mereka. Mereka jarang sekali mengajak anak-anak untuk rihlah, mencari hikmah kehidupan melalui kegiatan bermanfaat  yang dilakukan secara bersama. Rihlah bisa dilakukan dengan cara sederhana sperti mengajak anak-anak untuk bersilahturahmi ke rumah guru orang tua mereka yang telah sepuh sambil memberikan bingkisan. Juga bisa dilakukan dengan mengajak anak mencari beberapa teman mereka yang kurang mampu untuk diajak menginap di rumah pada bulan ramadhan untuk berbuka dan sahur bersama. Kegiatan yang sederhana memang, tapi saya yakin akan membekas dalam di hati anak-anak hingga kelak mereka dewasa. Hemat saya, kegiatan yang terakhir ini jauh lebih valuable dari sekedar jalan-jalan di Mal, atau makan-makan di restoran.

***

Hampir mirip-mirip dengan Kriwil, banyak ditemukan anak-anak yang disekolahkan di Pesantren atau boarding school, sepulangnya mereka menjadi anak-anak yang lepas kendali. Barangkali ada dua analisa untuk hal ini, pertama, anak-anak hanya mengangap peraturan yang baik tempatnya adalah di asrama Pesantren, sedangkan di rumah mereka bebas melakukan apa saja. Ini pun bukan tanpa sebab, orang tua mereka cenderung memperlakukan mereka secara longgar di rumah ketika mereka liburan sekolah dan pulang ke rumah, apalagi jika di rumah pola hidup yang diterapkan tidak Islami, di tambah lagi mereka mungkin tidak diberi pemahaman yang kontinue mengenai alasan mendasar orang tua memasukkan anak-anaknya ke Pesantren atau boarding school.  Sering orang tua mengatakan begini ketika anaknya memohon-mohon agar tidak dimasukkan Pesantren,

“Pokoknya kamu harus masuk, titik! Jangan membantah orang tua. Papa tau yang terbaik untuk kamu!!” dengan nada tinggi sambil menghentak meja.

Sebaiknya lah para orang tua menjelaskan kepada anak-anak mereka tentang mengapa mereka melakukan ini, mengambil keputusan itu, mengapa mereka harus masuk pesantren sedini mungkin, tentu dengan bahasa yang paling mudah yang mungkin mereka fahami.  Dengan jalan ini mereka tentu akan lebih mudah menyesuaikan diri dan berusaha memenuhi harapan orang tuanya karena mereka merasa “dipercaya” mampu melakukan amanah tersebut.

Kedua, alasan dari orang tua sendiri untuk mengelak dari tanggung jawab pendidikan moral anak. Seperti yang sudah saya katakan di awal, banyak orang tua yang menyerahkan bulat-bulat pendidikan akhlaq anaknya kepada institusi pendidikan agama, ini jelas salah kaprah! Orang tua mestinya menjadi teladan pertama dan rujukan utama bagi anak dalam hal menanamkan budi pekerti, kemandirian dan kesalihan. Sering kali orang tua menyuruh anaknya pergi mengaji dan marah kalau anaknya tidak pergi, di saat yang sama si orang tua ini malah menghidupkan TV dan menonton sinetron. Ada lagi orang tua yang sibuk dengan bisnis dan selalu menjejali anak-anak mereka dengan limpahan fasilitas modern yang belum waktunya bagi si anak untuk menikmati, tanpa pernah sedikitpun mengajak si anak untuk melihat dan tau  bagaimana letihnya si orang tua tadi membangun bisnisnya, apalagi orang tua yang mau repot mengajak anaknya untuk belajar terlibat dalam bisnis, sangat sedikit sekali. Padahal ini pelajaran penting tentang bagaimana menghargai kerja keras dan bersungguh-sungguh dalam berusaha.  Entah kita tergolong dalam jenis orang tua yang mana.

***

Konsistensi, barangkali menjadi kata kunci dalam tulisan ini.  Pisau yang tajam hanya dapat dihasilkan dari proses memanaskan besi berkualitas baik dan memukulnya berkali-kali, terus-menerus. Kopi yang nikmat aroma dan rasanya yang sering kita rindukan untuk di minum di waktu rehat dan diskusi bersama sahabat-sahabat dekat di warung kopi langganan juga hanya mungkin di peroleh dari proses yang panjang dan sedikit jelimet, mulai dari menjemur biji kopi, mengggongsengnya  bersama beras hingga hitam diatas bara api, kemudian menumbukknya atau menggilingnya menjadi bubuk baru menyuguhkannya dengan air panas setelah ditambah sedikit gula… Begitulah hidup ini dan seni mendidik manusia. Perlu usaha yang tidak putus dan berulang agar pendidikan akhlaqul karimah yang ditanamkan orang tua tidak hanya menjadi lintasan pengetahuan saja namun menjadi karakter dan kuat terpatri di alam bawah sadar anak-anak. Orang-orang yang sukses dalam artian punya kredibilitas dan integritas yang tinggi yang namanya harum sepanjang zaman dan pengaruhnya terus hidup di hati banyak orang yang terinspirasi kemungkinan besar ditempah seperti biji kopi tadi.

Menutup tulisan sederhana ini saya mengutip kata-kata hikmah dari dua orang yang sangat saya kagumi;

“Sedikit namun terus menerus akan lebih baik daripada banyak tapi terputus-putus” (Ali bin Abi Thalib as dalam Ghurar al-Hikam, pasal 49, nomor 37)

“ Ketika anak-anak akan menginjak remaja, dan mereka telah memahami perkataan orang dewasa, maka ajarkanlah kepada mereka bahwa tujuan dari memiliki kekayaan dan sebagainya itu adalah untuk kekuatan dan kesehatan badan, agar mereka tidak jatuh sakit dan bisa mengumpulkan bekal untuk hari akhirat. Jelaskan juga kepada mereka bahwa kelezatan badan itu tidak lain adalah terlepas dari penderitaan” ( Khoja Nashiruddin Thusi dalam Akhlaq Nashiri, hal., 227).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun