Konflik di Laut Cina Selatan (LCS) telah menjadi polemik geopolitik yang kompleks sepanjang sejarah. Klaim Republik Rakyat Tiongkok (RRT) mengenai Nine-Dash Line (NDL) atau dikenal dengan "Sembilan Garis Putus-Putus “ di dasarkan pada sejarah yang mencakup hampir semua wilayah perairan seluas 3 juta kilometer persegi. Namun, klaim ini tidak diakui oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, yang mengatur batas-batas wilayah laut secara internasional (Kompas, 3 September 2020).
Masalah bermula dari komitmen Cina dalam menyetujui UNCLOS, yang secara resmi mengatur batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dan landas kontinen. Pada 28 Agustus 2023, Cina merilis peta baru yang disebut “ Sepuluh Garis Putus-Putus” di mana cina mencaplok satu daerah lagi di sisi Timur wilayah Taiwan sekaligus tidak mengakui UNCLOS 1982. Hal ini memantik banyak perdebatan dan konflik di antara beberapa negara yang wilayah teritorialnya dicaplok oleh Cina atas peta baru Cina, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, Taiwan, dan Filipina (Kompas, 30 Agustus 2023).
Bukan tanpa alasan, Laut Cina Selatan menjadi objek persengketaan beberapa negara karena melimpahnya kekayaan alam di wilayah tersebut. Di antaranya terdapat 900 triliun kaki kubik gas alam, 213 miliar barel minyak bumi, serta memiliki sepertiga dari total keanekaragaman hayati laut dunia dan masih banyak lagi sumber daya alam yang berharga (CNN Indonesia, 10 Maret 2021).
Meskipun Indonesia tidak termasuk negara yang ikut memperebutkan wilayah Laut Cina Selatan, karena mepetnya wilayah perairan Indonesia dengan Nine Dash Line (NDL) dan juga nekatnya Cina mengklaim sebagian wilayah Indonesia−sebagian wilayah di Laut Natuna Utara− sebagai wilayah teritorialnya, pada akhirnya turut menyeret Indonesia dalam berbagai bentuk ancaman. Salah satunya adalah ancaman terhadap kedaulatan yang memberi gangguan ke ekonomi maritim Indonesia, konflik militer, dan dampak buruk bagi keamanan nasional Indonesia (Kompas, 3 September 2020).
Konflik di Laut Cina Selatan memiliki dampak yang signifikan bagi ekonomi maritim Indonesia. Diperkirakan sekitar 80% perdagangan global dilakukan melalui jalur laut, dengan volume perdagangan melalui Laut Cina Selatan mencapai sekitar 20% hingga 33%. Studi yang dilakukan oleh The Strategist dan Australian Strategic Policy Institute menyatakan jika konflik terus berlanjut, Selat Malaka antara Malaysia dan Indonesia dapat ditutup, menghentikan seluruh jalur perdagangan timur-barat antara Samudera Pasifik dan Hindia melalui Laut Cina Selatan. Ini berarti Indonesia akan menghadapi dampak langsung dari terganggunya alur perdagangan utama, yang dapat menyebabkan penurunan ekonomi maritim yang signifikan di negara ini.
Tidak hanya itu, ada beberapa kasus yang memberi sinyal menegangnya hubungan militer Indonesia dengan beberapa negara yang ikut menyengketakan wilayah Laut Cina Selatan sehingga mengancam kedaultan Indonesia. Contohnya, pada tahun 2019 dan 2020, terdapat dua kapal penjaga pantai dari Cina yang berkeliaran di perairan Natuna Utara ,yang merupakan wilayah teritorial Indonesia. Tidak hanya itu, pada tahun 2021, Cina juga mengirimkan kapal penjaganya ke Laut Natuna Utara untuk menghentikan pengeboran minyak dan gas (migas) di Indonesia yang diklaim sebagai bagian dari wilayah teritorial Cina dalam peta terbarunya (Kompas, 28 Desember 2019; CNN Indonesia, 10 Maret 2021).
Menyikapi hal ini, pemerintah Indonesia merespons dengan tegas. Anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Muhammad Farhan, mengatakan kepada Reuters (dikutip dari Kompas, 3 September 2021), bahwa ia menerima pengarahan perihal sepucuk surat dari diplomat Cina kepada Kementerian Luar Negeri Indonesia, yang dengan jelas meminta Indonesia menghentikan pengeboran di rig sementara lepas pantai, karena aktivitas tersebut dilakukan di wilayah yang diklaim Cina. "Jawaban kami sangat tegas, bahwa kami tidak akan menghentikan pengeboran karena itu adalah hak kedaulatan kami," kata Farhan kepada Reuters (Kompas, 3 September 2021).
Insiden lainnya pada tanggal 24 Februari 2019, angkatan laut Indonesia berhasil menangkap 4 kapal penangkap ikan asing dari Vietnam di perairan Natuna Utara. Keempat kapal itu diciduk mencuri ikan menggunakan alat tangkap trawl. Kemudian, terjadi campur tangan kapal patroli milik pemerintahan Vietnam ketika Angkatan Laut Indonesia berusaha menggiring empat kapal yang ditangkap sebelumnya. Bahkan, kapal Vietnam Fisheries Resources Surveillance (VFRS) masuk tanpa izin ke dalam wilayah teritorial Indonesia serta memberikan manuver yang mengancam dengan berupaya menghalangi Indonesia dalam pengawalannya terhadap empat kapal Vietnam hingga membahayakan KRI TOM-357 (Tempo.co, 26 Februari 2019).
Konflik di Laut Cina Selatan merupakan sinyal bagi Indonesia untuk terus memperkuat pertahanan maritim dan diplomasi internasional untuk memastikan kedaulatan dan keamanan wilayah Indonesia tidak terganggu. Berdasarkan penilitian, ada beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk mengurangi ancaman konflik bagi Indonesia di Laut Cina Selatan. Di antaranya yaitu:
1. Penguatan Kemandirian Ekonomi
Optimalisasi kemandirian ekonomi sangat penting untuk meningkatkan pengaruh Indonesia di kancah internasional. Dengan ekonomi yang mandiri dan kuat, Indonesia dapat membuat keputusan politik dan ekonomi yang optimal tanpa tekanan dari pihak eksternal. Ini mencakup peningkatan kemampuan industri dalam negeri, diversifikasi ekonomi, serta peningkatan investasi dalam infrastruktur dan teknologi.
2. Penguatan Diplomasi dan Sentralitas ASEAN
Sebagai negara dengan perekonomian terbesar di ASEAN, Indonesia memainkan peran utama dalam ekonomi kawasan serta memiliki pengaruh signifikan dalam kebijakan ekonomi dan perdagangan regional. Diplomasi yang kuat dan aktif diperlukan untuk meredakan ketegangan geopolitik di Laut Cina Selatan. Indonesia harus memanfaatkan posisinya untuk memimpin dialog antara negara-negara ASEAN dan Cina, serta mempromosikan penyelesaian konflik melalui jalur diplomatik dan hukum internasional, termasuk UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea).
3. Penguatan pertahanan negara
Menurut data Bank Dunia yang diambil dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara dengan anggaran pertahanan yang paling sedikit, yaitu kurang dari 1% dari PDB. Melihat ketidakstabilan yang semakin meningkat di kawasan Laut Cina Selatan, Indonesia perlu mempertimbangkan untuk meningkatkan anggaran dan kekuatan pertahanan nasional. Langkah ini penting untuk mengantisipasi dampak buruk yang mungkin dihadapi Indonesia di masa depan.
Dengan demikian, karena eratnya hubungan Indonesia dengan negara-negara yang mempersengketakan wilayah Laut Cina Selatan, penting untuk mengupayakan solusi damai atas segala konflik yang terjadi atau berkemungkinan terjadi ke depannya agar tetap tercipta relasi yang sehat dan saling menguntungkan antarnegara.
Daftar Pustaka
Kompas.com. (2021, Desember 4). Kronologi Konflik di Laut Natuna, China Tuntut Indonesia Setop Pengeboran. Diakses pada 20 Mei 2024, dari https://www.kompas.com/global/read/2021/12/04/070338470/kronologi-konflik-di-laut-natuna-china-tuntut-indonesia-setop-pengeboran.
CNN Indonesia. (2021, 10 Maret). Kekayaan Alam di Laut China Selatan yang Jadi Sengketa China dan Negara ASEAN. Diakses dari [https://www.cnnindonesia.com](https://www.cnnindonesia.com)
Kompas. (2020, 3 September). Sengketa Laut China Selatan dan Dampaknya bagi Indonesia. Diakses dari [https://www.kompas.com](https://www.kompas.com)
Kompas. (2023, 28 Agustus). China Rilis Peta Baru, Klaim Hampir Semua Wilayah Laut China Selatan. Diakses dari [https://www.kompas.com](https://www.kompas.com)
Kompas. (2023, 30 Agustus). Klaim Sepihak China di Laut China Selatan Picu Protes dari Beberapa Negara ASEAN. Diakses dari [https://www.kompas.com](https://www.kompas.com)
Kompas. (2021, 3 September). Indonesia Tolak Hentikan Pengeboran di Laut Natuna Utara. Diakses dari [https://www.kompas.com](https://www.kompas.com)
Tempo.co. (2019, 26 Februari). Kronologi Insiden Laut Natuna Utara: Kapal Vietnam Ganggu KRI TOM-357. Diakses dari [https://www.tempo.co] (https://www.tempo.co)
UNCLOS. (1982). United Nations Convention on the Law of the Sea. Diakses dari [https://www.un.org/depts/los/convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf](https://www.un.org/depts/los/convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf)
Koessetianto, B. B., Nugroho, B. A., Syarifuddin, K. F., Susilawati, Supriyanto, T., Wiyono, W., Yusgiantoro, P., & Midhio, I. W. (2024). Strategi keamanan nasional Republik Indonesia menghadapi rivalitas Amerika Serikat - China di Laut China Selatan. Journal on Education, 6(2), 12694-12711. http://jonedu.org/index.php/joe
Mori, H. (2023, September 5). China's New 'Ten-Dash Line' Map Infuriates Asian Neighbors. JAPAN Forward. Retrieved May 21, 2024, from https://japan-forward.com/chinas-new-ten-dash-line-map-infuriates-asian-neighbors/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H