Mohon tunggu...
Annisa Kusuma Rahmawati
Annisa Kusuma Rahmawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Saya sebagai Mahasiswa Universitas Airlangga Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kurikulum Sastra: Pahami Karakter Value Sebuah Karya Sastra!

2 Juli 2024   14:47 Diperbarui: 2 Juli 2024   15:00 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Foto pribadi

Sastra menjadi kurikulum menjadi keputusan yang menggugah metode pembelajaran dari setiap sekolah di Indonesia. Sastra sebagai tambahan dalam kurikulum tentu mendapat perhatian dari para siswa-siswi yang sudah siap menerima pembelajaran. Sekarang keputusan dari Kemendikbudristek terkait memasukkan sastra kedalam Kurikulum Merdeka menjadi langkah tepat dalam meluaskan pemahaman peserta didik terkait peran sastra dalam memandu kondisi kehidupan. Begitupun ketika saya membaca sebuah karya sastra. Karya sastra dengan elok mengajak saya untuk berani mengambil keputusan dalam cerita yang saya baca, tidak sekadar membaca dan memahami, bacaan sastra mengolah pemikiran saya agar semakin tajam dalam mengolah permasalahan melalui cerita yang disuguhkan.

Karya sastra seperti novel maupun puisi bukan hanya menyajikan sebuah tulisan yang kemudian ditafsirkan secara kasar dan tidak berdasarkan teks dalam muatannya. Karya sastra juga tidak hanya berisikan sebuah goresan tinta untuk menjadi imajinasi pembacanya namun justru karya sastra mengajak pembacanya untuk beradu peran dan secara eksklusif memahami gejolak permasalahan yang dikemas melalui sebuah cerita. Ketika mulai tekun membaca karya sastra, sering muncul kerutan di dahi saya sebab merekam kejadian absurd yang tertuang dalam karya sastra tersebut, baik genre prosa maupun drama. Fenomena itu yang menurut saya menjadi magnet kuat dari keberadaan sebuah karya sastra, mampu mengimbangi ruang utopis sekaligus ketegangan dari pemikiran pembacanya.

Dalam beberapa karya sastra yang sudah saya baca memang tidak sedikit yang memuat unsur seksualitas maupun kekerasan sebagai bentuk penguat jalannya cerita. Hal tersebut ternyata menjadi salah satu problem yang dihadapi oleh Kemendikbudristek saat meluncurkan ‘buku’ “Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra”. Buku panduan tersebut ramai menjadi perbincangan lantaran beberapa pilihan buku mengandung unsur kekerasan dan pornografi. Dengan kritik yang sudah tersalurkan akhirnya menjadi pertimbangan bagi pihak Kemendikbud untuk mencabut dan merevisi atas kritikan yang diterima.

Ketika membaca sebuah karya sastra kita tidak seharusnya menelan mentah-mentah tulisan, memahami secara generalitas, dan mengukur secara kasar dari hal yang ditimbulkan. Kekuatan karya sastra terletak dari tulisannya yang bersifat ‘tidak sekali baca, harus berulang-berulang’ sehingga karya sastra mampu menjadi media ‘berpikir dua kali’ bagi pembacanya. Karya sastra memang mampu memberikan ruang ekspresi yang luas karena karya sastra banyak membekali pembacanya tidak hanya terkait adegan romasa namun juga terselip cerita sejarah, rasa spiritualitas, budaya, norma, bahkan edukasi yang seharusnya tersalurkan melalui adegan kekerasan maupun seksualitas. Karya sastra juga dapat mengandung benturan keras bagi oknum penguasa seperti pada puisi-puisi karya Chairil Anwar. Karya sastra banyak melahirkan peradaban komunikasi dalam mengupas kekejaman ataupun kemunafikan sebuah kekuasaan di zaman yang kelam. Dan karya sastra menjadi tulisan dengan pemaknaan yang menyadarkan pembaca. Seperti kutipan dari John F. Kennedy dalam buku Max Havelar, “Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya”.

Karya sastra memang sangat mampu menajamkan pemikiran kritis peserta didik apalagi ketika diajarkan semenjak masih duduk di sekolah dasar. Namun tetap diperlukan pendampingan serius dan matang dari pengajar/pembimbing/guru yang menyampaikan karena tidak dapat terelakkan jika terdapat peserta didik yang terpengaruh akan adegan-adegan yang mereka rekam melalui cerita dari karya sastra sehingga terjadi tindakan-tindakan impulsif semata. Dari pengalaman saya sendiri, memang banyak kejadian dari sebuah karya sastra yang mudah diamini sehingga mengelabuhi pemikiran para pembaca dan hal-hal demikian yang harus menjadi patokan dalam membekali pembelajaran dengan karya sastra.

Dengan segala bentuk penyampaian certia dalam sebuah karya sastra, saya sangat setuju jika karya sastra menjadi media pemikiran kritis bagi setiap pembacanya. Tidak sedikit imbas positif yang bisa saya resapi ketika selesai membaca sebuah karya sastra, seperti halnya saat membaca novel karya Ziggy zezsyazeoviennazabrizkie yang berjudul “Semua Ikan di Langit” maupun novel berjudul Pulang karya Leila S. Chudori. Dari kedua novel tersebut saya dapat merasakan value yang berbeda, yakni value spiritualitas manusia dengan Tuhan melalui novel “Semua Ikan di Langit” dan dari novel “Pulang” saya banyak mendapat insight soal tragisnya sejarah Indonesia (kehidupan politik yang kocar-kacir pada masa orde baru hingga praorde baru), persahabata, cinta, bahkan pengkhianatan.

Sedikit akan saya singgung bagaimana kesan saya ketika membaca kedua novel yang luar biasa tersebut.

Seperti Cerita Fabel Namun Justru Perasaan spiritual Pencipta dengan hamba-Nya melalui novel “Semua Ikan di Langit” karya Ziggy zezsyazeoviennazabrizkie

Perjalanan dari sebuah bus damri berwarna biru dengan penumpang uniknya, seorang anak laki-laki memakai jubah yang ditemani ikan julung-julung di setiap tubuhnya dan seekor kecoa perempuan dari Rusia (bule katanya). Akhir cerita ini seakan menggambarkan pula diri kita yang menyelimuti tubuh kita sendiri, bagaimana diri kita selalu hadir untuk menyayangi tubuh kita, bagaimana diri kita senantiasa memberikan kehangatan cerita dibalik setiap kisah kita dan hanya diri kita yang mengetahui kondisi tubuh kita. Setiap pergerakan tubuh kita akan selalu bersinyalir dengan eksistensi Tuhan, akan selalu tersinkron dengan rasa sayang kita ke Tuhan maupun sebaliknya. Dan sekiranya tidak hanya terkait manusia, namun hal-hal yang bersinggungan dengan manusia itu sendiri, kisah-kisah nabi contohnya.

Teringat pernyataan bahwa ketika kita ingin dekat dengan Tuhan maka sayangilah diri sendiri terlebih dahulu karena Tuhan senantiasa bersemayam dalam diri umatnya. Ketika kita melakukan sebuah hal kurang menyenangkan maka reaksi luar tubuh kita seakan menjadi sinyal bahwa Tuhan pun merasakan emosi dalam diri umatnya, lingkungan pun ikut memberikan reaksinya. (Hal 63)

Bersemayam Berkelana Dalam Cinta, Persahabatan, Pengkhianatan, Dan Sejarah Indonesia melalui novel “Pulang” karya Leila S. Chudori

Banyak air mata yang berani terjun setiap saya membaca setiap sudut pandang tokoh dalam novel ini. Saya merasa akan selalu diantarkan pada jawaban yang selama ini saya butuhkan sebagai bentuk validasi. Pada awalnya saya mengira cerita Hananto akan berperan besar di sini, ternyata dia berperan besaar untuk menunjang cerita Dimas Suryo dan Lintang Utara. Mulai dari kisah Indonesia 1965 yang mengantarkan Dimas hingga bisa menuju Perancis dan bertemu le coup de foudrenya, salah satu mahasiswa Universitas Sorbonne, Vivienne Deveraux. Kisah mereka bahkan tidak terbayangkan denganku. Karakter setiap tokoh dalam buku ini memiliki kekuatannya masing-masing. Saya ketika banyak membaca nama Vivienne seakan melihat betapa teraturnya perempuan ini, banyak keingintahuan, dia selalu berhasil membaca keadaan, dan bisa menempatkan keadaan tanpa melibatkan perasaan pribadinya. Saya sangat terkesan dengan sosok Vivienne, dia bukan pendedam semata, bahkan dia mudah mengutarakan jika memang buka itu tujuan dia. Karakter Vivienne yang mandiri dan tangguh harus bersanding dengan Dimas yang menurut saya terlalu banyak memastikan sebuah kesempatan, tidak salah jika ingin berkelana atau berpengalaman namun dengan pendiriannya yang goyah dengan pemikirannya sendiri seakan membuat Dimas mudah terperangkap dalam emosionalnya. Namun terdapat karakter Dimas yang bisa menjadi tonggak ketangguhan bagi saya pribadi, rasa ‘pulang’ yang selalu tersemat dalam benak Dimas. Perasaan tersebut seakan menyeret saya dalam situasi masa lalu yang memang tidak seharusnya dilupakan, rasa yang tidak berhak menjadi abu-abu dan harus tetap dipertahankan. Setiap tokoh memiliki gertakan masing-masing dalam karakternya, termasuk Lintang Utara. Karakter Lintang pasti banyak menjadi idaman ketika sudah berpikir rasional namun banyak menyangkal sebuah prediksi yang bahkan tidak ia ketahui akan ia hadapi atau tidak kedepannya. Saya cukup mengagumi sosok Lintang karena bersikap lugas dalam setiap keputusannya dan berani untuk menujukkan aksinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun