"Lihat dirimu ini! Bukannya sembahyangmu makin bagus malah makin telat!"
Sekarang Andri yakin dirinya masih menjadi objek ceramah kakeknya.
"Seribu empat ratus tahun lebih setelah Rasulmu memutuskan hijrah, berpindah bukan hanya tempat tapi juga membangun peradaban yang lebih baik, dan kamu beranjak dari kasurmu saja sulit. Mau jadi umat macam apa kamu, Andri?"
Sekali lagi Andri mengangguk memberi isyarat pembenaran dari ujaran kakeknya.
"Jangan hanya mengangguk-angguk saja! Setelah ini bantu sapu halaman! Cabut rumput di depan! Bersihkan kaca jendela! Jangan mentang-mentang libur kamu mau santai seenaknya!"
Tidak ada pilihan selain mengangguk lagi setelah kalimat penutup itu. Setelah kakeknya menghilang dibalik pintu, Andri merapikan tempat tidurnya dengan terpaksa. Hampir saja ia terjatuh lagi di atas bantal empuknya. Selimutnya tiba-tiba seperti memanggilnya untuk membenamkan diri di sana.
Tetapi ia bergidik membayangkan sesuatu. Seandainya ketika kakeknya pulang dari warung nasi kuning setelah membeli sarapan untuk mereka berdua, Andri ditemukan terbungkus rapi di dalam selimut, mungkin akan ada sesi lanjutan dari ceramah tadi. Jadi dengan langkah gontai Andri menuju teras, meraih sapu lidi bergagang tinggi, mulai menyapu daun-daun kering di halaman sembari menunggu kakeknya pulang membawa sarapan.
-
Cerpen lainnya: Meramal Kematian, Kembali Seperti Dulu, dan lain-lain.
Puisi Lainnya: Ditelan Tanah Rantau, Membaca Wajahmu, dan lain-lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H