Mohon tunggu...
Annisa Fitria
Annisa Fitria Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya mahasiswa yang pintar, cerdas, dan berkelas :)

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Wajah Kemanusiaan Kita (sebagai Pelajar Organik)

21 Februari 2024   00:35 Diperbarui: 21 Februari 2024   00:35 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masalah kemanusiaan dewasa ini begitu semakin problematik dan demikian krusial, seperti masalah kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, korupsi, ketidakadilan, penganiayaan, moralitas, diskriminatif, dan kekerasan menjadi pemandangan yang demikian vulgar dan menjadi pemandangan sehari-hari seperti disajikan pada media elektronik dan surat kabar. Tentu saja pemandangan ini tidak boleh dibiarkan terus terjadi, harus ada usaha untuk menyudahinya atau paling tidak meminimalisir intensitasnya. Belum lagi seperti diskriminasi atas hak-hak perempuan, ketimpangan ekonomi, kemiskinan merajalela, dan hubungan kurang harmonis antar agama. Dalam kondisi seperti ini tentu saja peran pendidikan Islam menjadi penentu, pendidikan Islam sejatinya dimaksudkan untuk melakukan pembebasan terhadap berbagai ketimpangan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan menyelesaikan masalah-masalah umat.

Indonesia sedang mengalami darurat moral. Kasus-kasus pencabulan dan pemerkosaan yang diikuti pembunuhan menjadi cerita kelam dalam beberapa waktu terakhir. Ironisnya, para pelaku pemerkosaan mayoritas berasal dari kalangan pelajar dan guru. Fenomena itu seolah menampar dunia pendidikan kita dan menyiratkan sebuah pesan bahwa internalisasi nilai kemanusiaan dalam diri peserta didik, bahkan pendidik itu, mengalami kegagalan. Penghargaan terhadap hak, harkat, dan martabat orang lain seharusnya menjadi salah satu substansi dasar nilai pendidikan yang diajarkan di bangku sekolah. Namun, implementasinya kini menguap entah ke mana. Sekolah seyogianya menjadi potret miniatur dalam membangun peradaban, tetapi malah menjadi tempat yang melahirkan orang-orang dengan perilaku tak beradab.

Di sisi lain, orientasi terhadap nilai akademik dalam tatanan sistem pendidikan Indonesia telah menjelma menjadi bom waktu yang meledak dalam dekade ini dan akhirnya melenyapkan wujud rasa simpati dan empati dalam komunitas pendidikan kita. Padahal, Chuck Grassley, senator senior dari Iowa (US) yang merupakan anggota Partai Republik, pernah berujar,

"What makes a child gifted and talented may not always be good grades in school, but a different way of looking at the world and learning."

Pendidikan yang membebaskan dalam konteks yang lebih komprehensif, pendidikan pada dasarnya ialah proses yang mampu membawa pengaruh positif secara holistis untuk kemanusiaan. Abraham Maslow, tokoh psikologi humanis, mendasari teorinya bahwa fondasi pendidikan berbasis pada pengalaman belajar. Memperoleh pengalaman yang dekat dengan kehidupan nyata dalam proses belajar merupakan akses aktualisasi dan penyadaran diri untuk menginternalisasi nilai-nilai luhur kemanusiaan, yang pada akhirnya memiliki kemampuan melakukan transformasi dan kontribusi bagi pemberdayaan kemanusiaan itu secara berkelanjutan, baik dalam konteks lokal maupun global. Hal itu senada dengan apa yang diutarakan mantan sekjen PBB Kofi Annan,

"Education is a human right with immense power to transform. On its foundation rest the cornerstones of freedom, democracy and sustainable human development."

Semoga kontribusi nyata IPM sebagai pelajar organik melalui sektor pendidikan yang dimotori Muhammadiyah dapat membuka pandangan semua kalangan untuk memaknai pendidikan sebagai proses transformasi yang membawa faedah bagi kemanusiaan. Semoga lembaga-lembaga pendidikan serta para tenaga pendidik dapat melawan kuatnya arus demoralisasi yang terjadi akhir-akhir ini dengan implementasi proses pengajaran yang mengarahkan para peserta didik dengan esensi-esensi nilai kemanusiaan. Dengan demikian, mereka dapat tumbuh menjadi pribadi yang mampu bertransformasi dan berkontribusi untuk melakukan sesuatu yang memberikan kemaslahatan bagi kemanusiaan. Mungkin benar adanya ketika Hellen Keller berujar,

"I am only one; but still am one. I cannot do everything, but still can do something. I will not refuse to do the something I can do."

Jika pendidikan mampu memberikan sebanyak mungkin ruang empati di relung jiwa para siswa, akan ada banyak sekali anak-anak Indonesia di masa depan yang mampu melakukan sesuatu yang berguna bagi kemaslahatan kemanusiaan. Pendidikan harus membebaskan banyak sekat karena hanya pendidikan yang mampu memberikan seseorang jalan pembebasan yang sebenarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun