Mohon tunggu...
Annisa F Rangkuti
Annisa F Rangkuti Mohon Tunggu... Psikolog - 🧕

Penikmat hidup, tulisan, dan karya fotografi. https://www.annisarangkuti.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Koran Kadaluarsa ala Sibuhuan

16 Maret 2012   11:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:58 1018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_169028" align="aligncenter" width="538" caption="Beginilah jalan utama dan suasana di pusat kota Sibuhuan. Siapa menyangka kalau ternyata tak ada lapak penjual koran baru di sini?"]

13318974211208696238
13318974211208696238
[/caption]

Teringat lagi kejadian saat saya melintas sebuah warung di pusat kota. Sudah lama sejak tinggal di kota kecil ini, saya tak menemukan satu pun penjual koran. Padahal, kota ini bisa dikatakan tidak kecil-kecil amat. Jalannya beraspal. Termasuk salah satu jalan lintas ke provinsi tetangga, Riau. Merupakan ibukota kabupaten pula. Jadi semestinya tidak ada lagi yang menjadi kendala bagi distribusi barang apapun ke tempat ini, termasuk media cetak.

Nah, saat melintas warung tersebut, tiba-tiba saya melihat setumpuk koran dalam keranjang. "Wah, ada koran!" seru saya dalam hati bak ketemu barang ajaib. Saya lalu mendekat ke warung tersebut dan mengambil oplah koran yang paling atas. Saya teliti tanggalnya. Sudah lewat beberapa hari. Saya lalu bertanya pada pemilik warung, apa ada koran terbaru. Bapak pemilik warung tersenyum penuh arti dan berkata,

"Di sini nggak jual koran baru, Dek. Yang ada cuma koran yang di depan itu ajalah. Itu untuk dibaca-baca orang lewat. Kadang malah diminta untuk pembungkus jualan."

Glek! Saya sempat terpelongo sebelum kemudian tersenyum lebar dalam hati. Oh my goat! Eh, Oh My God! Di sini benar-benar tidak ada koran baru!

Entah apa sebabnya. Koran saja tidak ada yang jual. Apalagi buku? Tapi waktu melewati jalan utama kota ini, sekilas pandangan saya melihat satu toko buku yang sedang buka. Saya belum tahu persis apa saja isinya. Apakah hanya menjual buku-buku sekolah atau ada buku-buku jenis lain yang terpajang di situ.

Sempat timbul pertanyaan positif dalam benak saya yang juga langsung saya jawab sendiri, "Kalau ternyata masyarakatnya lebih melek internet bagaimana?" Hehehe...Bukannya underestimate, tapi yang saya tahu dan alami sendiri, sinyal internet di sini susah. Timbul tenggelam. Modem selain Telkom punya, praktis tak bisa terpakai. Yang merek Telkom itu juga lumayan lelet meski terkoneksi juga. Tapi itu mungkin karena tempat tinggal saya yang agak jauh dari pusat kota ya. Entah kalau di pusat kotanya. Satu dua warung internet yang buka saya lihat juga tak begitu ramai pengguna. Biasanya ramai saat pulang sekolah, kata Surti lagi. Saat anak-anak sekolah itu mencari informasi atau hiburan lain selain televisi.

Teringat lagi percakapan saya dengan Surti. Bayangkan, katanya. Sekadar buku TTS yang biasanya banyak dijual di warung-warung kecil, tak ada yang menjual. Saya sempat tercengang sebelum akhirnya tergelak prihatin mengetahui keadaan ini. Saya jadi curiga, apa di tempat ini masih banyak orang yang buta aksara?

Saya langsung membandingkan kondisi ini dengan keadaan di ibukota kabupaten Mandailing Natal (Madina), Panyabungan, tempat saya pernah berdiam selama enam bulan. Di sana, masih ada satu toko buku kecil sekaligus lapak koran yang menjual koran terbitan Jakarta; Kompas. Meski baru sampai di sore hari, tapi setidaknya saya sempat mencicipi Kompas Minggu yang berisi banyak hal menarik itu.

Agaknya memang bukan hanya perkara distribusi koran yang mandeg, tapi bisa dikatakan lebih pada perhatian pemerintah daerah dan masyarakat setempat terhadap pemenuhan kebutuhan intelektual generasi mudanya. Praktis, dengan kondisi seperti ini, masyarakat hanya mengandalkan televisi sebagai media informasi sehari-hari. Itu juga kalau tujuan penggunaan media televisi untuk mencari informasi lewat program beritanya, kalau tidak? Ya sama saja bohong. Sama halnya kalau muncul pertanyaan, "Masyarakatnya merasa butuh informasi dari luar tidak? Kalau tidak, mau dikata apa?"

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun