toxic masculinity, toxic masculinity memiliki banyak dampak buruk bagi kehidupan sosial dan kesehatan mental bagi laki-laki.
“Kamu kan laki-laki, masa begitu saja nangis sih!” Apakah kamu pernah mendengar atau mendapatkan kalimat tersebut? Kalimat tersebut merupakan salah satu contohToxic masculinity merupakan salah satu dampak negatif dari sistem patriarki, patriarki merupakan sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan property. Sistem patriarki ini menempatkan bahwa laki-laki harus selalu melebihi perempuan dan tidak boleh mengekspresikan kesedihannya dengan menangis karena tangisan dianggap mencerminkan kelemahan.
Secara sederhana istilah toxic masculinity adalah suatu perilaku yang terkait dengan peran gender dan sifat laki-laki yang dominan, cenderung melebih-lebihkan standar maskulinitas pada laki-laki. Budaya toxic masculinity sudah dianggap sebagai suatu hal yang biasa dan harus dilakukan, akan tetapi budaya inilah yang justru akan memberikan beban berat kepada pria dalam menjalani kehidupannya. Toxic masculinity mengharuskan laki-laki berperilaku dengan “memaksakan” standar “jantan” atau “laki-laki sejati” dimana laki-laki tidak boleh menangis, tidak boleh bermain dengan anak perempuan, dilatih bermain permainan fisik, dan stereotip lainnya.
Toxic masculinity dapat dikenali dengan ciri-ciri dibawah ini:
a. Mempunyai pandangan bahwa laki-laki tidak seharusnya mengeluh dan menangis.
b. Laki-laki cenderung bersikap kasar terhadap orang lain.
c. Rasa mendominasi terhadap orang lain.
d. Agresif, bahkan kasar secara seksual terhadap pasangan atau orang lain.
e. Laki-laki tidak perlu membela hak kaum perempuan dan kaum marginal lain.
f. Menganggap kegiatan dalam rumah tangga seperti memasak, menyapu, berkebun, dan mengasuh anak sebagai tugas perempuan.
Toxic masculinity memberikan dampak yang buruk bagi kesehatan mental laki-laki, yang bisa menjadi egois, kurang empati, dan berperilaku kasar. Jika ada laki-laki yang tampaknya tidak sesuai dengan maskulinitas yang mapan, laki-laki tersebut dikenakan sanksi sosial, seperti pengucilan dan penindasan sosial. Konstruksi sosial toxic masculinity yang telah terbangun di masyarakat menyebabkan krisis identitas ketika laki-laki berusaha mencapai maskulinitas ideal. Hal ini menyebabkan laki-laki menunjukkan kurangnya empati, terlibat dalam perilaku kasar terhadap yang lain, didiagnosis dengan lebih banyak gangguan mental dan menghindari mencari bantuan profesional. Hal ini bukan hanya berdampak kepada laki-laki itu sendiri, tetapi juga berdampak kepada orang lain dimana mereka akhirnya menjadi korban dari kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki. Pada tahun 2018 dan 2019, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat beberapa kasus kekerasan seksual pada anak perempuan dan anak laki-laki yang dilakukan oleh laki-laki.