Para perantau spontan Bugis lebih sukses daripada program transmigrasi yang sangat mahal dalam mengolah wilayah perekonomian baru di Irian Jaya, Maluku, Sulawesi Tengah, Kalimantan, Sumatera, dan bahkan hingga ke Malaysia. Bagian kedua, mereka telah menyebabkan tanah Bugis menjadi wilayah berpopulasi terendah diluar dari Jawa (dibawah 1% per tahun untuk seluruh kabupaten Bugis pada sensus tahun 1971 dan 1980). Bahkan masyarakat Toraja telah mengadaptasi tradisi keahlian mereka dengan begitu baik hingga era penggunaan mesin, akhirnya mereka sekarang yang menguasai bisnis bengkel mesin di bagian timur Indonesia.
Tetapi sebelum mengelu-elukan Sulawesi Selatan sebagai kunci masa depan, sejumlah fakta tidak menyenangkan perlu dicatat. Dibalik semua tradisi kewirausahaan, provinsi ini tetap berada di bawah rata-rata pendapatan per kapita di Indonesia, khususnya keturunan Makassar, yang berani menentang VOC pada masa abad ke-17, sekarang menjadi masyarakat paling miskin di Indonesia di abad ke-20. Selain dari beberapa tokoh, seperti mantan Menteri Riset dan Teknologi, dan Presiden Indonesia ketiga, Profesor Habibie, prestasi pendidikan di wilayah ini tidak tergolong istimewa menurut sensus pada tahun 1920 dan 1930 tingkat keberaksaraan bahkan berada jauh di bawah angka rata-rata di Indonesia, dan baru saja menghasilkan lulusan sarjana di tahun 1945.Â
Seringnya terjadi perang melawan Belanda, dan belakangan pemerintahan Indonesia, tidak hanya menghambat pembangunan infrastruktur perekonomian, tetapi juga mempererat konservatisme sosial yang berpandangan mundur. Melihat ke belakang pada abad ke-19, wilayah ini melahirkan pelaut gagah berani yang mengisi sebagian besar kantong budak di Batavia. Tak ada wilayah di Indonesia, atau bahkan Asia Tenggara, yang begitu teguh memegang konsepsi hierarki sosial, dari seorang bangsawan turunan dewata hingga hamba sahaya, seperti mereka.
Ada satu masa perubahan besar-besaran di Sulawesi Selatan tumbuhnya kota dan kerajaan Makassar sebelum 1660-memberi cahaya terang tentang sifat-sifat pertumbuhan tradisi budaya ini, yang memungkinkan orang-orang Makassar menanggapi secara positif akan tuntutan perubahan.
• KETERBUKAAN (Kemajuan)
Sejarah negara Indonesia terkait dengan pertumbuhan kerajaan-kerajaan hingga mencapai masa keemasan singkat sebelum digantikan oleh pusat kemajuan lainnya. Di wilayah yang terkena imbas perdagangan internasional yang tidak terarah, dan keganasan perang maritim, perubahan tak dapat terelakkan. Meski mengalami konteks semacam ini laju pertumbuhan Makassar tetap hebat. Sampai tiga dekade awal abad ke-16, belum ada pusat perdagangan di Sulawesi yang pernah memainkan peran dalam percaturan internasional. Alur perdagangan utama mencapai rempah di Maluku melewati jalur jauh ke selatan, melewati gugusan Nusa Tenggara.
Pada wilayah kota Makassar masa kini berdiri dua benteng kerajaan Goa dan Talloq, tapi belum ada komunitas pedagang yang menghuninya hingga sekelompok pedagang Melayu menjadikannya sebagai pusat dari perdagangan pada pertengahan abad ke-16. Semenjak awal abad ke-17, Makassar menjadi titik komersial, sebagai basis bagi semua pihak yang sedang mencari jalan untuk menghindari usaha VOC memonopoli perdagangan rempah di Maluku.
Kebijakan pintu terbuka ini bisa dipandang tak lebih sekadar sikap pragmatis terhadap kebutuhan perdagangan Makassar. Tetapi, kebijakan ini disertai dengan kesediaan yang unik untuk mengadopsi ide pikiran yang segar dan yang dianggap bermanfaat. Cara penulisan kronik Goa dan Talloq tak pelak lagi menyiratkan bahwa penulisannya tidak meragukan konsep kemajuan. Makassar beralih dari satu keberhasilan menuju keberhasilan lain, tak hanya dalam soal penaklukan tetapi juga dalam inovasi teknik dan intelektual.
• PLURALISME
Terbaginya kekuasaan telah menjadi aturan ketimbang keluarbiasaan dalam sejarah negara Indonesia. Tetapi, ini sangat berbeda dengan menerima kewajaran akan keberagaman negara-negara yang berdaulat dan setara. Merle Ricklefs (1974) telah menjelaskan dengan baik, misalnya, kesenjangan antara ideologi persatuan di Jawa dan keterbelahan dalam realitasnya.Â
Mitos politik Jawa, seperti dengan Minangkabau atau Aceh atau Malaka joho, adalah turunan dari sumber kekuasaan dan legitimasi magis yang sama. Kekuasaan seorang raja Jawa selalu menjadi ancaman bagi yang lain. Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, dimana Surakarta dan Jogjakarta saling mengakui eksistensi legitimasi masing-masing, mungkin baru diperkenalkan oleh Belanda. Hal ini menciptakan masalah ideologi yang serius bagi raja-raja Jawa dan kroniknya.