[caption id="attachment_191127" align="aligncenter" width="583" caption="Koran lokal Medan yang tampak di salah satu warung makan di Sibuhuan (dok. AFR)"][/caption]
WAKTU itu lepas Maghrib. Saya sedang duduk-duduk di kantin rumah sakit tempat suami saya bekerja. Sembari mengobrol dengan penjaga kantin, saya melihat satu oplah koran dengan gaya agak berserakan di atas meja. Iseng, saya ambil selembar dan sambil berniat berkelakar, saya tanya Surti, si penjaga kantin.
"Koran kapan ini, Sur?"
"Koran hari ini. Baru dateng tadi," jawabnya sambil membereskan meja.
Wah, iya...koran baru. Koran bertanggal hari ini, batin saya.
"Lha, bukannya katanya di sini nggak ada koran baru?"
"Ada kok, Bu..tiap hari ada yang nganter ke sini. Memang nyampenya sore," jawabnya santai.
Haduh, saya merasa kecele kalau begini, pikir saya. Teringat saya akan percakapan kami beberapa bulan yang lalu, yang mengobrolkan tentang susahnya mencari koran baru di Sibuhuan, ibukota Kabupaten Padang Lawas, kota kecil domisili saya sekarang. Bukan susah lagi, memang tidak ada nampak koran baru di lapak-lapak kota ini, menurut pengamatan saya. Dan ternyata sekarang sesuatu yang sesungguhnya masih hipotesis itu terbantahkan oleh fakta bahwa DI SINI JUGA ADA KORAN BARU LOH! Meski sampainya sudah sore. Kalau begitu sama keadaannya dengan Panyabungan, ibukota Mandailing Natal yang sempat saya jadikan perbandingan.
Wah, kalau begini, saya jadi malu hati. Apalagi sebelum percakapan dengan Surti Maghrib itu, saya juga menemukan fakta serupa di tempat lain, saat sarapan. Sambil menanti pesanan lontong saya datang, saya melihat setumpuk koran di sebuah meja dekat saya. Saya lihat tanggalnya, ternyata tanggal kemarin sore. Berarti koran itu masih terbilang baru, mengingat waktu sampainya koran lokal Medan di tempat itu adalah sore hari. Apalagi sebelum itu, saya melihat beberapa oplah koran baru terbitan lokal tergantung di sebuah lapak di pasar. Lapak ini luput dari pengamatan saya sejak awal. Sejak saat itulah saya mulai berpikir untuk menulis klarifikasi ini.
Jauh sebelumnya, seorang kompasianer -yang cukup aneh bagi saya karena akun itu baru dibuat selang hampir sebulan sejak tulisan itu dipublikasi dan menjadi headline- memberi saran agar saya melakukan pengamatan di warung-warung kopi di Sibuhuan, agar dapat memperoleh gambaran yang seimbang tentang tudingan tak adanya koran baru di kota tersebut. Karena keberadaan koran baru itu lebih besar kemungkinan munculnya di tempat-tempat warga berkumpul daripada di kios-kios yang selama ini saya lihat dan sambangi.
[caption id="attachment_191130" align="aligncenter" width="595" caption="screen shot percakapan saya dengan akun"]
Lalu, apa pentingnya klarifikasi ini bagi saya? Tokh, saya bukanlah seorang jurnalis resmi suatu media yang dibayar dan terikat kode etik dalam pelaksanaan tugasnya sebagai pewarta. Lagipula, saya bisa saja lempar batu sembunyi tangan. Atau saya tinggal unpublished saja tulisan kemarin itu. Beres. Tak ada yang tahu. Tapi saya tidak ingin seperti pengecut. Pendidikan moral yang saya terima dan resapi selama hidup saya ini mengajarkan kalau dalam keadaan bagaimanapun, kejujuran harus dikedepankan. Apalagi menyangkut pemberitaan fakta, sebagaimana faktor kejujuran dalam penulisan dan publikasi karya tulis ilmiah. Untuk hal ini, hati nurani saya terusik tentang tanggung jawab saya -meski hanya- sebagai pewarta warga (meski tak terikat lembaga jurnalistik tertentu).
Maka lewat tulisan ini, saya ingin meluruskan hal tentang prasangka yang sudah telanjur saya sebarkan pada pembaca tulisan saya ini, bahwa di Sibuhuan, kota yang mulai saya cintai ini tak sesempit pandangan saya selama ini. Kota ini masih sangat muda, baru 4 tahun melangkah sebagai ibukota Kabupaten baru, Padang Lawas. Masih perlu banyak pembangunan dan pembenahan. Rasanya sungguh tak adil jika saya langsung menghakimi kota ini -dan tentunya masyarakatnya- tak peduli dengan segala hal yang menyangkut pengetahuan dan wawasan dari sesuatu bernama koran. Koran, yang sejatinya hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak media pengantar lautan pengetahuan dan wawasan itu.
Apalagi saat memberitakan itu, saya tak bersandar pada langkah-langkah penarikan kesimpulan secara ilmiah, yang perlu pengamatan dan riset lebih jauh. Saya hanya mengandalkan pengamatan beberapa saat dan menerima begitu saja pendapat orang-orang yang belum tentu merepresentasikan keadaan kota ini sesungguhnya. Meski mungkin dari sekian banyak warga tak ada yang membaca tulisan ini, tapi saya tak ingin di dalam pikiran para pembaca tulisan itu -yang tersebar dari seantero nusantara sampai penjuru dunia itu- sudah terjejak rekaman informasi negatif tentang kota ini. Meski secuil, namun bisa saja dapat berpengaruh kurang baik bagi pencitraan masyarakat kota ini seluruhnya.
Lagipun, tak elok rasanya ketika saya dan keluarga memperoleh kesejahteraan moril dan materiil dari profesi suami saya di kota ini, sementara saya telanjur menuliskan sesuatu yang jika dibaca tentu dapat menyinggung hati pemerintah dan masyarakat setempat. Untuk itu, lewat tulisan ini tak ragu saya haturkan MAAF SETULUS-TULUSNYA pada pihak-pihak yang kemungkinan merasa tersinggung dengan tulisan saya tersebut, terutama pada masyarakat Sibuhuan, tak terkecuali pemerintah daerahnya.
Dan untuk seluruh pembaca tulisan ini, semoga dapat memaklumi.
Salam jujur dalam berkarya!
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H