Mohon tunggu...
Annisa F Rangkuti
Annisa F Rangkuti Mohon Tunggu... Psikolog - 🧕

Penikmat hidup, tulisan, dan karya fotografi. https://www.annisarangkuti.com/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sebuah Memoar Tentang Kisah Raja Gagap dari Inggris

30 Mei 2012   05:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:36 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_184498" align="aligncenter" width="388" caption="Raja George VI yang asli (http://www.stutteringhelp.org/default.aspx?tabindex=822&tabid=835)"][/caption] SELAMA hidup Anda, pernahkah Anda bertemu dengan orang gagap? Jika ya, mungkin Anda yang mampu berbicara secara normal akan tersenyum, bahkan tertawa mengejek sekaligus kasihan di saat mendengar orang gagap ini mengeluarkan kata demi kata dengan susah payah. Bersulit-sulit hanya untuk urusan berbicara! Ketika hilang kesabaran untuk mendengarkannya, mungkin Anda akan menepuk punggungnya sambil berkata, "Ya ampuunn...susah amat sih ngomong aja?" Ketahuilah, jika saja Anda tahu bagaimana rasanya menjadi orang gagap, mungkin Anda tidak akan tertawa lagi melihat aksi pelawak gagap semacam Azis Gagap. Sebaliknya, Anda mungkin akan marah, kesal bahkan benci menonton lawakan yang memperolok-olok gangguan komunikasi itu. Menjadi orang gagap memang menyedihkan. Penderitanya jelas mengalami semacam tekanan psikologis yang membuatnya sulit berbicara dengan lancar dalam situasi sosial. Anehnya, tidak demikian halnya jika sedang berbicara sendiri. Penderitanya dapat saja berbicara, membaca keras dengan lancar atau menyanyi ketika sedang sendirian di kamar, misalnya. Atau ketika sedang menghadapi audiens yang usianya lebih muda. Namun ketika ada orang lain, khususnya orang-orang yang lebih tua atau dianggap memiliki kelebihan daripada dirinya, segala hal yang membutuhkan kemampuan bersuara termasuk membaca keras di depan umum, akan tersendat di tenggorokan.

[caption id="attachment_184503" align="aligncenter" width="528" caption="salah satu adegan terapi (http://smithdell.blogspot.com/2011/04/kings-speech.html)"]

13383541331334666455
13383541331334666455
[/caption] Itulah yang setidaknya dirasakan oleh Albert Frederick Arthur George atau Pangeran Albert (The Duke of York) atau sering dipanggil Bertie, putra bungsu Raja George V dari Kerajaan Inggris. Istrinya, Elizabeth Bowes-Lyon (kita mengenalnya sebagai mendiang Ibu Suri) menyadari kekurangan suami tercintanya ini. Ia pun sempat mendatangkan seorang terapis wicara namun tak membuahkan hasil. Lalu tanpa sepengetahuan Bertie sebelumnya, ia kemudian mendatangi seorang dokter yang ahli dalam menangani gangguan komunikasi, dr. Lionel Logue. Dengan bermodal dorongan sang istri, Bertie pun mendatangi tempat praktik sang dokter. Saat anamnesa (wawancara) yang dilakukan dr. Logue terhadapnya, Bertie pun tidak dapat mendeskripsikan secara pasti penyebab gagap (stuttering) yang menurutnya tidak diperoleh sejak kecil. Yang jelas, dari hasil anamnesa tersebut diketahui bahwa Ayahnya yang seorang raja itu memang keras. Bertie tampak tak berdaya menghadapi sikap keras sang Ayah karena karakternya yang cenderung lemah dan menerima apapun aturan hidup dalam istana. Sangat bertolak belakang dengan abangnya, David, yang memiliki karakter pemberontak dan cenderung acuh tak acuh terhadap kekangan aturan yang membatasi kebebasannya. Terapi dengan dr. Logue inilah yang menjadi pusat cerita. Berbagai gejolak yang dirasakan Bertie selama terapi, sempat membuat keinginannya surut untuk terus melanjutkan terapi. Hubungan mereka sebagai terapis dan pasien pun naik turun. [caption id="attachment_184505" align="aligncenter" width="550" caption="ketika Bertie gagap bicara (http://bestdelegate.com/lifehacker-five-presentation-lessons-from-the-kings-speech/)"]
1338354239685169155
1338354239685169155
[/caption] Hingga sampai pada saat Raja George V mangkat dari singgasananya. Putra sulungnya, David, yang diharapkan menjadi penerus tahta, mendadak mengelak mahkota. Hubungannya dengan Wallis, seorang janda yang ingin dinikahinya, menjadi penyebab ia lebih memilih hidup sebagai orang biasa daripada menjadi raja yang harus hidup dengan beragam aturan. Tak pelak, tahta pun diwariskan pada Bertie. Kenyataan ini sungguh membuat hati Bertie gundah. Ia tahu betul salah satu tugas penting yang rutin dilaksanakan seorang raja; berpidato di hadapan rakyatnya. Pengalaman kegagalan berpidato tempo hari yang membuat Bertie sangat malu di hadapan jutaan rakyat Inggris yang mendengarnya langsung mapun lewat siaran radio, memunculkan kecemasan yang luar biasa. Ia frustrasi dan hampir menyerah. Mau tak mau, ia harus kembali pada terapi dr. Logue. Puncaknya adalah saat Inggris memutuskan untuk berperang melawan Jerman yang saat itu dipimpin oleh Hitler. Sebagai raja, Bertie yang saat itu sudah digelari sebagai Raja George VI, harus melaksanakan tugasnya; berpidato untuk menyatakan keadaan perang. Meski merasa sudah lebih baik di bawah penanganan dr. Logue, tetap saja keraguan muncul di benaknya maupun orang-orang yang telanjur melihatnya sebagai penggagap. Mampukah Bertie menyelesaikan naskah pidatonya dengan baik dalam siaran langsung radio itu? Film ini memang bukan film baru. Saya yang terlambat menontonnya baru mengetahui kalau The King's Speech (2010) yang dibintangi Colin Firth (Bertie), Helena Bonham Carter (Elizabeth Bowes-Lyon) dan Geoffrey Rush (dr. Lionel Logue) ini menarik untuk ditonton. Banyak hal tentang gagap yang sebelumnya tidak kita ketahui tergambar cukup jelas di film ini. Karakter yang dimainkan tokoh utamanya diperankan dengan baik. Tentang kondisi pause yang dialami orang gagap tiap kali akan mengeluarkan kata-kata yang sulit dilafalkan, pengulangan suku kata yang kerap terjadi, raut wajah tegang dan cemas yang acap tampak saat harus berbicara, reaksi orang lain dalam menyikapi kegagapannya, sampai pada penanganan yang dilakukan sebagai usaha untuk menyembuhkan gangguan ini.

[caption id="attachment_184506" align="aligncenter" width="300" caption="(http://www.leadershippost.com/2011/03/articles/leadership/the-kings-speech/)"]

13383543361180671721
13383543361180671721
[/caption] Bila dilihat dari sisi produksi sinemanya, film ini telah berhasil menjadi contoh tentang keseriusan para sineasnya dalam memproduksi sebuah film. Pastilah para awak produksi film ini telah melakukan riset mendalam terlebih dahulu mengenai tampilan, gesture, maupun ekspresi dari seorang penderita gagap. Tak heran jika film ini sukses menyabet 8 piala Oscar dari 12 nominasi, di antaranya untuk nominasi Best Actor (aktor pemeran utama terbaik) untuk Colin Firth. Seperti banyak film produksi Hollywood tentang gangguan psikologis dan penyakit medis lainnya, saya menyebut mereka yang terlibat dalam produksi film genre ini sebagai sineas yang cerdas. Sebutlah film A Beautiful Mind-nya Russel Crowe yang menampilkan penderita schizophrenia dengan sangat baik atau The Aviator-nya Leonardo Dicaprio yang mempertunjukkan penderita gangguan obsesif kompulsif secara ciamik. Hmmm..semoga suatu saat para sineas kita mengikuti jejak positif para film maker Hollywood ini. *** Judul Film : THE KING'S SPEECH (2010) Genre : Drama/Biopic. Sutradara : Tom Hooper. Skenario : David Seidler. Produksi : The Weinstein Company. Pemain : Colin Firth, Geoffrey Rush, Helena Bonham Carter, Guy Pearce, Michael Gambon. Durasi : 118 menit. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun