Mohon tunggu...
Annisa F Rangkuti
Annisa F Rangkuti Mohon Tunggu... Psikolog - 🧕

Penikmat hidup, tulisan, dan karya fotografi. https://www.annisarangkuti.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Aku Mati Karena Ayahku (Sebuah Obituari)

12 Agustus 2012   08:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:54 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

IA masih muda. Masih tiga puluhan. Aku tak tahu pasti berapa umurnya karena memang kami jarang berkomunikasi. Aku hanya tahu kalau umurnya tak beda jauh dengan salah seorang kakakku. Kalau dari tutur kerabat, aku memanggilnya "Om" atau "Tulang" dalam bahasa Mandailing. Tulang Rusli (bukan nama sebenarnya), kira-kira begitu aku memanggilnya.

Sudah lama sejak beberapa tahun yang lalu aku mengetahui kalau ia mengidap gangguan jiwa. Omongannya tak lagi biasa, lebih sering mengamuk tanpa sebab yang jelas. Semua orang, tak terkecuali keluarganya, ia anggap sebagai musuh. Kerjanya hanya mengurung diri di kamar. Entah apa yang ia lakukan setiap waktu di situ. Aku hanya dengar dari orangtua dan kerabatku yang lain perihal dirinya. Tentang betapa ia tengah berada dalam kondisi yang sedemikian menyedihkan. Mengurus dirinya sendiri tak lagi mampu. Diurus pun tak mau. Padahal -seperti yang kutuliskan tadi- ia masih muda.

Depresi? Jelas. Depresi yang berkepanjangan. Kami semua kerabatnya, tahu pasti sebenarnya apa sebab ia menjadi depresi. Ayahnya. Pasti, karena Ayahnya. Kami tak menuduh atau menggunjing, tapi jelas-jelas Ibunya sering bercerita tentang sulungnya itu, sehingga aku pun urun dengar. Ada yang memilu di hati ini setiap kali mendengar kabar terakhir tentangnya. Seringnya kabar buruk, dan semakin buruk.

Ia lelaki. Sulung. Berasal dari keluarga mampu. Almarhum Ayahnya berprofesi sebagai dokter polisi. Tahun 1990-an, hampir setiap Minggu aku main ke rumahnya. Bermain dengan adik bungsunya, yang setahun lebih muda dariku. Aku seharusnya memanggil adiknya itu "Tante" atau "Etek/Bujing" dalam bahasa Mandailing. Tapi karena umur kami tak jauh beda, kami saling panggil nama saja.

Di usia SD itulah aku belajar bersepeda di rumahnya yang besar dan berhalaman luas. Halaman belakangnya sungguh luas hingga dijadikan lapangan tenis dan jogging track. Juga ada ayunan di tamannya. Di halaman depannya aku ingat ada perosotan berwarna merah. Mobil sedan mereka juga terparkir di dekat situ. Belum lagi mainannya di rumah yang berjumlah banyak, yang sebagian besar tak kupunya. Kala itu, tentu tak banyak rumah -yang kutahu- memiliki fasilitas mewah begitu. Wah, kalau bertandang ke sana, aku puas bermain. Di situlah aku pertama kali belajar bersepeda dengan meminjam sepeda adiknya.

Ia dan adik keduanya yang perempuan memang rutin berlatih tenis dan cukup berprestasi di cabang olahraga bergengsi itu. Adik keduanya itu malah pernah mengikuti kejuaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) di Palembang. Keluarga mereka di mataku adalah potret keluarga sempurna secara materi. Tapi ternyata semakin dewasa aku baru tahu, kalau anak-anak di keluarga itu kurang bahagia karena dibesarkan dengan pola asuh otoriter ala militer.

Aku ingat sekali. Pernah di suatu Minggu pagi, seperti biasa aku berkunjung ke rumahnya. Tapi hari itu aku tak bermain di sana, hanya singgah sebentar bersama keluargaku untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke luar kota. Sekadar refreshing. Aku sedang sibuk memilih penganan sarapan yang dijajakan penjual keliling di teras rumahnya, ketika tiba-tiba adik keduanya itu berujar, "Enak ya kalian, jalan-jalan."

Bagiku, jalan-jalan bersama keluarga di hari Minggu bukanlah sesuatu yang "wah". Karena kami pun bukan berplesir ke tempat-tempat yang mesti membuat Ayahku merogoh kocek dalam-dalam. Cukup keliling kota, misalnya. Atau ke luar kota, ke daerah pegunungan. Membawa bekal makan siang, mencari tempat yang nyaman lalu makan bersama di situ sambil melihat pemandangan yang indah. Intinya adalah kebersamaan. Jadi aku yang masih lugu itu sempat merasa aneh dengan perkataannya itu. Aku malah heran kalau ternyata ia dan keluarganya jarang pergi bersama sekadar menghirup udara segar.

Aku baru mafhum ketika sudah remaja. Aku baru paham arti wajah tegas Ayahnya yang jarang tersenyum itu. Aku juga baru paham mengapa anak-anak di rumah itu terkadang tampak sebagai anak yang pendiam, ragu-ragu, tak ekspresif. Ternyata...oh ternyata...Ayah mereka berambisi ingin membentuk mereka sesuai keinginannya, sesuai harapannya, malah cenderung memaksakan. Segala keinginan yang tak sesuai dengan pemikiran Ayahnya bisa dipastikan tak bakal terwujud nyata. Segala yang ada juga nyaris senantiasa diukur dengan materi. Persis bagai cerita fiksi yang pernah kubaca. Begitu tahu hal itu, aku bagai turut merasakan ancaman dan pendaman emosi yang tinggal menunggu waktu untuk meledak, di hati anak-anak itu. Tak nyaman. Sungguh tak nyaman seandainya aku berada di posisi mereka.

Hingga tiba jualah saat itu. Saat ketika hati dan pikiran tak kuasa lagi menanggung segala amarah sekaligus tekanan yang terpendam. Bom itu meledak. Entah apa yang lebih dulu. Bom itukah yang menyebabkan Ayah mereka kemudian wafat atau wafatnya sang Ayah yang membuat si Sulung kemudian menekan tombol waktunya? Aku tak pernah jelas. Yang pasti, tak lama setelah peristiwa kembalinya sang Ayah pada Sang Pencipta, si Sulung secara nyata mulai bertingkah aneh. Keadaan itu membuatnya hanya ingin terkurung atau sengaja dikurung sementara jika ada tamu yang bertandang ke rumahnya. Di hari wafatnya sang Ayah itulah aku terakhir kali melihatnya. Tak kulihat isak tangis. Hanya wajah datar nyaris tanpa emosi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun