Mohon tunggu...
Annisa Aulia
Annisa Aulia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Sebelas Maret

Seorang mahasiswa semester akhir pecinta kucing yang sedang berjuang melawan kejamnya dunia

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Fenomena Hustle Culture Memicu Burnout di Kalangan Mahasiswa

5 Desember 2024   08:30 Diperbarui: 5 Desember 2024   09:17 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Istilah "hustle culture" menjadi semakin populer akhir-akhir ini, terutama di kalangan para generasi muda. Banyak orang merasa tertekan karena adanya tuntutan untuk selalu produktif dalam dunia modern yang kompetitif ini. 

Budaya kerja yang menekankan pentingnya usaha tanpa henti seringkali dianggap sebagai kunci kesuksesan. Namun sebenarnya, terdapat risiko besar di balik dorongan untuk sukses tersebut. Fenomena hustle culture dapat mengganggu kesehatan mental maupun fisik para generasi muda, terutama bagi mahasiswa. 

Apa Itu Hustle Culture?

Budaya hustle merujuk pada pola pikir dan perilaku yang mendorong individu untuk terus-menerus bekerja, berusaha mencapai lebih, dan tidak pernah merasa puas dengan pencapaian yang ada. Menurut psikolog dari UGM, hustle culture berkembang dari workaholic yang berarti orang yang tidak berhenti bekerja (Indrayati, 2023). Kondisi ini dapat terjadi pada setiap orang, tidak hanya di lingkungan kerja tetapi juga dunia pendidikan. 

Dalam konteks mahasiswa, dapat dilihat pada tuntutan untuk mengambil banyak mata kuliah, aktif mengikuti berbagai organisasi, dan melakukan magang. Hal ini mereka lakukan demi membangun portofolio yang mengesankan. Pada akhirnya, kondisi mereka malah berkembang menjadi produktivitas yang berbahaya. Mahasiswa yang terjebak dalam pola pikir ini sering mengabaikan gejala kelelahan dan stres, yang dapat berujung pada kondisi burnout. 

Penyebab Munculnya Hustle Culture di Kalangan Mahasiswa

Kehidupan mahasiswa yang terus mendorong adanya target pencapaian dan kerja keras, mengakibatkan fenomena "hustle culture" semakin berkembang. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi mahasiswa untuk melakukan budaya tersebut.

  • Lingkungan yang kompetitif

Adanya kepercayaan bahwa mahasiswa harus menonjol di antara rekan-rekannya. Dengan semakin banyaknya lulusan yang masuk ke dunia kerja, menimbulkan dorongan untuk bekerja lebih keras dalam usaha menarik perhatian perusahaan. Untuk membangun portofolio yang keren, maka banyak mahasiswa mengikuti berbagai kegiatan, seperti magang dan organisasi.

  • Standar Sosial dan Harapan Keluarga

Standar sosial yang ada di masyarakat dan harapan orang tua menjadi alasan mahasiswa dipaksa untuk sukses. Mereka harus memenuhi ekspektasi yang dibebankan oleh orang tua, teman, dan komunitas di sekitar mereka. Hal ini seringkali membuat mahasiswa terdorong untuk melakukan lebih banyak hal di luar kemampuan mereka.

  • Pengaruh Media Sosial

Pada era digital ini, media sosial memiliki peran vital yang mempengaruhi persepsi orang mengenai keberhasilan. Kemudahan teknologi memudahkan kita melihat berbagai konten gaya hidup produktif dan pencapaian luar biasa orang lain. Hal itu menimbulkan banyak mahasiswa menjadi merasa tidak cukup. Mereka akan memaksa diri bekerja lebih keras untuk menunjukan diri mereka yang terlihat sukses dan produktif di mata publik. 

  • Beban Akademik dan Finansial

Banyak mahasiswa menghadapi tantangan berat yang tidak hanya berupa beban akademik tetapi juga beban keuangan, seperti biaya kuliah dan biaya hidup. Kondisi ini memaksa mereka untuk bekerja keras dengan memperoleh beasiswa dan bekerja paruh waktu agar dapat memenuhi kebutuhan. 


Solusi Mengatasi Hustle Culture

Ada beberapa tips yang dapat dilakukan mahasiswa untuk menghindari hustle culture agar tidak menimbulkan burnout. Pertama, mahasiswa harus peka terhadap situasi mereka sendiri. Apabila sudah merasa bekerja terlalu lama dan tubuh mulai menunjukan gejala kelelahan, maka harus segera berhenti dan istirahat.  

Kedua, mahasiswa dapat membuat jadwal agar terhindar dari penumpukan deadline pekerjaan dan tidak lupa untuk memberi waktu istirahat atau liburan. Ketiga, menetapkan target yang realistis. Tidak ada salahnya menjadi ambisius dan menetapkan target yang tinggi. 

Namun, tetap harus sesuai dengan keadaan diri sendiri. Keempat, mahasiswa harus berhenti membandingkan pencapaian sendiri dengan orang lain. Setiap orang memiliki latar belakang kehidupan, kemampuan dan impian yang berbeda-beda. Kita adalah toko utama dalam hidup kita sendiri, maka dari itu tidak ada gunanya membandingkan diri sendiri dengan orang lain. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun