Mohon tunggu...
Annisa F Rangkuti
Annisa F Rangkuti Mohon Tunggu... Psikolog - 🧕

Penikmat hidup, tulisan, dan karya fotografi. https://www.annisarangkuti.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menjelajah Makna Bersama Leil Fataya

8 September 2012   13:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:45 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_204578" align="aligncenter" width="525" caption="Siap-siap masuk tas.. :D"][/caption]

AH, dari judulnya saja pasti pembaca sudah tahu saya akan membahas apa. Yup! Benar sekali. Ini tentang buku perdana kompasianer Leil Fataya; Kucing Hitam dan Sebutir Berlian. Beberapa kompasianer sudah menuliskan review-nya tentang buku ini. Nah, sekarang giliran saya. Tapi ini review versi saya, yang mungkin tak hanya membahas isi buku, tapi juga cerita yang menyertainya.

Sebenarnya buku ini sudah lama saya pesan, sejak terbitnya Juli kemarin. Tak menunggu terlalu lama, buku ini pun sampai di alamat saya di Medan sekira awal Agustus. Tapi karena domisili saya tak lagi di sana, akhirnya buku ini baru sampai ke tangan saya beberapa Minggu kemudian. Hmmm..tepatnya di hari saya mudik ke Bukittinggi bersama keluarga suami, tanggal 17 Agustus lalu. Sebelum berangkat pada sore harinya, tak lupa saya potret dulu bukunya untuk ilustrasi tulisan ini. Lalu, ya...saya bawa serta buku setebal 140 halaman ini ke kampung halaman. Lumayan, bisa sebagai pengisi waktu luang. Hehe...

Di sana, saya hanya berkesempatan membaca beberapa judul saja. Apalagi ketika saya harus segera ke Medan karena ada kabar dukacita dari keluarga saya. Jadilah, minat untuk membaca buku apapun sempat hilang beberapa waktu. Rasanya saya masih ingin mengenang almarhum abang saya yang berpulang pada tanggal 22 Agustus lalu.

Sekembalinya ke kediaman saya di Sibuhuan, waktu luang menjadi cukup banyak. Maka selain menulis, saya coba menumbuhkan lagi minat untuk membaca buku. Saya meneruskan membaca buku antologi fiksi karya Leil Fataya ini. Satu sampai tiga judul dalam satu hari. Saya tak ingin terburu-buru, karena ingin meresapi nilai-nilai yang tersirat dari tiap judul ceritanya. Kebiasaan saya memang begitu ketika membaca antologi. Berbeda jika membaca novel yang ceritanya berkelanjutan sampai akhir.

Hingga akhirnya kemarin, saya tuntas membacanya. Beberapa judul yang pernah dipublikasikan di Kompasiana, cukup saya baca sambil lalu karena masih ingat ceritanya (Ini pertanda karyanya tak mudah dilupakan, bukan?). Meski begitu, kesan yang saya peroleh tetap sama untuk setiap judulnya; cerita yang ringkas namun sarat makna. Dan bahasanya itu...hmmm...saya suka!

Saya seperti bukan sedang membaca karya seorang penulis Indonesia. Atau tepatnya, ini seperti cerita-cerita terjemahan karya Leo Tolstoy, Anton Chekov, Paulo Coelho, atau penulis-penulis "impor" lainnya itu. Asyik sekali. Apalagi Leil membawa pembacanya berkeliling ke berbagai tempat di dunia sambil mengajak untuk mencerna filosofi yang terkandung dari setiap untaian katanya. (Ah, saya rasa para penggemar karya Leil tahu betul hal ini).

Terkadang cerita yang disajikannya terasa absurd. Tapi itulah. Leil hanya bermaksud menganalogikan sesuatu sekaligus menyampaikan pesannya lewat tokoh-tokoh dan cerita absurd dalam karyanya itu.  Sudut pandang yang digunakan pun tak melulu menggunakan orang ketiga, seperti yang selama ini terbaca di setiap karyanya. Ada kalanya ia menggunakan sudut pandang orang pertama, "Aku". Bahkan sang "Aku" ini pun bisa berubah menjadi seekor cicak! (Baca "Perjamuan Teh yang Sempurna") Ha! Tampaknya ia lihai sekali dalam bermain-main dengan sudut pandang ini. Pembaca pun jadi tak bosan dan justru penasaran dengan cerita selanjutnya.

[caption id="attachment_204579" align="aligncenter" width="421" caption="Ehm...mintalah sekarang sebelum susah dapet tandatangannya nanti.. ;D"]

1347109017239146505
1347109017239146505
[/caption]

Selain wawasannya yang luas tentang kekhasan suatu tempat dan budaya yang kemudian menjelma sebagai setting dan karakter dalam ceritanya, agaknya ciri khas lain yang melekat di setiap tulisan fiksinya adalah akhir cerita yang seringkali tak terduga. Acap kali saya mencoba menebak arah ceritanya, namun sering kali meleset.  Jikapun benar, Leil menutupnya dengan cara yang indah, yang mungkin kalau saya bayangkan, kemampuan saya masih terbatas untuk bisa membungkus ending seperti itu. Ini pula lah kesimpulan lain yang saya dapatkan; Leil mampu bercerita dengan kalimat-kalimat efektif, tidak bertele-tele, namun bisa mendeskripsikan suasana dan karakter tokohnya dengan baik sekali.

Apa itu semata karena saya pernah membaca tulisan dengan gaya bercerita sejenis? Hmmm...saya rasa tidak juga. Gaya bercerita Leil memang mirip dengan beberapa penulis lain, namun ia cukup berhasil menonjolkan ciri lain, tema lain, dengan caranya yang orisinil. Maka tak heran jika sejak awal membaca karya fiksinya di Kompasiana, saya menganggap Leil sebagai penulis yang sudah matang di dunia (fiksi)nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun