Mohon tunggu...
Annisa Alfitriah
Annisa Alfitriah Mohon Tunggu... Lainnya - penulis

Memiliki ketertarikan mendalam di bidang hukum dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Urgensi Kedaulatan Indonesia terhadap Ancaman Konflik di Laut Cina Selatan

21 Mei 2024   13:44 Diperbarui: 21 Mei 2024   14:00 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik di Laut Cina Selatan (LCS) telah  menjadi polemik geopolitik yang kompleks sepanjang sejarah. Klaim Republik Rakyat Tiongkok (RRT) mengenai Nine-Dash Line (NDL)  atau dikenal dengan "Sembilan Garis Putus-Putus “ di dasarkan pada sejarah yang mencakup hampir semua wilayah perairan seluas 3 juta kilometer persegi. Namun, klaim ini tidak diakui oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, yang mengatur batas-batas wilayah laut secara internasional (Kompas, 3 September 2020).

Masalah bermula dari komitmen Cina dalam menyetujui UNCLOS, yang secara resmi mengatur batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dan landas kontinen. Pada 28 Agustus 2023, Cina merilis peta baru yang disebut “ Sepuluh Garis Putus-Putus” di mana cina mencaplok satu daerah lagi di sisi Timur wilayah Taiwan sekaligus tidak mengakui UNCLOS 1982. Hal ini memantik banyak perdebatan dan konflik di antara beberapa negara yang wilayah teritorialnya dicaplok oleh Cina atas peta baru Cina, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, Taiwan, dan Filipina (Kompas, 30 Agustus 2023).

Bukan tanpa alasan, Laut Cina Selatan menjadi objek persengketaan beberapa negara karena melimpahnya kekayaan alam di wilayah tersebut. Di antaranya terdapat 900 triliun kaki kubik gas alam, 213 miliar barel minyak bumi, serta memiliki sepertiga dari total keanekaragaman hayati laut dunia dan masih banyak lagi sumber daya alam yang berharga (CNN Indonesia, 10 Maret 2021).

Meskipun Indonesia tidak termasuk negara yang ikut memperebutkan wilayah Laut Cina Selatan, karena mepetnya wilayah perairan Indonesia dengan Nine Dash Line (NDL) dan juga nekatnya Cina mengklaim sebagian wilayah Indonesia−sebagian wilayah di Laut Natuna Utara− sebagai wilayah teritorialnya, pada akhirnya turut menyeret Indonesia dalam berbagai bentuk ancaman. Salah satunya adalah ancaman terhadap kedaulatan yang memberi gangguan ke ekonomi maritim Indonesia, konflik militer, dan dampak buruk bagi keamanan nasional Indonesia (Kompas, 3 September 2020).

Konflik di Laut Cina Selatan memiliki dampak yang signifikan bagi ekonomi maritim Indonesia. Diperkirakan sekitar 80% perdagangan global dilakukan melalui jalur laut, dengan volume perdagangan melalui Laut Cina Selatan mencapai sekitar 20% hingga 33%. Studi yang dilakukan oleh The Strategist dan Australian Strategic Policy Institute menyatakan jika konflik terus berlanjut, Selat Malaka antara Malaysia dan Indonesia dapat ditutup, menghentikan seluruh jalur perdagangan timur-barat antara Samudera Pasifik dan Hindia melalui Laut Cina Selatan. Ini berarti Indonesia akan menghadapi dampak langsung dari terganggunya alur perdagangan utama, yang dapat menyebabkan penurunan ekonomi maritim yang signifikan di negara ini.

Tidak hanya itu,  ada beberapa kasus yang memberi sinyal menegangnya hubungan militer Indonesia dengan beberapa negara yang ikut menyengketakan wilayah Laut Cina Selatan sehingga mengancam kedaultan Indonesia. Contohnya, pada tahun 2019 dan 2020, terdapat dua kapal penjaga pantai dari Cina yang berkeliaran di perairan Natuna Utara ,yang merupakan wilayah teritorial Indonesia. Tidak hanya itu, pada tahun 2021, Cina juga mengirimkan kapal penjaganya ke Laut Natuna Utara untuk menghentikan pengeboran minyak dan gas (migas) di Indonesia yang diklaim sebagai bagian dari wilayah teritorial Cina dalam peta terbarunya (Kompas, 28 Desember 2019; CNN Indonesia, 10 Maret 2021).

Menyikapi hal ini, pemerintah Indonesia merespons dengan tegas. Anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Muhammad Farhan, mengatakan kepada Reuters (dikutip dari Kompas, 3 September 2021), bahwa ia menerima pengarahan perihal sepucuk surat dari diplomat Cina kepada Kementerian Luar Negeri Indonesia, yang dengan jelas meminta Indonesia menghentikan pengeboran di rig sementara lepas pantai, karena aktivitas tersebut dilakukan di wilayah yang diklaim Cina. "Jawaban kami sangat tegas, bahwa kami tidak akan menghentikan pengeboran karena itu adalah hak kedaulatan kami," kata Farhan kepada Reuters (Kompas, 3 September 2021).

Insiden lainnya pada tanggal 24 Februari 2019, angkatan laut Indonesia berhasil menangkap 4 kapal penangkap ikan asing dari Vietnam di perairan Natuna Utara. Keempat kapal itu diciduk mencuri ikan menggunakan alat tangkap trawl. Kemudian, terjadi campur tangan kapal patroli milik pemerintahan Vietnam ketika Angkatan Laut Indonesia berusaha menggiring empat kapal yang ditangkap sebelumnya. Bahkan, kapal Vietnam Fisheries Resources Surveillance (VFRS) masuk tanpa izin ke dalam wilayah teritorial Indonesia serta memberikan manuver yang mengancam dengan berupaya menghalangi Indonesia dalam pengawalannya terhadap empat kapal Vietnam hingga membahayakan KRI TOM-357 (Tempo.co, 26 Februari 2019).

Konflik di Laut Cina Selatan merupakan sinyal bagi Indonesia untuk terus memperkuat pertahanan maritim dan diplomasi internasional untuk memastikan kedaulatan dan keamanan wilayah Indonesia tidak terganggu. Berdasarkan penilitian, ada beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk mengurangi ancaman konflik bagi Indonesia di Laut Cina Selatan. Di antaranya yaitu:

1.  Penguatan Kemandirian Ekonomi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun