Mohon tunggu...
Annisa Malchan
Annisa Malchan Mohon Tunggu... -

Tuan atas pikiranku. Learning how to learn. UIN SUKA | Fishum | Psycho '16

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Agama(mu) atau Entahlah

11 September 2016   06:52 Diperbarui: 11 September 2016   09:05 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Aku beragama!” Otot-otot lehernya terlihat. Mukanya merah sampai ke leher. Matanya seperti hendak melompat keluar. Telinganya panas. Aura tidak enak dan penuh akan kebencian menguar di udara. Hal busuk apa yang kira-kira menyebabkan semua ini, tidak seorangpun berani menjawab. Beberapa tahu jawabannya, tapi enggan bersuara.

Seorang di depannya tersenyum. Ia menyeringai. “Aku percaya.”

Dia melihat dari ujung kepala ke jari-jari, lalu kembali naik ke kepala. Badannya mengalami tremor ringan akibat amarah dan kebencian yang mengambil alih jiwanya. Wajah orang di depannya yang serupa kepiting rebus itu justru memancing gelak tawa yang tiada bisa mereda baginya.

“Hei, Aku, saya harus pergi.”

“Enak saja Kamu!” Aku geram sekali. Dia menyingsingkan lengan kanan dan kirinya. Tapi manusia di depannya bahkan tak bergerak. “Sini, kita debatkan lagi agamamu itu. Agama sesat yang dibawa setan itu!”

“Dari perspektif mana Anda memandang sesat agama saya, Aku?” Tanyanya dengan tenang. Senyumnya tipis saja menyiratkan kebijaksanaan yang hakiki. “Dari agama(mu)?”

“Dengar, ya, Kamu!” Aku terengah. “Agamamu itu sesat! Jahil! Kamu itu harus mau kalau sedang diceramahi! Dengarkan, Kamu!”

Kamu sekali lagi tertawa.

“Aku yang baik budi. Sungguh. Pembaca akan tahu dengan mudah—tanpa analisa atau hal-hal rumit lainnya—alasan mengapa Anda bernama Aku dan aku bernama Kamu. Mengapa pula Anda digambarkan beragama paling benar sedang aku hanya mengumbar tawa sebagai tanggapan. Bahkan sekalipun mereka tidak tahu apakah aku beragama juga atau tidak.”

Aku tertegun. Ia tercekat. Ia ingin mengatakan sesuatu tapi tak tahu apa itu. Kata-katanya hilang dan menguap seperti proses evaporasi. Absolut, pasti. Mengendapkan entah apa entah di mana. Aku mual. Aku merasa tubuhnya limbung.

Gelap. Cerita hampir selesai. Pengarang berharap begitu. Tapi Aku rupanya masih membuka matanya. Ia limbung dan hilang kesadaran, tapi matanya tak terpejam. Kamu berjalan mendekat. Ia mengulurkan tangannya pada Aku. Lalu, apa yang sudah bisa dibayangkan pembaca benar-benar terjadi. Pengarang berharap tak harus menjelaskan tentang apa itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun