Andini masih saja sibuk mengurusi berkas-berkas di meja kantornya. Hampir setiap akhir minggu dia harus lembur di kantor, padahal dia bukan karyawan. Andini adalah bosnya. Tapi entah kenapa dia yang selalu terlihat lebih sibuk dari karyawannya. Andini memang bos teladan yang sampai saat ini belum pernah mengecewakan karyawan dan kliennya. Sudah hampir 6 tahun ia membangun perusahaan advertising ini dan ia berhasil dengan baik.
Belakangan ini perusahaannya kebanjiran orderan. Mulai dari perusahaaan tingkat bawah, menengah bahkan perusahaan konglomerat. Andini tentu tidak akan melepaskan rezeki besar ini. Ia tidak akan ragu-ragu untuk menambah karyawan, demi memenuhi kepuasan kliennya dan menjaga kredibilitas perusahaannya. Walaupun begitu, sebagian besar ide-ide tersebut keluar dari otak briliannya. Ya Andini adalah lulusan Design Grafis, baru S1, dan Dini tak berniat untuk menaikkan statusnya itu. Aku sudah cukup bangga dengan gelar sarjanaku ini, ini adalah hasil kerja keras orangtuaku! Begitu yang selalu ia katakan setiap teman-temannya bertanya kenapa ia tak meneruskan kuliahnya.
Hidup dalam keluarga yang sederhana, membuat Andini selalu merasa cukup. Benar-benar cukup-tak ada yang berlebih- kalaupun ada hanya cukup untuk membeli setangkai permen. Andini adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Dua adiknya adalah laki-laki. Adik yang kedua sudah menikah dan menjadi supervisor di sebuah perusahaan terkenal. Sedangkan si bungsu sedang melanjutkan sekolah S2 nya di luar negeri. Tentu Andini yang membiayainya. Kedua adik Andini sangat patuh dan penurut kepada Andini, apalagi sejak orangtua mereka tiada. Ya, orangtua Andini meninggal sekitar 3 tahun yang lalu, saat Andini masih dalam masa berjuang merintis usahanya. Padahal, ia berniat untuk membawa orangtuanya naik haji, tapi apa daya Tuhan berkehendak lain.
Dulu, Andini bisa dibilang bukan anak yang santun. Ia suka sekali membangkang dan membuat ibunya menangis. Andini terlalu keras kepala. Dari sepuluh perintah ibunya, hanya satu yang ia kerjakan dengan ikhlas, sedang yang lainnya tidak ia kerjakan. Kalaupun dikerjakan, tentu dengan tambahan umpatan atau semacamnya.
“Kapan kamu berubah, nak? Kamu itu anak perempuan, bersikap lembutlah sedikit.” Pinta ibu dengan penuh harapan.
“Iyaa, nanti,bu. Seharusnya ibu tahu aku tidak suka dipaksa. Ibu selalu saja memaksaku untuk begini dan begitu.” Jawab Andini dengan nada cukup tinggi.
“Itu semua demi kebaikanmu, Din, nanti kalau ibu sudah tidak ada, bagaimana? Apa-apa kamu ga bisa. Setiap kali disuruh masak, kamu selalu menolak dengan alasan, malas, ga suka dan sebagainya. Bukan cuma itu, kamu ga pernah tau kebersihan. Semua kamu biarkan terbengkalai. Dan yang paling ibu tidak tahan adalah cara bicaramu itu, kasar sekali. Kamu itu perempuan, anak sulung. Kamu yang akan membimbing adikmu nanti, nak!”
Jika sudah begitu, Andini hanya diam dan langsung beranjak pergi. Ia muak setiap mendengar kata ‘perempuan’ itu. Ia selalu menyesal dan menghakimi Tuhan, kenapa ia dilahirkan sebagai perempuan, apalagi anak pertama. Andini bisa sakit kepala membayangkan bebannya nanti sebagai kakak yang harus mengayomi adiknya. Sebenarnya Andini tidak benar-benar tega berlaku seperti itu terhadap ibunya. Selalu ada penyesalan sesaat setelah ia bersikap atau berkata kasar terhadap ibunya. Tapi ibunya selalu saja memaksanya untuk menjadi perempuan tulen. Ia bukannya tidak mau, ia hanya merasa belum waktunya untuk itu. Baginya hal-hal seperti memasak, bersih-bersih dan sebagainya akan berubah seiring waktu. Hanya di rumah saja Andini berteriak-teriak seperti itu. Terhadap teman-temannya dan orang lain dia bersikap lembut, baik dan ramah. Entahlah, mungkin karena ia sudah terlanjur bersikap keras seperti itu. Ia terlalu angkuh untuk berubah.
Ibu Andini memintanya untuk ambil jurusan pendidikan sebagai Guru. Berharap anaknya akan bisa sedikit berubah lebih baik. Tentu saja Andini menolak mati-matian. Dari awal ia sudah berniat mengambil jurusan Design Grafis. Ibunyapun menyerah dengan keputusan Andini. Adik-adik Andini hanya diam saja melihat kelakuan kakaknya. Walaupun keras hati dan kepala, Andini selalu siap menolong adiknya.
Dikalangan teman-temannya, Andini adalah gadis yang baik, bahkan sangat baik. Ia jarang marah atau berkata kasar, tergolong orang yang sabar. Bukan hanya itu, Andini juga humoris dan cerdas, itulah yang membuat Rico menyukainya, ah tidak bahkan Rico mencintainya. Andini juga mencintai Rico, tapi ia tahu ia tak sebaik apa yang teman-temannya dan Rico pikirkan. Untung saja, setiap teman-temannya datang orangtua Andini selalu tak ada di rumah, mereka bekerja seharian.
Tapi tidak hari itu, saat dewi fortuna mengalihkan perhatiannya dari Andini. Ia tertangkap basah oleh teman-temannya dan juga Rico sedang meneriaki ibunya. Memalukan sekali. Rico seperti orang yang baru saja melihat setan, ngeri ia melihat wanita yang dicintainya berlaku sekasar itu, iblis mana yang merasukinya? Mungkin itu yang ditanyakan Rico dalam benaknya. Tapi sudahlah, itu hanya segelintir masa lalu yang sebaiknya hanya menjadi kenangan buruk.
Pada akhirnya Rico tetap setia pada Andini. Ya Rico benar-benar tulus mencintai Andini, seperti janjinya kepada kedua orangtua Andini dulu sebelum mereka meninggal. Bukan itu saja, Rico yang membimbing Andini hingga sampai seperti ini. Bagi Andini, Rico bukan hanya menjadi kekasihnya saja, tapi juga ayah dan abang bagi Andini. Dua adik laki-laki Andini pun tidak canggung untuk mengadu pada Rico. Sungguh, Andini merasa beruntung sekali memiliki Rico.
Dua bulan yang lalu, Rico baru saja melamar Andini. Tapi ntah mengapa, Andini tidak langsung menerima. Ada sesuatu yang mengganjal dipikirannya. Seperti ada kerikil di setiap syaraf di otaknya dan membuatnya susah untuk mengatakan iya. Kata yang seharusnya sudah lama ia tunggu untuk dileburkan dalam aksara.
“Apalagi yang kamu tunggu, Din? Kamu masih meragukanku?” tanya Rico saat itu.
“Tak ada lagi yang perlu kuragukan, hanya saja masih ada yang bersembunyi di hatiku, belum mampu menyosok dihadapanmu.” Jawab Andini yang terlihat galau.
“ Aku tidak mengerti, Din. Jikapun begitu, aku akan tetap menunggumu. Bukan hanya hawa yang tercipta dari tulang rusuk Adam, tapi kamu juga tercipta dari tulang rusukku. Aku yakin itu.” Rico berlalu meninggalkan Andini. Ia mencoba mengerti, memahami Andini yang ntah kenapa menolak niat tulusnya itu sekarang.
Sejak saat itu, Rico berpikir untuk tidak menghubungi kekasihnya itu dulu. Ia bermaksud ingin membiarkan Andini berpikir beberapa waktu ini. Sejalan dengan Rico, Andinipun mencoba tidak menghubungi Rico. Mencari tahu, keganjalan yang membuatnya tiba-tiba menolak lamaran pria yang sangat dicintainya itu. Apapun itu, Andini berusaha keras menyeruak kegalauan yang urung menyosok dalam nyatanya tersebut. Ia buat list pertanyaan untuk dirinya sendiri dan semuanya dimulai dengan kata “Mengapa ?”.
Tidak lama Andini mencari jawab. Ia hanya merasa goyah sesaat sebagai seorang wanita. Andini kemudian memberanikan diri untuk lebih dulu menemui Rico. Tapi ia tidak hanya akan datang begitu saja tanpa memberikan sesuatu yang spesial sebagai rasa bersalahnya telah membuat Rico kecewa waktu itu.
Langit malam itu cerah sekali. Hanya dihiasi penghuni tetap yang berkilau lebih terang dari biasanya. Mungkin ini pertanda baik pikirnya. Andini mempercepat menyelesaikan pekerjaannya, ia menyuruh semua karyawannya pulang cepat, perasaannya sedang berbunga-bunga sekali malam itu. Tak pelak, keganjilan ini membuat para pegawai keheranan. Tapi itupun menyenangkan hati pegawai, melihat bosnya yang malam itu kelihatan cantik bak bidadari kegirangan seakan pangeran berkuda putih sedang menunggunya di sana.
“Semuanya, having fun ya, saya duluan !” itulah kata Andini saat meninggalkan para pegawainya, yang masih takjub dengan kecantikan dan kebahagiaan yang terpancar dari bosnya, Andini. Di dalam mobil, Andini tak berhenti mengumbar senyum. Haah mungkin bidadari aslipun akan iri juga melihat wanita ini.
Sesampai di depan rumah Rico, Andini mengetuk pintu rumah denga perlahan. “Rico? Kau di dalam?” Namun, tidak ada jawaban. Diketuknya sekali lagi pintu itu dan tetap tak ada jawaban. Karena penasaran, ia buka pintu itu yang ternyata tidak terkunci. Ah, betapa terkejutnya Andini saat melihat tubuh Rico tergeletak di lantai. Dengan sigap, ia pengku tubuh Rico dan mencoba membangunkannya. “Rico, bangun sayang, kau kenapa? Sayang bangun!?” Tidak ada respon dari Rico. Andini semakin panik. Ia menangis sekencang-kencangnya. “Maafkan aku, Rico. Ah, bodohnya aku masih meragukan hatiku dan ketulusanmu. Tolong jangan tinggalkan aku, apa jadinya aku tanpa kau, sayang?!” Andini benar-benar terluka, dipeluknya tubuh Rico dengan erat.
“Selamat ulang tahun! Selamat ulang tahun! Selamat ulang tahun Kak Dini, selamat ulang tahun!!” Tiba-tiba Reski dan Adit, adik Andini keluar dari ruang dapur. Mereka membawa sebuah Cake ditangannya. Ricopun langsung bangkit dari tidur pura-puranya. Memegang tangan Andini dan menyelipkan sebuah cincin manis bermata berlian di jari manis Dini.
“Ada apa ini?” tanya Andini yang memang speechless melihat apa yang terjadi disekitarnya.
“Ah, kakak ini terlalu sibuk! Sampai ulang tahun sendiripun tidak ingat.” Ucap Reski, adik Dini yang paling bungsu. Ia sengaja pulang untuk merayakan ulang tahun kakaknya satu-satunya.
“Iyaa, kakak ini perlu istirahat. Yah mungkin bisa sekalian bulan madu nanti sama bang Rico. Hehe” Sambung Adit.
“Lalu kau?” menatap Rico yang ada di depannya.
“Maaf ya, sayangku! Ini rencana adik-adikmu itu, aku hanya ikutan saja, hhe.”
“Bodoh!” Langsung memeluk tubuh Rico. Menangis lagi.
“Sudah, jelek ah cengeng gitu. Masa Bos perusahaan terkenal cengeng sih? Hhe. Jadi kita jadi nikah toh neng?”
“JADI!!” Jawab Reski dan Adit serentak. Semua tertawa. hahahah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H