Mohon tunggu...
Annisa Maulidya
Annisa Maulidya Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Pendidikan Sosiologi

and u gonna be happy

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pro dan Kontra Rencana Kemendikbud Mengenai Penerapan Kurikulum 2022 pada Sekolah di Indonesia

25 Desember 2021   00:26 Diperbarui: 25 Desember 2021   00:34 7984
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih dari web yang sama, seseorang juga menjelaskan mengenai pendapat setujunya "Saya rasa peminatan MIPA,IPS,BAHASA memang harus dihilangkan. Karena pada kenyataannya jurusan MIPA terkadang lebih diperhitungkan atau lebih 'dispesialkan' dari peminatan lainnya. Bahkan di beberapa sekolah peminatan atau jurusan bahasa di khususkan untuk anak-anak yang menurut mereka memiliki sifat 'nakal' dan jurusan atau peminatan bahasa bahkan disebut sebagai kelas buangan. Padahal semua siswa memiliki hak yang sama mendapat perhatian dari sekolah maupun guru. 

Bayangkan saja anak mau sekolah mau masuk jurusan atau peminatan bahasa tapi tidak diijinkan karena jurusan bahasa dikenal dengan kelas buangan. Sehingga langkah Kemdikbud mau menghilangkan peminatan saya rasa sudah pas agar tidak ada lagi jurusan atau peminatan yang 'dispesialkan' dan tidak ada lagi sebutan 'kelas buangan' " (Wisly).

Kemudian dilansir dari platform aplikasi Twitter, beberapa masyarakat juga setuju mengenai rencana K-22 tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh user bernama @yujianzia "Kalau kata aku pribadi, pendidikan seharusnya bukan fokus jurusan, tetapi fokus pada pengembangan diri siswa. Jadi, aku berharap nantinya kalau bener, sudah tidak ada lagi yang merasa 'salah jurusan' ". User bernama @renzdr1 berkomentar hal serupa "Wah setuju banget nih! Aku pengen banget kaya gini dari dulu supaya lebih fokus sama cita-cita. Sebab kebanyakan siswa zaman sekarang salah jurusan, dalam artian sebenarnya dia mau kuliah jurusan ini, tapi malah masuk jurusan itu".

Adapun pendapat masyarakat yang kontra mengenai penerapan Kurikulum 2022 tersebut, dilansir dari web berita Theblaemblaem.com salah seorang guru dari daerah menyuarakan pendapatnya, "Kenapa tidak di lanjutkan yang sudah ada saja. Yang sudah ada saja bikin pusing pelatihan ini pelatihan itu. Akhirnya yang jadi korban peserta didik. Suara guru dari daerah terpencil" (Rasati). 

Kemudian ada juga pendapat lainnya "Menurut saya, kenapa tidak kembali saja seperti kurikulum tahun 2002? Dimana penjurusan dilakukan saat sudah menginjak kelas 12. Saran saya fullday school yang harus dihapuskan, karena membuat siswa dan guru jadi lelah di sekolah dan tidak ada kesempatan untuk refresh sejenak. Membantu orang tua sepulang sekolah pun tidak bisa" (Budiana).

Melalui platform diskusi Twitter juga ada salah seorang siswa dengan nama user @tyongbbx menyuarakan kegelisahannya mengenai banyaknya mata pelajaran yang akan di pelajari saat kelas 10, "Yaampun! aku siswa kelas 10, otomatis aku kebagian kebijakan ini dong ya? Bakalan banyak banget pasti pelajaran di kelas 10! Bisa stress aku kalau begini". 

Ada juga dari user @danielIDCLF mengemukakan opininya, "Secara teori sih bagus ya, tetapi pasti aplikasinya kurang begitu lancar. Pasalnya kapasitas siswa IPA dan IPS berbeda apalagi jumlah guru mata pelajaran tersebut. Lalu, penilaian masuk Universitas juga kan masih menggunakan sistem SAINTEK dan SOSHUM. Perubahan kurikulum begini harus diimbangi dengan guru-guru juga harus di-update".

Selanjutnya dilansir dari CNN Indonesia, seorang guru sekolah swasta di DKI Jakarta bernama Satriwan Salim yang juga menjabat sebagai koordinator nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengatakan bahwa Program Sekolah Penggerak (PSP) yang diusulkan oleh Mendikbudristek berjalan eksklusif karena tak semua sekolah bisa ikut dalam program tersebut. 

Satriwan mengaku khawatir mekanisme dan sistem pelaksanaan program tersebut akan memunculkan kasta-kasta. Pasalnya, pembelajaran di Sekolah Penggerak berbeda daripada sekolah umumnya, bahkan Sekolah Penggerak menerapkan kurikulum yang berbeda dari sekolah lainnya. Sebelum penerapan kurikulum dimulai, sekolah terlebih dahulu mengikuti pelatihan agar menguasai kurikulum baru tersebut. Satriwan menilai banyak masalah yang ia temukan dalam kurikulum itu karena dilakukan secara terburu-buru.

Berkaitan dengan bahasan tersebut, Ralph Dahrendorf mengungkapkan konflik terjadi di masyarakat terjadi karena adanya relasi-relasi sosial dalam sebuah sistem. Relasi-relasi tersebut diklasifikasikan berdasarkan kekuasaan. Mendikbudristek disini tentunya memegang kekuasaan serta hak yang dapat digunakan untuk merencakan sistem pendidikan yang baik bagi masa depan negara.

Istilah kunci dari teori konflik Dahrendorf adalah 'kepentingan'. Dalam kelompok pasti terdapat dalam dua perkumpulan, ada kelompok yang berkuasa dan kelompok yang dibawah (bawahan). Kedua kelompok tersebut tentu mempunyai kepentingan yang berbeda tetapi terkadang dipersatukan oleh kepentingan yang sama. Menteri disini diposisikan sebagai yang memegang kuasa, sedangkan masyarakat sebagai pihak yang berada dibawah. Melihat banyak opini masyarakat yang kontra mengenai kebijakan tersebut, jelas terdapat perbedaan kepentingan antara pemerintahan dengan yang kontra. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun