Martir Itu Bernama Munir
Barangkali jika langit Romania dapat berbicara, ia akan menjadi saksi sebenar-benarnya saksi. Tujuh belas tahun lalu, Munir Said Thalib terbang menuju Amsterdam untuk melanjutkan studinya di University of Utrecht. Naas, bukan ilmu yang ia dapat, melainkan arsenik yang menjadi maut baginya. Munir diracun menggunakan senyawa arsenik, tepat dua jam sebelum tiba di Bandara Schipol, Amsterdam. Ia diracun di dalam pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA-974.
Munir Said Thalib adalah seorang yuris sekaligus aktivis hak asasi manusia (HAM). Setelah kuliah, ia bergabung dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang. Kemudian ia pindah ke LBH Surabaya dan mengadvokasi kasus pembunuhan Marsinah. Ia juga sempat menjadi Direktur LBH Semarang selama tiga bulan sebelum pada akhirnya ia pindah ke Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jakarta. Munir juga terlibat dalam advokasi kasus penghilangan paksa 24 aktivis pada tahun 1998 serta menjadi bagian dari Komisi Penyelidikan Pelanggaran (KPP) HAM pada tahun 1999. Pergerakkan Munir tidak statis, ia berpikir visioner, ia mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) dan lembaga pemantau HAM Imparsial yang hingga hari ini masih eksis. Sayangnya, aktivisme Munir dianggap sebagai ancaman bagi sekelompok orang, hingga akhirnya Munir meregang nyawa. Munir akan selalu dikenang sebagai martir kemanusiaan dan keadilan.
Investigasi, Peradilan, dan Berkas yang Hilang
Kasus pembunuhan Munir memang sejatinya telah diinvestigasi dan diadili pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Melalui Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2004 tentang Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir, Tim Pencari Fakta (TPF) dibentuk oleh pemerintah. Hasil investigasi diserahkan kepada presiden saat itu secara langsung, tetapi tidak pernah dibuka kepada publik hingga hari ini. Alih-alih diproses, laporan investigasi tersebut justru dikabarkan hilang. KontraS memenangkan gugatan atas Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) pada 2016 untuk membuka laporan investigasi tersebut, tetapi Kemensetneg berdalih bahwa mereka tidak memiliki dokumen yang dimaksud. Sulit rasanya untuk memberikan argumentasi logis tentang mengapa lembaga negara bisa kehilangan sebuah dokumen yang sangat penting. Hingga rezim berganti, laporan investigasi tersebut masih menjadi tanda tanya besar yang dikubur dalam-dalam oleh pemerintah.
Kasus pembunuhan Munir juga sejatinya telah diadili dan memidanakan sejumlah nama. Nama-nama tersebut adalah Pollycarpus Budihari Priyanto (Eks Pilot Senior Garuda Indonesia) yang divonis delapan belas tahun penjara, Indra Setiawan (Eks Direktur Utama Garuda Indonesia) yang divonis delapan belas bulan penjara, dan Rohainil Aini (Eks Chief Secretary Airbus Garuda Indonesia) yang divonis dua belas bulan penjara. Akan tetapi, rasanya aktor intelektual pembunuhan Munir masih belum tersentuh. Dugaan keterlibatan Badan Intelijen Negara (BIN) masih menjadi misteri. Contohnya adalah Muchdi Purwoprandjono (Eks Deputi V BIN) yang dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan.Â
Daluwarsa di Depan Mata
Merujuk pada Pasal 78 ayat (1) jo. Pasal 79 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kasus pembunuhan Munir memiliki tenggat daluwarsa penuntutan selama delapan belas tahun berlaku sehari setelah perbuatan dilakukan. Artinya, per tanggal 8 September 2022 nanti, pelaku pembunuhan Munir tidak akan bisa dituntut lagi secara pidana. Kondisi ini yang disebut sebagai impunitas atau kebal hukum.
Sejatinya terdapat opsi untuk mencegah impunitas itu, yaitu dengan menyatakan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat. Berdasarkan Undang-Undang Pengadilan HAM (UU Pengadilan HAM), kasus pelanggaran HAM berat tidak memiliki daluwarsa. Siapa yang berhak menyatakan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat? Ya, jawabannya adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Namun, hingga detik-detik terakhir ini, Komnas HAM tak kunjung melakukan hal tersebut.
Statuta Roma: Obat yang Tidak Mampu "Dibeli" oleh Negara
Statuta Roma merupakan statuta internasional yang menjadi dasar berdirinya International Criminal Court (ICC) untuk mengadili pelanggaran HAM berat. Statuta ini disahkan di Roma pada tahun 1998 dan berlaku efektif pada tahun 2002. Terdapat empat jenis pelanggaran HAM berat yang diatur di dalam statuta ini, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, kejahatan perang, dan agresi. Sejatinya kasus pembunuhan Munir memiliki indikasi yang dapat memenuhi unsur kejahatan terhadap kemanusiaan karena dilakukan secara sistematik kepada penduduk sipil. Sayangnya, Statuta Roma terasa terlalu "mahal" bagi pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hingga kini, Indonesia belum menandatangani dan meratifikasi Statuta Roma. Hal ini berimplikasi pada kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang tidak akan bisa dibawa ke ICC, termasuk kasus pembunuhan Munir.Â