TAHUN ini untuk pertama kalinya saya akan mudik bersama keluarga suami ke kampung halaman mereka di Bukittinggi. Diam-diam ini sudah menjadi keinginan saya sejak awal menikah hampir 4 tahun yang lalu. Saya senang sekali kalau berkunjung ke kota sejuk itu. Apalagi kalau melihat foto-foto keluarga suami yang beberapa tahun lalu mudik ke sana. Wah, rasanya seru. Apalagi di Kotogadang-nya, tempat asal keluarga ibu mertua. Nagari di balik Ngarai Sianok itu selalu memanggil-manggil untuk dikunjungi. Alamnya yang indah, udaranya yang sejuk dan suasana pedesaan Minang yang masih cukup kental menyisipkan kerinduan untuk kembali.
Selama ini ketika saya masih berdomisili di Medan, lebaran hari pertama selalu dilewatkan di rumah mertua saya dulu, baru kemudian setelah salat Ied, saya dan keluarga suami bersilaturrahim ke rumah kedua orangtua saya. Di situlah saya baru bersalaman dengan penuh haru dengan kedua orangtua. Ada yang berbeda memang setelah saya menikah. Biasanya, saya dan keluarga kerap melaksanakan sebuah tradisi sebelum salat Ied, yang saya kira tak banyak dilakukan oleh keluarga lainnya, bahkan yang bersuku Mandailing sekalipun. Tradisi ini sebenarnya memang lazim dilakukan masyarakat Mandailing. Namun lebih sering dilakukan saat acara adat dalam pernikahan maupun upah-upah (tentang apa ituupah-upah, bisa disimak secara lengkap di sini).
[caption id="attachment_200480" align="aligncenter" width="480" caption="Acara markobar di acara pernikahan. "][/caption]
Tradisi ini disebut markobar, yang berarti memberi kata sambutan, sepatah dua patah kata berkaitan dengan acara yang digelar. Kalau acara pernikahan, setiap anggota keluarga terutama tetua adat dan orangtua-orangtua memberi petuah atau nasihat kepada kedua mempelai secara bergiliran. Isi petuah atau nasihat itu kalau didengar memang sama saja; semoga kedua mempelai rukun selalu, saling menghargai, saling menjaga keutuhan rumah tangga, dan kalimat-kalimat bijak lain yang tujuannya untuk membekali pasangan mempelai agar mencapai kebahagiaan hidup berumahtangga. Tapi bayangkan jika yang akan berbicara di forum markobar itu ada puluhan orang. Ada yang berpanjang-panjang kata pula. Maka tak heran, sesi acara adat seperti ini memakan waktu sangat lama, bahkan sampai sore atau malam.
Begitu juga kalau di acara upah-upah. Acara ini biasanya sebagai ungkapan syukur sekaligus doa, misalnya untuk anggota keluarga yang lulus sekolah, sembuh dari penyakit, menapak jenjang karir yang lebih tinggi, berangkat haji, dan sebagainya. Intinya untuk memberikan semangat lewat kata-kata nasihat. Tata caranya sama saja. Setiap anggota keluarga -khususnya yang dituakan- memberi semacam kata sambutan dan nasihat sebagai ungkapan syukur agar kebahagiaan itu langgeng serta diberkahi yang Mahakuasa.
Tak ada aturan baku tentang durasi acara markobar ini. Lama atau sebentar, tetaplah namanya markobar. Tergantung kepiawaian orang yang markobar dalam berlisan. Semakin piawai, bisa jadi semakin banyak kata dan cerita, sehingga berdampak pula pada semakin lamanya waktu bicaranya.
Bila keluarga lainnya saling bermaaf-maafan lewat acara sungkeman setelah salat Ied, maka berbeda dengan di keluarga kami. Ayah saya mengadopsi acara markobar itu ke dalam ritual jelang salat Ied di keluarga kami. Entah sejak kapan hal itu dimulai, yang pasti saya masih ingat betul kalau sesi markobar ini sudah dilakukan sejak saya masih usia SD. Setiap anggota keluarga, yang berarti Ayah, Ibu dan kami 6 bersaudara akan berbicara secara bergiliran, dimulai dari saya sebagai si bungsu dan diakhiri Ayah sebagai kepala keluarga. Awal-awal diminta untuk unjuk bicara, markobar saya masih sedikit dan terpatah-patah. Hanya mengungkapkan intinya saja; memohon maaf lahir dan batin pada kedua orangtua serta abang dan kakak-kakak. Setelah itu baru disambung oleh anggota keluarga yang lain.
Tak jarang, bahkan selalu, sesi markobar ini diwarnai isak haru. Setiap anggota keluarga mengungkapkan isi hatinya yang terdalam berkaitan dengan relasi antar anggota keluarga. Bila selama ini ada yang mengganjal, di saat itu pula dituntaskan. Ini memang semacam sesi curhat dan pengakuan dosa. Tentang betapa selama setahun ini mungkin sering berperilaku kurang menyenangkan dan menyusahkan hati orangtua, tentang kemarahan-kemarahan terpendam pada kedua orangtua, dan sebagainya. Apa saja rasa hati yang ingin diungkapkan, diutarakan saat itu juga.
Akhir katanya selalu ditutup dengan permohonan maaf sambil berlinang air mata. Lalu setelah semua anggota keluarga berbicara, kami seluruhnya saling bersalaman, berpelukan sambil bermaaf-maafan, tentu dengan isak yang lebih mengharukan. Sesudah itu, lepaslah segala beban hati. Itulah sebabnya sesi markobar ini dilaksanakan sebelum salat Ied, dengan harapan saat salat nanti hati telah bersih dari segala penyakit hati. Dengan begitu, lebaran pun akan terasa lebih dalam maknanya. Bukan sekadar hari kemenangan dengan bersukacita menyantap apa saja yang terhidang. Rasanya lebih dari itu. Bagai terlahir kembali menjadi manusia baru dengan 1 Syawal sebagai mulanya.
Selesai markobar, kami sekeluarga lalu menyantap sarapan secukupnya lalu berangkat bersama-sama ke masjid atau tanah lapang yang menyediakan tempat untuk salat Ied. Maka dari itu, acara markobar ini dilaksanakan sepagi mungkin, kira-kira pukul 6. Waktu bicaranya pun pastilah disesuaikan agar tak terlalu lama, namun tetap terasa khidmat.
Begitulah ritual keluarga saya yang rutin dilakukan setiap tahunnya. Ritual yang bermakna sangat dalam bagi kelanggengan dan keharmonisan keluarga. Ritual yang kini saya rindukan, namun rasanya entah kapan lagi terwujud karena sulitnya berkumpul lengkap seluruhnya seperti dulu, karena semua anak-anak Ayah dan Ibu sudah menikah dan beberapa di antaranya tinggal berjauhan, seperti saya. Alhasil, hanya Ayah, Ibu serta keluarga abang saya yang masih tinggal di Medan saja yang masih tetap bisa melanjutkan tradisi khidmat ini. Semoga saya dan saudara saya lainnya kelak dapat melanjutkan tradisi ini dengan keluarga masing-masing.