Mohon tunggu...
Annisa DwiCahyani
Annisa DwiCahyani Mohon Tunggu... Seniman - seorang mahasiswa

Mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota di Unversitas Jember 181910501016

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Rp 466 Triliun Terlalu Mahal?

8 September 2019   18:06 Diperbarui: 8 September 2019   18:16 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia saat ini menjadi berita hangat. Berita tersebut sudah menjadi headline di beberapa portal berita selama beberapa bulan terakhir ini. Ibu Kota Negara Indonesia yang berada di Kota Jakarta akan dipindahkan menuju Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara yang terletak di Provinsi Kalimantan Timur. Ada berbagai macam alasan mengapa Ibu Kota Negara Indonesia dipindahkan menuju daerah tersebut. 

Menurut Presiden Indonesia, Jokowi, sudah dilakukan kajian terhadap daerah Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara selama tiga tahun, dan terpilihlah daerah tersebut sebagai daerah tujuan ibu kota negara yang baru. Sedangkan alasan dipindahkannya ibu kota sendiri ada berbagai macam, salah satunya adalah karena Kota Jakarta sudah tidak mampu lagi untuk menampung berbagai macam kegiatan di dalamnya. 

Saat ini, Kota Jakarta merupakan berbagai macam pusat kegiatan. Tidak hanya sebagai pusat administratif negara, namun Kota Jakarta juga merupakan pusat perekonoimian Indonesia. Belum lagi dengan kegiatan lainnya, seperti perdagangan dan jasa, industri, serta pariwisata. sehingga, dari permasalahan tersebut muncul gagasan untuk memindahkan pusat adminstratif negara ke daerah lain. 

Sebenarnya, gagasan ini sudah ada dari dulu, bahkan sejak jaman kepemimpinan Presiden Soekarno. Hanya saja, gagsan pemindahan tersebut baru terlaksana pada saat ini, yaitu saat kepemimpinan Presdien Jokowi. Sebelum Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara menjadi tujuan ibu kota baru, ada berbagai macam gagasan daerah lain yang bermunculan. Dari ibu kota baru yang tidak jauh dari Kota Jakarta itu sendiri, ibu kota baru di daerah Pulau Sumatera dan Pulau Sulawesi, bahkan hingga reklamasi untuk memperluas daerah Kota Jakarta.

Alasan pemindahan ibu kota negara sendiri ada banyak. Yang pertama adalah karena konsentrasi penduduk Indonesia tertinggi berada di Pulau Jawa. Lebih dari setengah jumlah penduduk Indonesia, atau lebih tepatnya 57%, bertempat tinggal di Pulau Jawa. Bahkan konsentrasi penduduk yang paling padat berada pada daerah Jabodetabek, yaitu sejumlah 32.775.966 penduduk. Dan dari sana, 10.277.628 penduduk terkonsentrasi di Kota Jakarta. Dari kepadatan penduduk ini, tidak heran di Kota Jakarta selalu terjadi kemacetan. Bahkan kemacetan Kota Jakarta tersebut dapat meruikan. 

Menurut data yang ada, kerugian ekonomi akibat kemacetan di Kota Jakarta hanya pada tahun 2013 dapat mencapai Rp56 triliun dan meningkat hingga mendekati Rp100 triliun pada 2019. Dengan adanya kepadatan penduduk yang berpusat di Pulau Jawa ini akan berdampak pada pembangunan di Indonesia yang hanya berkembang secara pesat di Pulau Jawa. Yang kedua adalah dikarenakan kontribusi ekonomi Pulau Jawa terhadap PDB Nasional yang sangat besar. 

Kontribusi Pulau Jawa dapat mencapai 58,49%, sedangkan share PDRB dari Jabodetabek bisa mencapau 20,85% terhadap PDB Nasional. Hal ini berbeda jauh dengan kontribusi Pulau Kalimantan yang bahkan tidak mencapai 10%, lebih tepatnya yaitu hanya 8,20%. Alasan selanjutnya adalah dikarenakan Kota Jakarta sudah mulai mengalami krisi air besih. Warga Kota Jakarta bahkan dapat menghabiskan uang dari ratusan hingga jutaan ribu rupiah hanya untuk mendapatkan air bersih untuk sebulannya. Krisis air bersih ini tidak hanya terjadi di Kota Jakarta, namun juga banyak terjadi di daerah Jawa Timur. Selanjutnya adalah dikarenakan terlalu besarnya tingkat konversi lahan yang terjadi di Pulau Jawa. 

Pada tahun 2000, konversi lahan di Pulau Jawa mencapai 48,41%, angka ini terus meningkat hingga pada tahun 2010 mencapai hingga 44,64%. Dan dari dat tersebut diperkirakan bahwa konversi lahan di Pulau Jawa akan terus meningkat hingga pada tahun 2030 dapat mencapai angka sebesar 42,79%. Berbeda dengan Pulau Jawa, tingkat konversi lahan di Pulau Kalimantan sangat kecil. Pada tahun 2000 diperkirakan konversi lahan yang terjadi di Pulau Kalimantan hanya sebesar 8,38% dn meningkat menjadi 4,88% pada tahun 2010. 

Bahkan perkiraan konversi lahan yang terjadi di Pulau Kalimtan pada tahun 2030 tidak melebihi tingkat konversi lahan yang terjadi di Pulau Jawa pada tahun 2010, yaitu dengan angka perkiraan sebesar 11,08%. Dikarenkan berbagai macam alasan tersebut, dari kepdatan penduduk dan konversi lahan secara besar-besaran, maka berpengaruh dalam kemampuan dan daya dukung lingkungan yang dimiliki oleh Kota Jakarta semakin menurun tiap tahunnya. Hal ini mengakibatkan dampak yang sangat besar kepada Kota Jakarta, antaranya Kota Jakarta menjadi rawan banjir, tanah turun dan meningkatnya muka air laut serta air sungai yang tercemar berat.

Kemudian dari semakin tidak mampunya Kota Jakarta dalam menopang kegiatan diatasnya, muncul lagi gagasan tentang pemindahan iu kota. Pemindahan ibu kota ini merupakan harapan bagi masyarakat Indonesia. Ibu kota negara yang baru diharapkan akan menjadi sebuah simbol identitas bagi Bangsa Indonesia. Kemudian, dikarenakan pembentukan ibu kota negara baru tersebut dimulai dai awal, diharapkan dapat terbentuk ibu kota negara dengan konsep Green, Smat, Beautiful, dan Sustainable. Selain itu diharapkan akan terbentuk ibu kota negara yang Modern dan berstandar Internasional. yang terakhir diharapkan ibu kota baru tersebut akan memiliki sistem tata kelola pemerintahan yang lebih efisien dan efektif.

Sedangkan untuk pembiayaannya, di perkirakan dapat mencapai hingga Rp 466 Triliun. Bagi beberapa pihak, pembiyaan hingga sebesar itu dianggap terlalu mahal. Bahkan tidak sedikit yang berpendpat bahwa lebih baik ibu kota negara tidak usah dipindahkan, dan biaya untuk pemindahan ibu kot negara tersebut lebih baik disalurkan untum pengembangan pembangunan di wilayah luar Pulau Jawa. Meski begitu, total biaya sebesar Rp 466 Triliun tersebut tidak begitu saja muncul, karena pembiayaan tersebut sudah dihitung dan diperkirakan dengan matang-matang. 

Berikutnya, pembiyaan tersebut akan digunakan sebagai biaya pembangunan dan pemindahan ibu kota negara. Rp 32,7 Triliun akan digunakan sebagai pembangunan infrastruktur fungsi utama, seperti dalam pembangunan Gedung Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Kemudian pembangunan infrastruktur fungsi pendukung memakan biaya 265,1 Triliun, yang mencakup Gedung dan rumah ASN/POLRI/TNI serta fasilitas lainnya. 160,2 Triliun digunakan untuk membangun infrastruktur penunjang dalam bentuk fasilitas sarana dan prasarana. Dan terakhir digunakan untuk kebutuhan pengadaan lahan sebesar 8 Triliun.

Sedangkan untuk skemanya sendiri, pembiayaan pemindahan ibu kota negara akan berasal dari beberapa hal, yaitu dari APBN, KPBU dan dari Swasta. Dari APBN ada porsi sebesar 19,2% atau sebesar Rp 89,472 Triliun. Dari APBN ini rencananya akan digunakan sebgai pembangunan Infrastruktur dasar, Instana Negara dan bangunan TNI/POLRI, rumah dinas, pengadaan lahan, RTH, serrta pangkalan militer. 

Kemudian 26,2% atau sebesar 122,092 Triluin berasal dari Swasta, yang akan digunakan sevagai perumahan, perguruan tinggi, science technopark, bandara, pelabuhan jalan tol, sarana kesehatan, shopping mall hingga MICE. Dari KPBU akan menyumbang sebesar 54,6% atau Rp 254,436 Triliun, yang nantinya digunakan untuk Gedung Parlementer, Infrastruktur lain diluar cakupan APBN, sarana pendidikan dan kesehatan, museum dan lembaga permsyarakatan, serta sarana penunjang lainnya.  

Selain itu, ada juga dampak yang timbul dan berpengaruh pada masyarakat sekitar daerah ibu kota baru. Dengan berpindahnya ibu kota negara menuju Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara maka secara langsung akan berpengaruh kepada daerah sekitar serta penduduknya. Salah satu hal, yang pasti adalah peningkatan kegiatan pertanian. Hal ini dikarenakan dnegan berpindahnya ibu kota negara, maka juga akan ada perpindahan ASN dan pegawai-pegawai swasta. 

Dimana akan meningkatkan permintaan bahan pangan, sehingga sektor pertanian mau tak mau harus berkembanga. Kemudian dengan adanya perpindahan ASN dan pegawai-pegawai tersebut, maka juga akan berdampak pada tingginya permintaan pada sektor permukiman. Dan secara otomatis pula, bisnis layanana dan jasa serta perdagangan juga akan semakin meningkat.

Tidak hanya dampak positf, diperkirakan pemindahan ibu kota negara juga akan berdampak negatif. Seperti halnya Kota Jakarta dengan konversi lahan besar-besaran, ditakutkan fenomena tersebut juga dapat terjadi di Kalimantan. Selain itu, ditakutkan adanya calo-calo yang menjual lahan dengan harga tinggi. 

Namun, dampak negatif ini juga masih belum pasti, dan lagi dampak negatif yang ada tidaklah lebih besar dari dampak positif yang diberikan dan tercipta dari pemindahan ibu kota negara. Lalu, apakah pembiayaan sebesar Rp 466 Triliun itu terlalu besar dan mahal? Bisa dikatakan tidak, karena pembiayaan sebesar itu merupakan investasi negara dalam membangun Indonesia untuk kedepannya. Meski sekarang terlihat besar dan mahal, tapi pembiyaan sebesar itu akan berdampak besar pula bagi Indonesia kedepannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun