Mohon tunggu...
ANNISA FIRDAUS DAMAYANTI
ANNISA FIRDAUS DAMAYANTI Mohon Tunggu... Mahasiswa - FRESH GRADUATE JOURNALISM

DUNIA DAN CERITANYA

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Suka Duka Adaptasi Dua Kali

7 Desember 2023   23:30 Diperbarui: 7 Desember 2023   23:37 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kompasian.com -- Gulir waktu berjalan begitu cepat ketika pada akhirnya orang orang itu mengambil keputusan untuk memulai perjalanannya di kota baru selama beberapa bulan. Mereka, para mahasiswa dari beberapa Universitas pilihan yang bergelar Kampus Merdeka dan memutuskan untuk mengikuti salah satu programnya, Pertukaran Mahasiswa. Program yang terdengar menarik ketika pertama kali mendengar, program yang mungkin sudah cukup sering didengar oleh kalangan mahasiswa sendiri. Siapa sangka program yang katanya "menarik" tersebut ada banyak cerita dibaliknya yang mungkin sebenarnya tidak sebahagia yang dibayangkan, tapi juga tidak seburuk yang terlintas dipikiran.

Mencoba untuk beradaptasi yang kedua kali adalah fakta yang mungkin hanya dipandang oleh beberapa orag saja dari program kampus merdeka yang satu ini. Ketika sudah beradaptasi pada awal masuk kuliah yang merupakan transisi dari masa SMA ke bangku universitas, mahasiswa yang mengikuti program ini harus beradaptasi lagi ketika harus bertukar ke kampus baru yang jauh dari Universitas asal mereka.

Bukan hal yang mudah, menyesuaikan semuanya yang masih begitu asing dalam benak pikiran, suasana, masyarakat, budaya, tradisi bahkan hingga makanan yang mungkin berbeda rasa di lidah mereka.

"Sumpah ya, pas awal kesini tuh kek kaget gitu, makanan di sini tuh pedesnya kaya yang pedes keterlaluan gituloh, walaupun di Bandung juga banyak makanan pedes, tapi di sini tuh pedesnya yang tahap keterlaluan pokonya yang sampe rasanya yg dirasa cuman cabe aja" ucap Indri salah satu Mahasiswa PMM Universitas Katolik Della Sale Manado yang berasal dari Universitas Wanita Internasional, Bandung.

Menginjakan kaki dikota yang udaranya cukup panas ibarat matahari tepat berada di kepala, jelas jauh berbeda dengan Bandung yang walau siang tapi udara sejuk masih bisa dirasakan. "Panas banget" adalah hal yang terlintas dibenak wanita 20 tahun tersebut. Keringat bercucuran di sekujur tubuh sudah seperti mandi adalah hal yang menjadi lumrah pada saat tengah hari di Medan sana.

Banyak culture shock lain yang wanita asli Bandung itu rasakan, dua hal tadi mungkin adalah hal umum yang mungkin pada biasanya dirasakan oleh orang yang menginjakan kakinya di tempat baru. Kerikil kecil dilempar air danau bergerak, batu besar dilempar air danau juga bergerak adalah hal kiasan yang mungkin cocok untum ibarat beradaptasi. Ketika seseorang tidak bisa mengabaikan hal kecil sedikitpun dalam kajian culture shock.

Penyesuaian diri bukanlah hal yang mudah bagi sebagian orang tapi juga bukan hal yang sulit bagi sebagian orang yg lain, tergantung dari masing masing orang tersebut menyesuaikan dirinya seperti yang dipaparkan oleh Indri.

Bagi Indri sendiri, penyesuaian diri ditempat baru bukanlah hal yang cukup sulit asalkan dia memiliki teman dengan latar belakang yang sama seperti dirinya, untuk dapat berbagi terkait apa yang dirinya rasakan, baik sama dari segi bahasa, budaya, selera makanan, atau mungkin hal yang lebih dalam seperti idola kesukaannya atau hal lain yang bisa membuat kedekatan terjalin diantara keduanya.

Menginjakan kaki dikota orang dengan suasana yang semuanya asing adalah hal yang cukup sulit dirinya rasakan, tinggal diasrama dengan fasilitas dapur yang kurang memadai membuat dirinya kesusahan untuk mendapatkan makanan pada awalnya, sehingga membuat cukup effort dan boros dikarenakan selalu membeli makanan di luar yang belum jelas cocok dengan lidahnya atau tidak. Untungnya banyak orang yang juga mahasiswa PMM merasakan apa yang Indri rasakan tersebut sehingga pada akhirnya mereka bekerja sama untuk membeli peralatan dapur yang belum ada dan bahan bahan makanan yang cukup mudah untuk diolah agar mereka bisa memasak di asrama saja.

Selain itu perbedaan intonasi nada bicara juga membuat culture shock tersendiri bagi Indri, dimana pada awalnya dia tinggal di bandung dengan nada dan intonasi bicara yang cukup rendah sedangkan di daerah Medan sana cenderung menggunakan nada dan intonasi yang lebih tinggi, sehingga terkesan marah dan berteriak bagi yang belum terbiasaa.

"reuwas siah awalnamah" (kaget tau awalnya) ucapnya dengan menggunakan logat khas bandung.

Dia berbicara dengan nada rendah dibalas dengan nada yang cukup tinggi, kaget pasti yang dirasakan pada awalnya. Setelah hari ke hari tinggal disana pada akhirnya dia terbiasa dengan intonasi dan nada tinggi tersebut. Lucunya seperti kucing yang mengikuti tuan rumah, dia juga kadang mulai berbicara dengan nada tinggi mengikuti warga lokal sana.

Kesulitan transportasi juga merupakan masalah yang indri alami, beliau kaget ketika pertama menunggu angkutan umum lama sekali sampe bermenit menit berbeda dengan diwilayah asalnya yang angkutan umumnya berseliweran.

Masalah masalah tadi membuat mentalnya sedikit terguncang, dimana dirinya harus segera menyesuaikan diri ditempat tersebut dengan cepat dengan posisi dirinya jauh dari keluarganya dan tidak memiliki satupun anggota keluarga di daerah tersebut, yang membuat mau tidak mau dirinya harus mengatasi hal tersebut seorang diri.

Pada untungnya indri memaparkan jika dirinya mendapat mentor yang baik serta bisa dijadikan tempat cerita, juga teman teman yang bisa menerimanya, sehingga para mahasiswa PMM di Universitas tersebut saling merangkul dan bekerja sama untuk mengatasi culture shock mereka masing masing.

Berbeda dengan Indri yang dari pulau Jawa merantau keluar pulau, ada Nadia mahasiswa asal sulawesi yang mendapat penempatan universitas PMM di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang, Banten. 

Awal menginjakan kakinya di tanah Banten, bagi Nadia udaranya adalah hal baru yang dia rasakan. Banten adalah provinsi yang dekat dengan banyak pantai, itulah yang membuat kota ini lebih panas dari kota asal Nadia sendiri.

"Pas awalnya tuh kaget kek panas bangett yaa disini, kirain tuh ga sepanas itu" papar Nadia saat diwawancarai.

Memasuki area asrama yang dijadikan tempat tinggal anak PMM, ada beberapa hal yang membuat Nadia kaget pada awalnya, dimana dia mengira jika asrama tersebut pernah ditempati oleh mahasiswa Untirta sebelumnya, padahal kenyataannya tahun ini adalah tahun pertama asrama Untirta Sindangsari ada yang menempati, dan langsung ditempati oleh mahasiswa PMM. 

Ibarat tempat baru, pasti ada penghuni sebelumnya, itulah yang dipaparkan terkait asrama Sindang sari menurut Nadia, dimana pernah kejadian beberapa hal mistis yang dialami oleh teman temannya pada awal tinggal disana. Selain dari segi mistis, fasilitas yang digemborkan akan kemewahannya ternyata nyatanya tidak seperti itu, dimana menurut Nadia masih banyak sekali kamar yang pembagian perabotannya belum merata, seperti ada kamar yang berisikan 3 orang mahasiswa tapi didalam kamar tersebut terdapat 4 buat buah kasur dan 4 buah lemari, sedangkan dilain sisi, ada kamar yang berisikan 5 orang mahasiswa tapi hanya terdapat 4 buah kaasur didalam kamar tersebut. 

Semua hal tersebut dikarenakan pada saat awal pembagian kamar, mahasiswa tidak ditegaskan untuk menempati kamar sesuai dengan daftar yang seharusnya, dimana saat pertama menginjakan kakinya di Untirta, mereka dibiarkan untuk menempati kamar bebas semau mereka denga siapa saja tapi nanti akan dipindahkan sesuai rencana awal, tapi pada kenyataannya hingga hari ini pembagian kamarpun belum terlaksana dengan baik, dimana mereka masih menampati kamar asal yang mereka pilih bersama teman temannya pas awal. Tidak ada culture shock yang terlalu membuat dia sampai tertekan menurut Nadia, hanya saja memang ada beberapa hal yang memang membuat dia kaget, seperti udara tadi salah satunya serta fasilitas yang dijanjikan.

Perbedaan bahasa bicara sehari hari adalah hal paling utama yang Nadia rasakan dan akan sangat sesuai dengan kajian culture shock ini, dimana pada awal memasuki kelas dirinya merasa bagai kucing yang dikelilingi banyak serigala, dimana hampir sebagian besar Mahasiswa Untirta yang didominasi warga Banten dan area JaBoDeTaBek menormaslisasi umpatan dan bahasa kasar, dan hal itupun yang terjadi pada lingkungan kelasnya, dimana pada awal memasuki kelas terdengar umpatan dimana-mana, dan tidak ada yang tersinggung sama sekali bahkan cenderung menganggap itu adalah guyonan semata, sedangkan menurut Nadia di daerah asalnya di Sulawesi umpatan dan bahasa kasar itu tidak dapat di normalisasi, sehingga banyak sekali orang yang akan tersingging ketika mendengar umpatan dan bahasa kasar kepada mereka.

"kaget awalnya ko bisa saling ngumpat kek gitu, ternyata emang bercadaannya kaya gitu ya disinituh" papar nadia dengan raut muka menahan ketawanya.

Nadia menambahkan, jika di daerah asalnya juga sebenarnya ada saja umpatan tapi tidak se 'brutal' disini dimana mereka bisa melontarkannya kapan saja, daerah tempat tinggal nadia masih tinggi akan sopan santunnya sehingga sekedar umpatan saja bisa dianggap tidak sopan dan menimbulkan keributan.

Memang hal lucu, disaat kita belum tau budaya orang sehingga masih terbawa suasana dari budaya sendiri, tapi yang namanya menyesuaikan diri itu pasti adalah hal yang bertahap, lama kelamaan dia mulai terbiasa dan tidak terlalu diambil hati, karena konteks mereka adalah sekedar bercandaan semata.

Sama halnya dengan yang dipaparkan oleh indri, Nadia setuju jika beradaptasi akan terasa mudah jika memiliki teman dengan latar belakang yang sama, terbukti bagi Nadia sendiri yang satu kamar dengan teman teman yang memiliki latar asal yang sama sehingga dapat mengatasi semuanya bersama sama dengan mudah. Selain itu, Nadia yang adalah seorang K-popers juga memaparkan jika dikelas yang ditempatinya sekarang dia banyak bertemu dengan teman-teman K-popers lain yang kebetulan beberapa dari mereka juga adalah 'Teume' atau 'Treasure Maker' yang membuat dirinya bisa berteman dengan mudah karena kesamaan tersebut.

Dalam kajian culture shock sendiri, ada beberapa hal yang memang bisa membuat kaget sebagian orang padahal itu adalah hal yang normal bagi sebagian yang lain. Contohnya dalam kasus Nadia ini yang menyatakan jika dirinya terkaget akan tugas di Ilmu Komunikasi Jurnalistik Untirta yang tiada hentinya, dan berbeda dengan unversitas dia sebenarnya.

"Kaget banget tugas disini banyak banget ya mana datelinenya pada mepet", ucap wanita asal Sulawesi tersebut.

Nadia juga memaparkan tumpukan tugas tersebut bukan hanya tugas dari mata kuliah yang dia ampu saja, tetapi juga dari tugas laporan Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka yang dia ikuti, jadi dia merasa lelah karena harus menyelesaikan keduanya diwaktu yang hampir bersamaan. 

Mengatasi hal hal yang cukup membuat stress tersebut juga tidak bisa diatasi seorang diri, ketika dirinya harus mampu menyelesaikan dengan cepat, bak semua tali ia raih diwaktu yang sama agar segera sampai di puncak, begitulah yang Nadia rasakan ketika harus menyelesaikan semuanya segera agar bisa menyelesaikan tugas juga kewajibannya sebagai mahasiswa pertukaran.

Hal menarik dari cerita pertukaran Nadia adalah ketika mengetahui fakta bahwa sebenarnya dirinya adalah mahasiswa semester 7 dari Program Studi Teknik Informatika. Cukup mengagetkan, ketika dirinya biasa berkutik dengan coding dan semacamnya tapi malah memilih jurnalistik dengan mainan kamera yang sama sekali belum dia explore sebelumnya. Selain itu, menurut Nadia peliputan dengan banyak kamera dan juga alat alat siaran adalah hal baru didalam hidupnya yang tidak bisa dibayangkan, ketika seorang anak teknik pada akhirnya harus turun lapangan mencari berita dan narasumber juga mempelajari peralatan studio, "menyenangkan" tambahnya.

Setelah cerita dari Indri dan Nadia, kita terbang ke Kendari yang terdapat cerita dari wanita asal Bekasi, Aleda Fanesya Maharany. Sekali loncat sampai dipulau sebrang adalah kiasan yang dirasa cocok untuk Aleda. Wanita yang sama sekali tidak pernah merantau dan jauh dari orang tua itupun pada akhirnya harus merantau dipulau sebrang untuk pertama kalinya. Dirinya mengakui bukanlah hal yang mudah ketika pengalaman pertama merantau harus langsung ketempat yang jauh, bahkan yang tidak disangka sangka adalah ke pulau Sulawesi yang tidak pernah terbayangkan bagi Aleda sebelumnya untuk merantau kesana.

Saat menginjakan kakinya di Kendari, aleda mengaku cukup terkaget dengan udaranya yang panas, walaupun daerah asalnya Bekasi juga termasuk kedalam kota dengan udara yang cukup panas, tapi panas yang dirinya rasakan di Kendari beda dengan di Bekasi. Aleda juga menambahkan jika menurut pemaparan warga sekitar udara panas tersebut dikarenakan sinar matahari yang langsung menusuk kulit karena masih jarangnya polusi di kota tersebut.

"Udara disini kalo lagi panas, panas banget. Sinar mataharinyatuh langsung nusuk ke kulit gitu, jadi lebih gampang bikin hitam. Setelah nanya sama orang sini, katanya Kendari polusinya masih jarang, jadi sinar matahari ga terhalang. Beda sama daerah Bekasi yang udah terpapar polusi", jelas Aleda.

Sebagian besar orang memang sudah mengetahui fakta tersebut jika Pulau Jawa adalah pulau dengan polusi yang cukup sesak dimana-mana dan selaras dengan apa yang dipaparkan oleh Aleda sebelumnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun