Mohon tunggu...
Annisa F Rangkuti
Annisa F Rangkuti Mohon Tunggu... Psikolog - 🧕

Penikmat hidup, tulisan, dan karya fotografi. https://www.annisarangkuti.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Miris, Tragedi Intelektual di Buku Jokowi

2 Oktober 2013   07:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:07 2554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

YA, ini terkait buku "Jokowi [Bukan] Untuk Presiden", dimana saya sebagai salah satu penulisnya. Sejak awal saya ikut mengirimkan link tulisan saya ke pengelola Kompasiana untuk diseleksi, saya tak berharap banyak. Sama sekali tak ada pikiran saya untuk berharap tulisan saya itu lolos seleksi. Tokh, itu adalah tulisan saya setahun yang lalu, di saat event Pilgub Jakarta lagi seru-serunya. Sampai-sampai saya lupa pernah mengirimkan link itu ketika pada suatu sore, Mas Nurul, salah seorang admin Kompasiana, menelepon saya untuk meminta persetujuan agar tulisan saya diikutsertakan ke dalam buku Jokowi -yang saat itu saya belum tahu judulnya apa. Itu pun ditelepon karena saya selama beberapa hari tak mengecek email, sementara email balasan sudah tiba tenggat waktunya.

Jelas saya senang. Jelas saya sumringah. Karena untuk pertama kalinya, tulisan saya masuk ke dalam buku kolaborasi yang diterbitkan penerbit major. Selama ini beberapa kali tulisan saya "hanya" terselip di buku-buku antologi terbitan indie. Terasa "wah"? Ya. Meski saya hanya menyumbang  satu tulisan saja di buku itu.

Tak saya pikirkan berapa kira-kira kisaran honor yang akan saya terima terkait penerbitan buku itu di bawah bendera penerbit PT. Elex Media Komputindo. Saya sudah menduga bakal dapat sedikit. Istilahnya, tak mungkin lah mendapat royalti berjuta-juta..hahaha.. Wajar, karena penulisnya serombongan. Setelah dirilis di toko buku Gramedia se-Jabodetabek pada tanggal 16 September, pihak pengelola Kompasiana menjanjikan surat perjanjian penerbitan akan segera menyusul setelah rilis. Oke, saya dan teman-teman sesama penulis di buku itu pun menunggu.

Hingga akhirnya saya mendapat kabar tentang besaran honor yang diterima masing-masing penulis per artikel, yakni Rp 155.000,- Itu juga setelah saya di-tag di status Facebook Kompasianer Anazkia yang mempertanyakan berapa sebenarnya jumlah penulis yang berkolaborasi di buku Jokowi tersebut? Sekaligus menautkan link artikel Kompasianer Suko Waspodo yang satire di Kompasiana. Reaksi awal saya jelas tak menduga besaran honornya segitu. Tapi saya langsung coba berpikir positif, tepatnya menghibur diri, kalau besaran segitu lumayanlah untuk seorang penulis pemula seperti saya.

Meski berusaha melogikakan perasaan miris saya, tak urung saya sempat tertegun sejenak. Rp 155.000,-? Apa saya tak salah lihat? Beberapa saat kemudian saya baru cek email. Dan saya makin ternganga. Bukan saja soal besaran honor yang didapat, tapi isi surat perjanjian penerbitan itu yang bikin makin ngenes. Kontrak panjang selama 10 tahun dengan bayaran honor sekali saja alias memakai sistem beli putus, dengan harga masing-masing artikel ya Rp 155.000,- tadi.

Tak cukup sampai di situ, soal pengalihan hak cipta pun terasa berat sebelah. Entahlah. Mungkin saya yang tak cukup paham bahwa memang begitulah kenyataannya bila karya tulis kita masuk ke penerbit major atau memang kebijakan penerbit bersangkutan yang dirasa "terlalu" kalau kata Bang  Rhoma Irama. Bahkan bisa dikatakan saya justru membayar lebih untuk rasa bangga yang kadung tercipta dengan terbitnya buku itu. Membayar untuk sejumlah buku yang saya pesan. Membayar jasa kurir untuk kepentingan pengiriman Surat Perjanjian Penerbitan (SPP) jika itu jadi saya setujui. Praktis, saya sebagai salah satu penulisnya hanya memperoleh rasa bangga itu saja.

Terlalu, karena bahan tulisan adalah seorang tokoh politik paling populer saat ini dan berpotensi tetap menjadi tokoh yang paling banyak dibicarakan beberapa tahun mendatang. Terlalu, karena momentum rilisnya sangat pas, jelang Pilpres 2014 dan di tengah isu Jokowi yang digadang-gadang menjadi salah satu kandidatnya. Terlalu, karena dalam jangka waktu 10 tahun ke depan, masih ada kesempatan buku itu untuk laku dijual meskipun seandainya Jokowi baru mencalonkan diri sebagai Presiden di tahun 2019. Terlalu, terlalu, ah, memang terlalu-kah atau bagaimana?

Saya jadi serba salah. Dilematis, tepatnya. Saya merasa ini bukan hanya perkara besaran honor yang tidak cukup adil, tapi lebih pada besaran penghargaan atas suatu karya tulis. Di sisi lain, saya berpikir, "Ah, sudahlah. Namanya juga penulis pemula. Terima saja apa adanya. Sudah syukur lolos seleksi dan diterbitkan menjadi buku keren oleh penerbit major. Bukankah itu sesuatu yang "wow" dan kebanggaan yang tak ternilai?"

Berpikir begitu, saya tetap saja merasa ada yang tak sesuai pada tempatnya. Kalau saja sejak awal buku itu diterbitkan dengan tujuan bakti sosial atau amal/charity, saya takkan masalah. Karena sejak awal saya sudah setuju dengan ide itu dan bersedia menyumbangkan satu tulisan, misalnya. Atau memang dikatakan penulis tidak akan mendapat apa-apa selain rasa bangga itu tadi.

Sama halnya dengan tujuan saya menulis di Kompasiana, yang selama ini saya anggap sebagai sekolah menulis bagi saya pribadi. Rasa puas dan bangga bila tulisan sederhana saya masuk headline, rasa puas dan bangga bila tulisan ecek-ecek saya nangkring di Trending Article. Saya senang berbagi apa saja yang ingin saya bagi di sini. Tanpa rupiah sepeser pun. Akan lain ceritanya kalau tulisan saya dimuat di rubrik Kompasiana Freez-Kompas atau tulisan saya menjadi salah satu pemenang event lomba, di mana akan ada sebentuk penghargaan berupa materi di situ.

Saya juga senang ikut menjadi bagian proyek penulisan non profit -kalau bisa disebut demikian- yang karyanya akan diterbitkan penerbit indie. Bahkan saya sudah merelakan satu naskah cerpen saya tidak kunjung diterbitkan ke dalam bentuk buku antologi oleh salah satu penyelenggara, karena niat awal yang sudah disepakati; untuk amal.

Tapi ini berbeda, bukan? Bukankah penerbit yang menerbitkan buku Jokowi ini adalah salah satu penerbit besar? Dan seperti yang sudah diketahui umum, jika diterbitkan penerbit besar, maka akan ada dua pilihan sistem pembayaran naskah; beli putus atau royalti. Mungkin inilah dasar kekecewaan saya -dan mungkin juga beberapa teman penulis buku ini. Sungguh, sejak awal dinyatakan lolos seleksi, saya berpikiran bahwa pembayaran honor penulis di buku ini nantinya akan memakai sistem royalti, mengingat bahasan yang ditulis berpotensi cukup menarik minat pembeli.

Memang belakangan saya ketahui kalau buku kolaborasi semacam ini biasanya akan dibeli putus oleh penerbit, mengingat "sulit"nya proses pembayaran royalti per periodenya. Tapi sebenarnya kalau pun dibeli putus, mengapa pihak penerbit tidak menaikkan standarnya? Mengingat ini adalah kontrak panjang dan pengalihan hak ciptanya dirasa benar-benar menghilangkan hak penulis atas karyanya sendiri dengan bayaran yang alakadarnya. Saya rasa masih lebih baik bila saya mengirimkan tulisan saya itu ke media lain dengan honor yang lebih sesuai.

Bila dengan sistem royalti, kalaupun angka penjualannya kurang bagus atau masing-masing penulis bisa saja justru mendapat honor yang lebih rendah daripada yang didapat dari sistem beli putus, ya sudah. Setidaknya ada efek psikologis bahwa karya penulisnya dihargai karena sistem pembayaran honornya yang berkelanjutan, meskipun jumlahnya kecil. Nah sebaliknya, kalau seandainya ternyata buku itu laku di pasaran, apa para penulisnya tidak gigit keyboard? Penerbit mendapat untung besar sementara para penulisnya harus puas dengan bayaran yang sekali itu saja. Poin inilah yang semestinya dipertimbangkan dan dikomunikasikan oleh pihak Kompasiana dan penerbit dengan para penulis buku ini.

Ya, memang intinya adalah komunikasi. Apalagi komunikasi dengan para penulis pemula ini -terutama saya yang jelas masih pemula- yang masih buta sebelah tentang prosedur dan seluk beluk penerbitan buku. Saya baru tahu kalau sebenarnya prosedurnya adalah "konfirmasi naskah lolos seleksi - penandatanganan surat perjanjian penerbitan - buku terbit". Yang terjadi adalah "konfirmasi naskah lolos seleksi - buku terbit - penandatanganan surat perjanjian penerbitan". Jadi, saya dan beberapa teman penulis buku itu merasa dikibuli, diakali, dikadali. Ah, begitulah.

Di situlah kesalahannya. Para penulis buku ini sudah kadung gembira begitu tahu karyanya diterbitkan tanpa dipelajari dulu bagaimana sebenarnya prosedur penerbitan sebuah buku. Jadi oke oke saja saat diberitahu kalau karyanya akan diterbitkan. Mengingat ini adalah tawaran dari penerbit besar, masa iya mereka tega membayar murah? "Mengenai rupiahnya urusan belakangan lah. Yang penting karyaku diterbitkan!". Dueng! Satu poin penting yang harus dicatat untuk proses penerbitan buku di lain waktu -kalau tulisan saya suatu saat diterbitkan penerbit major tentunya. :D

Lalu, salahkah bila saya dan beberapa teman penulis buku ini merasa keberatan dengan nominalnya, pada akhirnya? Bisakah pembaca tulisan ini merasa kalau yang saya permasalahkan ini esensinya bukan pada angka rupiah? Tapi sesungguhnya pada seberapa besar penghargaan sebuah penerbit besar terhadap karya penulis yang masih pemula ini? Memang karya saya di situ amatlah sederhana. Buku itu telah menaikkan derajat tulisan saya itu ke posisi yang lebih mentereng.

Meski begitu, saya kerap kurang bisa menerima kalau sebuah karya hasil olah pikir itu dihargai sedemikian rupa. Saya yang belum bisa dikatakan penulis ini memang masih memiliki posisi tawar yang rendah untuk bisa dibayar dengan harga yang tinggi. Tapi hendaknya itu jangan dijadikan alasan untuk "sesukanya" mengumpulkan karya para penulis ke dalam sebuah buku yang lalu dikomersilkan dengan perjanjian berat sebelah. Kalau lah saya sesekali boleh bersombong ria -meski tak ada yang pantas disombongkan- sebelum menulis di Kompasiana ini, saya pernah dibayar Rp 350.000,- untuk satu artikel pesanan. Jadi, pantaskah bila tulisan para kompasianer di buku Jokowi ini dihargai sedemikian?

Harapan saya, bolehlah pihak Kompasiana dan penerbitnya kapan-kapan menjelaskan prosedur penerbitan buku kolaborasinya dengan transparan agar tak terjadi lagi "kesalahpahaman" seperti ini. Bila ternyata memang begitulah kenyataan yang terjadi di dunia penulisan dan penerbitan, ya sudah. Saya akan tetap menulis dan menjadikan ini sebagai pengalaman berharga. Bahwa yang terpenting daripada angka-angka itu adalah peningkatan kuantitas dan kualitas karya, karena sejatinya, saya pribadilah yang menghargai tulisan saya sendiri.

Salam Tetap Semangat Menulis!

***

>> Istilah "Tragedi Intelektual" terinspirasi dari komentar Kompasianer Erwin Alwazir di tulisan Kompasianer Suko Waspodo di sini.

>> Tulisan terkait:

Buku Jokowi dan Pengalaman di Elex

Untukmu Jokowi, Sang Pemimpin Negeri

>> UPDATE TERBARU

Berikut ini adalah tanggapan dari Pengelola Kompasiana (via email) terkait keberatan beberapa penulis di buku ini soal isi SPP dan honorarium sistem beli putus.

Dear Kompasianer,

Dengan ini kami ingin memberitahukan kepada para penulis buku "Jokowi (Bukan) untuk Presiden" yang telah terbit pada 16 September 2013 untuk menangguhkan (Hold) Surat Perjanjian Penerbitan (SPP) yang kami kirimkan beberapa waktu lalu.
Hal ini kami lakukan karena beberapa keluhan dari sebagian penulis yang merasa tidak nyaman dengan perjanjian tersebut terutama menyoal nominal honorarium (flat fee/bayar putus) dan durasi pengalihan hak cipta (10 tahun).

Saat ini, kami mencoba meninjau ulang SPP itu dan akan melakukan diskusi dengan pihak penerbit Elexmedia Komputindo selaku penerbit buku tersebut. Kami akan menginformasikan kepada Anda sekalian apabila ada keputusan tentang kesepakatan baru.

Terima kasih

--
Kompasiana.com

______________________

Terima kasih untuk niat baik Kompasiana dan Penerbit agar meninjau ulang SPP dan sistem pembayaran naskah tersebut. Selanjutnya kami mengharapkan komunikasi yang baik, lancar dan efektif antara pihak-pihak yang terlibat dalam penerbitan buku ini agar tidak lagi terjadi "kesalahpahaman" seperti sekarang.

________________________


Berikut garis-garis besar isi Surat Perjanjian Penerbitan (SPP) baru dari admin Kompasiana lewat email tertanggal (12/11);

- Setiap artikel dihargai sebesar Rp 160.000,- nett sesuai dengan uang muka royalti 50% dari cetakan 5000 eksemplar
- Masa kontrak pengalihan hak cipta yang dipersingkat menjadi 3 (tiga) tahun dan akan ditinjau kembali setelah masa tersebut berakhir
- Sistem pembayaran yang diubah dari sistem beli-putus menjadi sistem royalti, yang pembayarannya dilakukan sesuai periode yang berlaku di penerbit PT. Elex Media Komputindo, yaitu setiap bulan Februari & Agustus, dengan ketentuan pembayaran yang disesuaikan dengan jumlah penulis dan jumlah buku yang terjual
-Setiap penulis berhak memperoleh bukti cetak sebanyak 1 (satu) eksemplar

Kesemua poin yang dipertanyakan transparansinya tempo hari, terjawab dan mencapai kesepakatan yang win-win solution. Saya pribadi sangat mengapresiasi hal ini, bahwa apa yang sempat dikeluhkan kemarin ditanggapi dan diusahakan solusi terbaiknya untuk semua pihak.

Terima kasih untuk tim Kompasiana & Penerbit Elex Media Komputindo. Semoga kerjasama selanjutnya dengan para kompasianer berjalan lancar dan semakin profesional. Aamiin..



Salam..

>> Selengkapnya baca di sini; Happy Ending Kontroversi SPP Buku Jokowi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun