Mohon tunggu...
Annisa F Rangkuti
Annisa F Rangkuti Mohon Tunggu... Psikolog - 🧕

Penikmat hidup, tulisan, dan karya fotografi. https://www.annisarangkuti.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Koran Kadaluarsa ala Sibuhuan

16 Maret 2012   11:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:58 1018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_169027" align="aligncenter" width="448" caption="Jangan harap koran-koran ini ada di Sibuhuan (ya iyalah..koran luar negeri..hahaha..)"][/caption]

SORE yang cukup cerah. Masih jam 3. Saya baru saja akan melangkah kembali ke rumah sehabis melepas orangtua dan saudara saya yang datang berkunjung ketika tiba-tiba saya mendengar teriakan dari arah kantin.

"Bu! Bu! Sinilah..." Dari cempreng manja suaranya, itu pasti milik Surti, penjaga kantin rumah sakit tempat suami saya bekerja. Nah, benar saja. Kini dia memanggil sambil melambai-lambaikan tangan ke arah saya. Saya kontan tersenyum tiap kali mendengar suara dan gaya manja gadis Jawa yang manis ini. Melihat kantin sedang sepi, saya pun datang mendekat.

"Kenapa, Sur?" tanya saya sambil mengambil posisi duduk di sebelahnya. Asyik juga duduk-duduk di sini, pikir saya sambil mengedarkan pandang. Selama saya tinggal di sini, saya terbilang jarang nongkrong di kantin. Bukan apa-apa. Biasanya lebih banyak petugas rumah sakit atau keluarga pasien yang memenuhi lapak yang dijagai Surti dan kakaknya, Mbak Ras ini. Lagipula, pesanan kantin bisa langsung diantar ke rumah saya di belakang rumah sakit. Delivery gratis. Terkadang pesanannya malah ngebon. Hahaha..

Dia sedang (sok) serius mengisi Teka Teki Silang (TTS) di laman sebuah koran lokal Medan. Tanpa basa-basi, dia langsung menodong saya untuk membantunya mengisi TTS-nya itu. Satu dua kata terjawab. Empat kata, lima kata. Asyik juga. Terkadang diselingi candaan sehingga membuat ramai lapak itu. Sesekali dia bilang begini,

"Nah kan, Ibu bisa. Duh, jadi malu aku yang jurusan Bahasa Indonesia." Lalu tertawa. Saya hanya mesem-mesem sambil terus asyik memikirkan kata jawaban. Halah. Sekarang saya yang malah sok serius. Hahaha..

Lalu tibalah momen yang -menurut saya- lucu itu. Saat tinggal dua kata lagi yang belum ketemu jawabannya. Iseng-iseng saya melihat tanggal di atas laman koran.

"Hah?! Ini koran tanggal 19 Februari?!" seru saya hampir histeris (agak lebay). Setelah berpandangan, kami serempak tertawa. Betul-betul terbahak kemudian saat dia menunjukkan setumpuk koran lagi di atas rak ujung sana.

"Jadi itu koran lama semua?"

"Iya, Bu. Lha ini yang dibaca orang rumah sakit sini. Bentar lagi koran-koran ini masuk ke dalem," ujarnya kalem sambil mesem-mesem.

"Apa?! Jadi orang situ baca koran tanggal lama semua?!" seru saya lalu tertawa lagi. Haduh, perut saya sampai sakit.

[caption id="attachment_169028" align="aligncenter" width="538" caption="Beginilah jalan utama dan suasana di pusat kota Sibuhuan. Siapa menyangka kalau ternyata tak ada lapak penjual koran baru di sini?"]

13318974211208696238
13318974211208696238
[/caption]

Teringat lagi kejadian saat saya melintas sebuah warung di pusat kota. Sudah lama sejak tinggal di kota kecil ini, saya tak menemukan satu pun penjual koran. Padahal, kota ini bisa dikatakan tidak kecil-kecil amat. Jalannya beraspal. Termasuk salah satu jalan lintas ke provinsi tetangga, Riau. Merupakan ibukota kabupaten pula. Jadi semestinya tidak ada lagi yang menjadi kendala bagi distribusi barang apapun ke tempat ini, termasuk media cetak.

Nah, saat melintas warung tersebut, tiba-tiba saya melihat setumpuk koran dalam keranjang. "Wah, ada koran!" seru saya dalam hati bak ketemu barang ajaib. Saya lalu mendekat ke warung tersebut dan mengambil oplah koran yang paling atas. Saya teliti tanggalnya. Sudah lewat beberapa hari. Saya lalu bertanya pada pemilik warung, apa ada koran terbaru. Bapak pemilik warung tersenyum penuh arti dan berkata,

"Di sini nggak jual koran baru, Dek. Yang ada cuma koran yang di depan itu ajalah. Itu untuk dibaca-baca orang lewat. Kadang malah diminta untuk pembungkus jualan."

Glek! Saya sempat terpelongo sebelum kemudian tersenyum lebar dalam hati. Oh my goat! Eh, Oh My God! Di sini benar-benar tidak ada koran baru!

Entah apa sebabnya. Koran saja tidak ada yang jual. Apalagi buku? Tapi waktu melewati jalan utama kota ini, sekilas pandangan saya melihat satu toko buku yang sedang buka. Saya belum tahu persis apa saja isinya. Apakah hanya menjual buku-buku sekolah atau ada buku-buku jenis lain yang terpajang di situ.

Sempat timbul pertanyaan positif dalam benak saya yang juga langsung saya jawab sendiri, "Kalau ternyata masyarakatnya lebih melek internet bagaimana?" Hehehe...Bukannya underestimate, tapi yang saya tahu dan alami sendiri, sinyal internet di sini susah. Timbul tenggelam. Modem selain Telkom punya, praktis tak bisa terpakai. Yang merek Telkom itu juga lumayan lelet meski terkoneksi juga. Tapi itu mungkin karena tempat tinggal saya yang agak jauh dari pusat kota ya. Entah kalau di pusat kotanya. Satu dua warung internet yang buka saya lihat juga tak begitu ramai pengguna. Biasanya ramai saat pulang sekolah, kata Surti lagi. Saat anak-anak sekolah itu mencari informasi atau hiburan lain selain televisi.

Teringat lagi percakapan saya dengan Surti. Bayangkan, katanya. Sekadar buku TTS yang biasanya banyak dijual di warung-warung kecil, tak ada yang menjual. Saya sempat tercengang sebelum akhirnya tergelak prihatin mengetahui keadaan ini. Saya jadi curiga, apa di tempat ini masih banyak orang yang buta aksara?

Saya langsung membandingkan kondisi ini dengan keadaan di ibukota kabupaten Mandailing Natal (Madina), Panyabungan, tempat saya pernah berdiam selama enam bulan. Di sana, masih ada satu toko buku kecil sekaligus lapak koran yang menjual koran terbitan Jakarta; Kompas. Meski baru sampai di sore hari, tapi setidaknya saya sempat mencicipi Kompas Minggu yang berisi banyak hal menarik itu.

Agaknya memang bukan hanya perkara distribusi koran yang mandeg, tapi bisa dikatakan lebih pada perhatian pemerintah daerah dan masyarakat setempat terhadap pemenuhan kebutuhan intelektual generasi mudanya. Praktis, dengan kondisi seperti ini, masyarakat hanya mengandalkan televisi sebagai media informasi sehari-hari. Itu juga kalau tujuan penggunaan media televisi untuk mencari informasi lewat program beritanya, kalau tidak? Ya sama saja bohong. Sama halnya kalau muncul pertanyaan, "Masyarakatnya merasa butuh informasi dari luar tidak? Kalau tidak, mau dikata apa?"

***

>> Setelah berkeluh kesah di sana, akhirnya saya bisa memublikasikan tulisan melalui jasa provider yang (pura-pura) tak sengaja diiklankan di atas. Hehehe... >> Surti dan Mbak Ras adalah nama samaran. >> Ilustrasi satu >> Ilustrasi dua *** KLARIFIKASI tulisan ini ada di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun