Mohon tunggu...
Annisa F Rangkuti
Annisa F Rangkuti Mohon Tunggu... Psikolog - 🧕

Penikmat hidup, tulisan, dan karya fotografi. https://www.annisarangkuti.com/

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Hmmm...Nikmatnya Teh Talua dan TST Penambah Stamina

6 Oktober 2011   18:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:15 2861
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_135450" align="alignleft" width="448" caption="Teh talua racikan saya...hmmm...gimana? ;D (dok. AFR)"][/caption] Setelah lama tak bicara kuliner, kali ini saya akan mengajak Anda berkenalan dengan teh talua.

Hmmm...teh talua. Seperti apa?

Saya tahu racikan teh ini juga belum lama, tepatnya sejak saya menikah pada 2008 lalu. Tinggal bersama keluarga baru berarti belajar tentang kebiasaan baru. Mulanya saya merasa agak aneh dengan kebiasaan Ibu mertua yang selalu menyiapkan teh bercampur telur sebagai minuman pagi Ayah mertua saya. Maklum, tidak ada kebiasaan minum teh atau minuman khusus lain di rumah orangtua saya setiap pagi. Saat sarapan berarti langsung menyantap menu berat (nasi atau lontong) untuk menunjang kebutuhan fisik hingga siang hari.

Lama-lama saya penasaran dan perhatikan juga ketika beliau membuatnya. Sebutir telur (ayam kampung, ayam ras, atau bebek) diambil kuningnya lalu dikocok cepat dengan 2 sendok (atau lebih) gula putih. Setelah mengembang, tuang seduhan air teh yang masih mendidih ke dalam kocokan telur dan gula tadi. Aduk rata dan siap disajikan. Ah, segampang itu saja kok. Lalu seperti apa ya rasanya?

Awalnya saya enggan. Terbayang oleh saya, rasa dan bau amis kuning telur mentah di dalamnya tadi. Duh... Tapi saya tetap saja penasaran. Akhirnya saya coba sedikit. Hmmm...enak juga. Sebenarnya racikan tadi bisa juga ditambah perasan jeruk nipis untuk menghilangkan bau amis telurnya. Tapi itu pun terserah saja. Tidak ditambahkan pun tak apa. Tokh, setelah saya coba tanpa perasan jeruk nipis rasanya tetap nikmat dan tidak tercium amisnya.

Sekarang hampir setiap hari saya yang menyiapkan teh talua untuk Ayah mertua saya itu. Rasanya sudah mahir saja ketika mengocok telur dan gula sampai mengembang. Dilihat dari komposisi teh unik ini, saya pun jadi mafhum mengapa Ayah mertua saya tampak selalu fit dan segar sepanjang hari. Pastilah kuning telur yang memiliki kandungan gizi yang tinggi itu alasannya. Meskipun sibuk bekerja dari pagi sampai malam, staminanya tetap terjaga.

Sesuai asal keluarga suami saya, teh talua ini adalah teh tradisional dari Sumatera Barat. Dalam bahasa Minang, talua berarti telur. Mungkin belum banyak orang yang tahu jika keberadaan teh ini begitu masyhur di rumah-rumah makan di daerah asalnya. Untuk mengaduk telur dan gulanya, si penjual biasanya bahkan menggunakan mixer. Hanya perlu 1 menit, dan teh talua panas pun siap disajikan.

[caption id="attachment_135451" align="alignright" width="360" caption="TST (http://sebastianliadi.wordpress.com/2009/10/14/warkop/)"][/caption]

Ada lagi yang namanya TST. Hehe...ini bukan singkatan istilah Tau Sama Tau ya, tapi Teh Susu Telur, atau "telur"nya diplesetkan menjadi Teh Susu Telor. Ini minuman khas Medan yang saya duga juga berasal muasal dari Sumatera Barat. Mengingat lokasi warung yang banyak menjual TST ada di daerah Jl. Puri, Medan, sebuah daerah yang warganya didominasi oleh masyarakat Minang. Ibaratnya, teh talua dan TST adalah minuman saudara sekandung, kakak beradik. Sama-sama manis tapi sedikit berbeda cita rasanya. Apalagi  TST bisa disajikan panas atau dingin. Dua-duanya sama-sama mantap. Berbeda dengan teh talua yang selalu disajikan panas. Komposisi keduanya pun hampir sama. Bedanya hanya susu putih kental manis yang menambah lezat TST jika disesap. Ahh...nikmatnya. Kedua jenis minuman ini pun memiliki manfaat yang sama sebagai penambah stamina. Sangat cocok sebagai teman begadang.

Bila berkunjung ke rumah nenek suami saya di Jl. Puri, tak lupa saya dan keluarga akan memesan TST di warung makan yang hanya berselang beberapa rumah. Warung-warung makan ini biasa disebut  cafe. Bukan cafe seperti di mall, ini hanya istilah yang merujuk pada tempat nongkrong sambil makan. Istilah keren dari warkop. Hehehe... Cafe-cafe ini semakin malam akan semakin ramai. Tak heran jika di daerah ini selalu macet. Jalan yang tak terlalu lebar, kendaraan roda empat dan roda dua yang berebutan parkir sampai ke badan jalan, dan orang-orang yang ramai lalu lalang menambah riuh suasana malam. Pemilik cafe yang berjejer sepanjang jalan itu pun saling bersaing merebut pelanggan.

Penarik minat pengunjung biasanya TV plasma ber-inchi besar yang terpasang di sudut-sudut cafe. Bila sedang musim pertandingan sepak bola, wahh...tak terbayangkan lagi ramainya. Suara mesin dan klakson kendaraan, sorak sorai penonton yang bersahut-sahutan, bunyi alat masak yang sepanjang malam sampai pagi sibuk menyediakan kebutuhan perut. Tapi itulah enaknya. Jam berapapun Anda lapar pada malam hari, akan ada makanan yang siap pesan. Rasanya lezat pula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun