Mohon tunggu...
Annisa Maudy Maharani
Annisa Maudy Maharani Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

things will get better

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Buasnya Mobilisasi Informasi tanpa Literasi

27 Mei 2021   13:35 Diperbarui: 27 Mei 2021   13:52 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pada era globalisasi atau modernisasi saat ini, kasus hoaks sedang marak terjadi di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia. Era tersebut mendorong kemajuan teknologi informasi yang semakin pesat dan berakibat pada munculnya sisi negatif dan positif. 

Salah satu sisi positif era globalisasi adalah adanya kemudahan dalam mencari bahan literasi, sedangkan sisi negatifnya adalah kurangnya kesadaran masyarakat dalam berliterasi, sehingga mudah terpengaruh oleh hoaks (berita palsu tanpa ada fakta). Berdasarkan data yang diakumulasi oleh Kominfo, terdapat 3.356 total hoaks yang ditemukan selama periode Agustus 2018 - September 2019 (Kominfo). Hoaks mengalami kenaikan yang signifikan pada bulan Februari hingga Mei, dengan puncaknya pada April 2019, bertepatan dengan Pemilu 2019.

‘Tangan-tangan’ Tak Kasat Mata dalam Penyebaran Hoaks

Berbicara tentang hoaks di era kemajuan teknologi informasi, Tsfati dkk. (2020) menyatakan bahwa media berita arus utama rupanya memainkan peran yang penting dan signifikan dalam penyebaran berita palsu (hoaks). Adanya hoaks yang diciptakan media berita dilandasi oleh beberapa alasan, salah satunya adalah karena berita palsu membawa nilai berita yang sangat besar. Selain itu, mereka juga merasa bahwa beberapa berita palsu tersebut sesuai dengan kecenderungan ideologis mereka.

Pembingkaian (framing) dalam pemberitaan juga turut berperan dalam penyebaran hoaks. Pembingkaian dapat diartikan sebagai cara mengkomunikasikan sebuah berita. Cara pesan dikomunikasikan pun memengaruhi cara kita bereaksi (Riebling & Wense, 2019). Berawal ketika media massa membentuk suatu pembingkaian terhadap isu-isu yang sedang hangat, lalu pembingkaian itu memicu adanya pro dan kontra terhadap pemahaman masyarakat dalam isu tersebut. Efek ini secara konsekuen berarti bahwa bingkai dapat digunakan untuk tujuan strategis.

Hal konkret terjadi pada video pidato Presiden Joko Widodo ketika mengajak masyarakat menikmati kuliner khas nusantara di Hari Bangga Buatan Indonesia (BBI), yang kebetulan berdekatan dengan Hari Raya Idulfitri. Babi panggang (bipang) Ambawang merupakan salah satu kuliner nusantara yang ingin dipromosikan. 

Terkait kasus tersebut, berbagai media berita pun membuat berita dengan bingkai yang beragam, sehingga menimbulkan pro dan kontra publik. Banyak yang menganggap bahwa Jokowi mengajak masyarakat Indonesia untuk makan babi panggang–yang notabenenya merupakan makanan haram bagi umat Islam–di hari lebaran. Interpretasi yang salah itu pun menyebar ke ranah publik dan berkembang menjadi berita bohong, bahkan sampai ada yang menuduh bahwa Jokowi melecehkan umat Islam (Twitter).

Karakter Asli Masyarakat Indonesia dan Peranan Literasi dalam Mobilisasi Informasi

Seiring berjalannya waktu, kita dapat melihat bahwa kasus hoaks sering kali berkaitan erat dengan motif politik. Adanya tujuan-tujuan tertentu untuk menjatuhkan seseorang atau pemerintahan yang berkuasa untuk memimpin suatu daerah ataupun negara melalui cara merusak citra yang bersangkutan dengan penyebaran berita hoaks berbau SARA. Hoaks memiliki tujuan untuk kepentingan manuver politik dan penyebaran hoaks memiliki motif yang merujuk pada pertarungan dan kekuasaan di dunia maya (Haryadi, 2017).

Fokus lain yang menarik untuk dibahas adalah, “Mengapa banyak masyarakat Indonesia percaya pada hoaks?” Menurut Mulyana (dalam Marwan & Ahyan, 2016), faktor utama yang menyebabkan hoaks dengan mudah tersebar di Indonesia adalah karakter asli masyarakat Indonesia sendiri yang dinilai tidak terbiasa dengan perbedaan pendapat atau berdemokrasi secara sehat, sehingga masyarakat Indonesia langsung menerima suatu berita tanpa melihat sumber dan kejelasan berita tersebut. Hal ini juga didukung oleh berita hoaks yang terbit dari situs-situs berita yang sudah terkenal, baik dari situs dalam negeri maupun luar negeri, yang menyebabkan masyarakat sangat percaya akan kebenaran berita tersebut tanpa berusaha untuk menelaah faktanya.

Selain itu, kebiasaan masyarakat yang selalu menyimpulkan berita dari satu sisi saja tanpa memeriksa faktanya terlebih dahulu ini disebabkan oleh minimnya pengetahuan dan rendahnya tingkat literasi. Menurut Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, Indonesia menempati peringkat 62 dari 70 negara dalam hal tingkat literasi (Kemendagri). Rendahnya literasi ini pun dapat menimbulkan penyimpangan pandangan terhadap isu-isu yang terjadi di sekitar masyarakat Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun