Mohon tunggu...
Annisa A
Annisa A Mohon Tunggu... Lainnya - Hamba

Bekerja sebagai ASN. Hidup seperti manusia pada umumnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kuliah Subuh

23 Juli 2023   00:18 Diperbarui: 23 Juli 2023   00:22 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti biasa, sebelum adzan Subuh berkumandang selimut Andri sudah ditarik paksa oleh kakeknya. Usaha yang sia-sia seperti biasanya juga. Andri semakin meringkuk, memeluk lutut. Matanya enggan terbuka. Hanya badannya yang aktif merespon udara dingin. Ia seperti ulat kaki seribu yang kena ujung sapu: mengunci posisi tak peduli perlakuan yang didapat.

Kakeknya mengumbar beberapa kalimat sambil bersungut-sungut. Lalu beranjak pergi ke masjid. Andri lega sesaat. Ia terlelap lagi sebelum terbangun mendengar pintu rumah terbuka. Kakeknya sudah pulang dari masjid. Pertanda matahari sudah hampir terbit. Andri melompat dari tempat tidur, mengambil wudhu dan segera menggelar sajadah. Kakeknya batal marah-marah karena ia sudah dalam posisi takbiratul ihram.

Tapi si kakek tidak segera pergi. Baru selesai membaca Al Fatihah, Andri mendengar pergerakan di belakangnya. Suara berderit dari pegas ranjang tua yang diduduki. Andri menelan ludah. Selesai sholat ia pasti akan diceramahi.

"Percuma kamu ikut perayaan kalau sholatmu masih telat begini," sang kakek membuka kalimat pertama kuliah subuhnya yang agak kesiangan. Setelah jeda seusai salam dengan dzikir yang tidak khusyuk, Andri berbalik menghadap kakeknya dengan posisi siap mendengarkan. Menerima nasib. Hanya perlu tarikan nafas di awal dan mengangguk-angguk patuh. Setelah itu ia akan bisa melanjutkan tidur nyenyaknya. Demikian pikir Andri.

"Kamu cuma ikut-ikutan saja, memangnya kamu paham esensi sebenarnya dari apa yang kamu rayakan kemarin?"

Bibir Andri bergetar demi menahan diri agar tidak menguap. Tadi malam setelah acara pawai obor resmi ditutup panitia, ia dan teman-temannya tidak langsung pulang. Mereka ngobrol 'sebentar'. Istilah kerennya: nongkrong. Tapi rasanya tidak pas disandingkan dengan agenda Tahun Baru Islam. Sebut saja 'bersilaturrahmi'. Mereka baru ketemu kasur di rumah masing-masing ketika tengah malam.

"Orang-orang bersuka cita dan saling bertukar sapa 'Selamat Tahun Baru Hijriyah!'. Kamu dan kawan-kawanmu itu pasti juga begitu, kan?"

Andri mengangguk khidmat, tidak berani menatap langsung kakeknya. Ia bisa membayangkan status medsos kawan-kawannya sekarang. Hampir dipastikan ucapan selamat dengan berbagai desain memenuhinya. Sebenarnya sudah dimulai dari kemarin, tapi hari ini pasti lebih masif lagi.

"Bah! Yang berganti hanya bilangan tahun. Coba kau perhatikan, berapa banyak yang benar-benar bisa 'mengganti' kelakuan jeleknya setelah doa-doa baik itu?"

Andri mulai tidak yakin kakeknya sedang menceramahinya atau orang-orang di luar sana.

"Lihat dirimu ini! Bukannya sembahyangmu makin bagus malah makin telat!"

Sekarang Andri yakin dirinya masih menjadi objek ceramah kakeknya.

"Seribu empat ratus tahun lebih setelah Rasulmu memutuskan hijrah, berpindah bukan hanya tempat tapi juga membangun peradaban yang lebih baik, dan kamu beranjak dari kasurmu saja sulit. Mau jadi umat macam apa kamu, Andri?"

Sekali lagi Andri mengangguk memberi isyarat pembenaran dari ujaran kakeknya.

"Jangan hanya mengangguk-angguk saja! Setelah ini bantu sapu halaman! Cabut rumput di depan! Bersihkan kaca jendela! Jangan mentang-mentang libur kamu mau santai seenaknya!"

Tidak ada pilihan selain mengangguk lagi setelah kalimat penutup itu. Setelah kakeknya menghilang dibalik pintu, Andri merapikan tempat tidurnya dengan terpaksa. Hampir saja ia terjatuh lagi di atas bantal empuknya. Selimutnya tiba-tiba seperti memanggilnya untuk membenamkan diri di sana.

Tetapi ia bergidik membayangkan sesuatu. Seandainya ketika kakeknya pulang dari warung nasi kuning setelah membeli sarapan untuk mereka berdua, Andri ditemukan terbungkus rapi di dalam selimut, mungkin akan ada sesi lanjutan dari ceramah tadi. Jadi dengan langkah gontai Andri menuju teras, meraih sapu lidi bergagang tinggi, mulai menyapu daun-daun kering di halaman sembari menunggu kakeknya pulang membawa sarapan.

-

Cerpen lainnya: Meramal Kematian, Kembali Seperti Dulu, dan lain-lain.
Puisi Lainnya: Ditelan Tanah Rantau, Membaca Wajahmu, dan lain-lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun