Mohon tunggu...
Annisa F Rangkuti
Annisa F Rangkuti Mohon Tunggu... Psikolog - 🧕

Penikmat hidup, tulisan, dan karya fotografi. https://www.annisarangkuti.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Miris, Tragedi Intelektual di Buku Jokowi

2 Oktober 2013   07:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:07 2554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi ini berbeda, bukan? Bukankah penerbit yang menerbitkan buku Jokowi ini adalah salah satu penerbit besar? Dan seperti yang sudah diketahui umum, jika diterbitkan penerbit besar, maka akan ada dua pilihan sistem pembayaran naskah; beli putus atau royalti. Mungkin inilah dasar kekecewaan saya -dan mungkin juga beberapa teman penulis buku ini. Sungguh, sejak awal dinyatakan lolos seleksi, saya berpikiran bahwa pembayaran honor penulis di buku ini nantinya akan memakai sistem royalti, mengingat bahasan yang ditulis berpotensi cukup menarik minat pembeli.

Memang belakangan saya ketahui kalau buku kolaborasi semacam ini biasanya akan dibeli putus oleh penerbit, mengingat "sulit"nya proses pembayaran royalti per periodenya. Tapi sebenarnya kalau pun dibeli putus, mengapa pihak penerbit tidak menaikkan standarnya? Mengingat ini adalah kontrak panjang dan pengalihan hak ciptanya dirasa benar-benar menghilangkan hak penulis atas karyanya sendiri dengan bayaran yang alakadarnya. Saya rasa masih lebih baik bila saya mengirimkan tulisan saya itu ke media lain dengan honor yang lebih sesuai.

Bila dengan sistem royalti, kalaupun angka penjualannya kurang bagus atau masing-masing penulis bisa saja justru mendapat honor yang lebih rendah daripada yang didapat dari sistem beli putus, ya sudah. Setidaknya ada efek psikologis bahwa karya penulisnya dihargai karena sistem pembayaran honornya yang berkelanjutan, meskipun jumlahnya kecil. Nah sebaliknya, kalau seandainya ternyata buku itu laku di pasaran, apa para penulisnya tidak gigit keyboard? Penerbit mendapat untung besar sementara para penulisnya harus puas dengan bayaran yang sekali itu saja. Poin inilah yang semestinya dipertimbangkan dan dikomunikasikan oleh pihak Kompasiana dan penerbit dengan para penulis buku ini.

Ya, memang intinya adalah komunikasi. Apalagi komunikasi dengan para penulis pemula ini -terutama saya yang jelas masih pemula- yang masih buta sebelah tentang prosedur dan seluk beluk penerbitan buku. Saya baru tahu kalau sebenarnya prosedurnya adalah "konfirmasi naskah lolos seleksi - penandatanganan surat perjanjian penerbitan - buku terbit". Yang terjadi adalah "konfirmasi naskah lolos seleksi - buku terbit - penandatanganan surat perjanjian penerbitan". Jadi, saya dan beberapa teman penulis buku itu merasa dikibuli, diakali, dikadali. Ah, begitulah.

Di situlah kesalahannya. Para penulis buku ini sudah kadung gembira begitu tahu karyanya diterbitkan tanpa dipelajari dulu bagaimana sebenarnya prosedur penerbitan sebuah buku. Jadi oke oke saja saat diberitahu kalau karyanya akan diterbitkan. Mengingat ini adalah tawaran dari penerbit besar, masa iya mereka tega membayar murah? "Mengenai rupiahnya urusan belakangan lah. Yang penting karyaku diterbitkan!". Dueng! Satu poin penting yang harus dicatat untuk proses penerbitan buku di lain waktu -kalau tulisan saya suatu saat diterbitkan penerbit major tentunya. :D

Lalu, salahkah bila saya dan beberapa teman penulis buku ini merasa keberatan dengan nominalnya, pada akhirnya? Bisakah pembaca tulisan ini merasa kalau yang saya permasalahkan ini esensinya bukan pada angka rupiah? Tapi sesungguhnya pada seberapa besar penghargaan sebuah penerbit besar terhadap karya penulis yang masih pemula ini? Memang karya saya di situ amatlah sederhana. Buku itu telah menaikkan derajat tulisan saya itu ke posisi yang lebih mentereng.

Meski begitu, saya kerap kurang bisa menerima kalau sebuah karya hasil olah pikir itu dihargai sedemikian rupa. Saya yang belum bisa dikatakan penulis ini memang masih memiliki posisi tawar yang rendah untuk bisa dibayar dengan harga yang tinggi. Tapi hendaknya itu jangan dijadikan alasan untuk "sesukanya" mengumpulkan karya para penulis ke dalam sebuah buku yang lalu dikomersilkan dengan perjanjian berat sebelah. Kalau lah saya sesekali boleh bersombong ria -meski tak ada yang pantas disombongkan- sebelum menulis di Kompasiana ini, saya pernah dibayar Rp 350.000,- untuk satu artikel pesanan. Jadi, pantaskah bila tulisan para kompasianer di buku Jokowi ini dihargai sedemikian?

Harapan saya, bolehlah pihak Kompasiana dan penerbitnya kapan-kapan menjelaskan prosedur penerbitan buku kolaborasinya dengan transparan agar tak terjadi lagi "kesalahpahaman" seperti ini. Bila ternyata memang begitulah kenyataan yang terjadi di dunia penulisan dan penerbitan, ya sudah. Saya akan tetap menulis dan menjadikan ini sebagai pengalaman berharga. Bahwa yang terpenting daripada angka-angka itu adalah peningkatan kuantitas dan kualitas karya, karena sejatinya, saya pribadilah yang menghargai tulisan saya sendiri.

Salam Tetap Semangat Menulis!

***

>> Istilah "Tragedi Intelektual" terinspirasi dari komentar Kompasianer Erwin Alwazir di tulisan Kompasianer Suko Waspodo di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun