Mohon tunggu...
Annisa Nurizky
Annisa Nurizky Mohon Tunggu... Freelancer - Sharing Content

✨ Mahasiswa ✨ ✨ Freelancer ✨ ✨ Illustrator ✨

Selanjutnya

Tutup

Analisis

PROSES PERUMUSAN RUU CIPTAKER DALAM PERSPEKTIF PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT BANGSA INDONESIA

26 November 2020   09:00 Diperbarui: 26 November 2020   14:16 754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Maka dari pandangan-pandangan tersebut, sistem filsafat pancasila dapat dijadikan sebagai suatu perspektif untuk menganalisa tentang proses perancangan UU Ciptaker yang keluar dari sistematika dan asas-asasnya.


Proses perumusan RUU Ciptaker dalam perspektif sistem filsafat Pancasila


Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, proses perumusan RUU Ciptaker terbukti telah melanggar aturan pembentukan pada UU No. 12 Tahun 2011 pasal 5 yang mengatur tentang asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa unsur keterbukaan adalah salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.


Namun, pada kenyataannya proses perumusan tersebut tidak menerapkan keterbukaan dan melanggar etika moral konstitusi. Kejelasan rumusan dan keterbukaan seharusnya tetap dilaksanakan sebagai satu kesatuan dari asas perumusan perundang-undangan yang tidak boleh dipisahkan. Apabila dipisahkan atau tidak terpenuhi salahsatunya maka akan menyebabkan suatu kecacatan dalam undang-undang yang dibuat.


Perspektif pancasila sebagai sistem filsafat memiliki prinsip kesatuan dalam sila-silanya. Masing-masing sila memiliki fungsi tertentu dan saling melengkapi. Sila-sila dalam pancasila tersusun secara sistematis dan tidak dapat dihilangkan salah satunya, begitupun dalam implementasinya. Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa harus diimplementasikan secara utuh dan tidak boleh dilewatkan salah satu silanya.


Sebagaimana dalam sistem filsafat pancasila, perumusan undang-undang seharusnya dilaksanakan secara keseluruhan sesuai dengan isi atau ketentuan yang tercantum dalam pedomannya, yaitu UU No. 12 Tahun 2011. Selain sebagai aturan, undang-undang juga merupakan suatu sistem yang utuh dan satu. Suatu sistem tidak dapat dipisahkan, karena apabila dipisahkan maka butir-butir yang lain tidak dapat dijalankan dengan baik.


RUU Cipta Kerja diyakini melanggar bukan hanya norma-norma pembentukan sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011, namun juga melanggar asas-asas utama penyelenggaraan negara yang ada dalam UUD 1945 serta etika atau moral konstitusi.
Selama proses perancangan, pihak DPR tidak pernah terbuka dalam menyampaikan masyarakat dan terkesan sembunyi-sembunyi. Masyarakat dapat mengakses ketika RUU itu selesai dirancang. Padahal, dalam UU No.12 Tahun 2011 menunjukkan bahwa dalam perancangan UU terdapat asas keterbukaan, penyebarluasan serta partisipasi dilakukan sejak tahap perancangan.


Kejanggalan dalam proses perumusan undang-undang tersebut memunculkan suatu julukan baru, yaitu “RUU Hantu”. Mengapa disebut RUU Hantu? Jawabannya sangat jelas, proses yang tidak kasat mata, tidak transparan, serbacepat, dan tertutup. Masyarakat yang tidak tahu menahu tiba-tiba dikejutkan dengan UU ini tanpa adanya keterlibatan apapun dalam perumusannya.


Bila pembentukan UU dipandang sebagai suatu proses politik, maka partisipasi rakyat adalah partisipasi politik. Jika, UU adalah suatu kebijakan yang dibuat oleh negara, maka seharusnya pemerintah melibatkan pihak yang terdampak dalam pengesahan UU, yaitu masyarakat. Rakyat mempunyai hak untuk didengar.


Pembentukan UU dan penyelenggaraan pemerintahan tidak hanya didasarkan pada norma-norma konstitusi tetapi juga tunduk pada nilai-nilai atau moral. Hal tersebut akan menjadi sesuatu yang tidak etis apabila pihak legislatif tetap melanjutkan pembahasan RUU yang diwarnai dengan keberatan masyarakat ditengah-tengah situasi pandemi.
Tujuan utama pemerintahan adalah menghasilkan hukum dan kebijakan yang baik yang merefleksikan kepentingan umum. Hukum dan kebijakan yang baik artinya hasil yang paling tidak mempertimbangkan kepentingan-kepentingan dan dibuat berdasarkan prinsip-prinsip yang sesuai dengan norma, nilai, serta kode etik yang berlaku.
Proses politik yang demokratis harus melibatkan partisipasi dalam melakukan suatu tindakan atau mengambil keputusan. Maka, pihak-pihak yang terkait dengan perumusan UU harus memahami dengan jelas tentang pentingnya sebuah sistem dan prosedur. Apabila sistem dan prosedur dilaksanakan dengan baik, pihak-pihak tersebut dapat mencegah terjadinya “dari perantara ke jual beli”. Jika praktik tersebut dibiarkan, akibatnya akan menjadi sangat destruktif: “matinya demokrasi di tangan pembentuk UU”.


Pembentukan UU oleh DPR dan Pemerintah sejatinya bertujuan mendapatkan legalitas dan legitimasi atas suatu tindakan negara. Namun seharusnya proses untuk mendapatkan legalitas dan legitmasi tersebut diselenggarakan sesuai dengan norma-norma yang berlaku, serta harus dilandasi dengan Pancasila supaya tidak keluar dari cita-cita bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun