Mohon tunggu...
Annisa Nur Fauziah
Annisa Nur Fauziah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswi Perencanaan Wilayah dan Kota UNDIP yang sekedar ingin berkontribusi melalui tulisan dan opini tentang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sosok Jakarta dari Sisi Orang Kampung yang Pertama Kali Menginjakkan Kaki di Ibukota

9 Desember 2013   14:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:08 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lucu memang, sebagai Warga Negara asli Indonesia saya baru pertama kali berkunjung ke ibukota negara di usia 22 tahun. Kalau temen-temen saya bilang, “Kamu gimana sih udah main ke luar negeri, tapi ke Jakarta aja belum pernah sama sekali.” Hehehe, Alhamdulillah akhirnya saya bisa main ke Jakarta di bulan Desember tahun 2013 ini. Dalam kesempatan ini, saya datang ke Jakarta bertujuan untuk mengadu nasib dengan mencari kerja di tanah ibukota. Bekerja di ibukota memang mimpi saya sejak kuliah. Selain karena banyak kesempatan kerja, saya juga ingin merasakan kehidupan urban yang modern dan praktis di Jakarta.


Dulu, saya pernah berandai-andai dengan sahabat saya, bekerja di ibukota dan pulang kerja bisa belanja dan nongkrong di mall.

Bayangan saya kemudian berubah 180 derajat begitu kereta Menoreh memasuki wilayah Jakarta. Pemandangan dari jendela kereta yang saya lihat adalah rumah-rumah triplek, kardus, dan seng yang letaknya persis bersebelahan dengan badan kereta yang saya tumpangi (seandainya saya bisa menjulurkan tangan ke luar jendela, saya hanya perlu mengeluarkan telunjuk saya untuk bisa menyentuh genting rumah di sepanjang rel kereta). Mungkin di daerah lain juga banyak rumah kumuh dan ilegal yang berdiri di sempadan rel kereta, namun biasanya masih ada jarak yang cukup dengan rel kereta, sementara yang saya lihat ini spesial hanya ada di Jakarta.

Belum puas merasakan kehidupan urban di Jakarta, saya dan beberapa teman saya seperjalanan mencoba merasakan naik Trans Jakarta untuk berkeliling ke beberapa lokasi tujuan. Waktu itu, saya dan teman-teman ingin menghadiri BUMN career days di Gelora Bung Karno (GBK). Begitu turun dari Pasar Senen, kami bertanya pada petugas stasiun dimana lokasi titik transit bus terdekat dan segera menuju ke titik transit busway. Setelah membeli tiket, kami mengantri untuk menunggu bis berhenti. Begitu bus datang dan kami masuk untuk duduk, kondisi bus jauh berbeda dengan apa yang saya bayangkan selama ini. Meskipun dari luar cukup bagus, ternyata bagian dalamnya seperti kumpulan rongsokan besi tua yang disambung dengan mesin las.

Bermodalkan naik Trans Jakarta menuju ke GBK, saya terkagum-kagum melihat banyaknya gedung megah nan artistik di pusat kota. Ternyata Jakarta tak kalah dari Singapura dan Kuala Lumpur dilihat dari segi arsitekturalnya. Di depan gedung-gedung bertingkat, disediakan jalur pejalan kaki yang cukup teduh dan nyaman untuk dilalui. Beberapa taman-taman hijau seperti di Semanggi membuat saya teringat dengan persimpangan jalan-jalan di Penang. Kalau dipikir-pikir, kenapa saya dulu tidak kuliah kerja lapangan (KKL) untuk melihat best practice di “pusat” Kota Jakarta, daripada harus menghabiskan banyak biaya ke luar negeri. Maksud saya “pusat” adalah jantung Kota Jakarta, bukan keseluruhan Jakarta. Jika dibuat irisan kota, maka pusat adalah area yang dipenuhi dengan gedung-gedung megah dan mewah, dan semakin ke pinggir adalah area-area kumuh yang dihuni kaum marjinal. Baru sekarang saya paham dan melihat langsung, mengapa dosen saya selalu bercerita bahwa kesenjangan di Jakarta sangat tinggi.

Setelah puas menyelesaikan urusan di GBK, saya dan teman-teman bermaksud untuk segera pulang dan menginap di kerabat salah seorang teman saya di daerah Cilangkap Jakarta Timur. Kesalahan saya waktu itu adalah pulang di saat jam pulang kantor. Tentu saja saya harus menghadapi rasanya berdesakan di dalam bus dan macetnya Jakarta yang luar biasa terkenal, hingga Jokowi pernah mengadakan sayembara publik untuk mengatasi macetnya Jakarta. Di tengah kemacetan dan sumpeknya berdiri di antara pekerja kantor di dalam bis saya merenungi banyak hal.


Apakah nanti jika saya bekerja di Jakarta saya akan menjalani separuh waktu saya di jalanan ibukota? Boro-boro mau nongkrong atau ngafe sepulang kantor, untuk pulang kantor saja saya harus rela berdiri berjam-jam di dalam bus.

Dari pengalaman ini saya benar-benar menyadari, bahwa terus meningkatnya jumlah penduduk di Jakarta salah satunya disebabkan oleh orang-orang seperti saya. Orang daerah yang ingin mengadu nasib dan mencari uang sebanyak-banyaknya di Jakarta. Bahkan, orang-orang ini begitu gelap mata hingga tak sadar bahwa uang bukan segalanya untuk mencapai kebahagian. Peluang kerja di Jakarta memang sangat besar.


Jika saya boleh memilih, saya lebih memilih tinggal dan bekerja di pantura atau daerah-daerah lain di luar Jakarta. Acara nongkrong di café yang saya idam-idamkan jika saya bekerja di Jakarta, akan saya lukir dengan nongkrong di warung kopi pinggiran bersama sopir truk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun