Mohon tunggu...
Annisa F Rangkuti
Annisa F Rangkuti Mohon Tunggu... Psikolog - 🧕

Penikmat hidup, tulisan, dan karya fotografi. https://www.annisarangkuti.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Lelaki Senjakala

2 Agustus 2011   07:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:10 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_122893" align="aligncenter" width="373" caption="Lelaki Senjakala"][/caption] Pak Tua, apa kabarmu? Lama tak bersua wajah keriput dan uban tipis yang meneduhi kepalamu. Aku rindu saat kita bercengkerama di tangga serambi rumahmu. Kita berdua saja. Sesekali isterimu yang pemurah menyajikan sepiring goreng pisang dan minuman untuk kita. Kau biasa menyeruput panasnya kopi pahit dengan tangan dan bibirmu yang bergetar-getar. Aku lebih suka Mak Tua menyeduhkan teh untukku. Tak manis, pun tak tawar. Putramu satu-satunya yang telah berpulang membuat cahaya matamu senantiasa terang setiap kali menatapku. Kau pasti merindukan buah hatimu itu. Maka aku pun tak sungkan berlaku seperti cucumu. Membacakanmu surat kabar, duduk di sebelahmu menonton acara berita televisi, atau sesekali tiap sempat menemanimu menerabas rumput-rumput liar di halaman belakang. Setiap kali aku datang, azan Zuhur pasti telah berkumandang di surau kampung. Aku pun langsung ke surau, menyucikan diri dan langsung mengambil posisi makmum di belakangmu. Jamaah yang hadir pun sudah menganggapku sebagai cucumu. Aku bahagia saja. Kau menganggap dirimu juga sebagai kakekku. Kita saling melengkapi di saat kakek-kakek dari Ayah dan Bundaku juga telah lama berpulang menghadapNya. Tiap Sabtu sore kita akan bercerita banyak di tempat yang sama. Tak pernah kubosan menyimak setiap cerita lalumu yang bergejolak dan bersahaja. Masa perang melawan tentara Netherland -begitu kau sering menyebut penjajah Belanda-, masa tak aman saat PRRI memberontak, masa sulit saat komunis berjaya, sampai masa ketika kau bertemu dengan sang pujaan hati di sebuah arus pengungsian. Hidupmu lebih banyak duka, kataku. Di antara semuanya, aku paling suka kisah perjuanganmu saat berangkat haji ke tanah suci. Setelah menabung bertahun-tahun dan menjual beberapa petak sawahmu, kau berhasil menunaikan niat muliamu, tanpa Mak Tua. Dana tak cukup, sementara kau begitu rindunya 'bersua' Tuhan di Makkah. Maka jauh sebelum musim haji, bahkan belum pun Ramadhan, Mak Tua ikhlas melepasmu di pelabuhan. Besar harapannya untuk bisa melihat sosokmu lagi berbulan-bulan kemudian. Di tahun 1974 itu belum ada burung besi yang bisa mengantar rombonganmu ke sana. Hanya sebuah kapal yang berlayar lambat. Bahkan aku masih sering merenungkan kisah orang-orang sebelummu yang pergi ke sana dengan berjalan kaki. Subhanallah. Bagaimana bisa? Lalu kau akan selalu menitikkan air mata saat bercerita tentang perjalananmu itu, yang akan kau hapus dengan ujung sarung berwarna lusuh. Itu air bening keharuan, katamu. Tanpa sadar, aku pun ikut menangis haru. Bahkan ingin lagi mendengar cerita yang sama esok harinya. Ah, tak sabar aku menunggu Sabtu depan dari kota untuk kembali ke rumahmu. Tapi takdir membuatku tak bisa mengunjungimu seperti biasa, Pak Tua. Aku bertemu gadisku, seperti mimpiku, di dalam sebuah bus menuju kota, selepas aku berkunjung sebulan yang lalu. Kami jatuh cinta saat sinar mata kami beradu membentuk kilat cahaya berbentuk hati di udara. Indah rasanya. Seketika aku teringat kisah cintamu dengan Mak Tua.  Tampilannya yang sederhana tanpa riasan membuat jantungku bergetar. Senyumnya mengingatkan aku akan senyum tulus Mak Tua. Ah, kilau cemerlang pesona gadis itu membuatku terhanyut dalam lamunan, sampai-sampai aku menunda waktu mengunjungimu. Maafkan aku, Pak Tua. Suatu Sabtu nanti aku akan mengunjungimu kembali. *** Sabtu sore, 7 Sya'ban 1432 H, 22 hari sebelum Ramadhan. Aku datang, Pak Tua, setelah berminggu-minggu aku tenggelam dalam kesibukan duniawi. Aku bahkan belum bercerita tentang gadisku itu. Bila tak ada aral menghadang, kami akan bersanding di bulan Syawal tahun ini. Tapi tak usah kau cemas. Aku sudah bercerita tentangmu. Kebiasaanku mengunjungimu mungkin akan lebih semarak dengan kehadirannya di antara kita. Aku rindu berbincang denganmu, Pak Tua. Bagiku, kau adalah pengisi jiwaku yang dahaga akan kenikmatan ukhrawi. Sering kau berkisah tentang perjalanan batinmu bersama sang Khaliq. Terutama saat Ramadhan tiba. Satu kalimat yang senantiasa kudengar darimu dan kuingat setiap kali bulan mulia itu datang; "Perlakukan bulan Ramadhan seolah-olah ini bulan Ramadhan terakhirmu. Siapa yang menjamin kau akan menemui Ramadhan yang sama tahun depan? Usia mudamu tak menjamin itu. Maka pergunakanlah waktu-waktu istimewa kala Ramadhan untuk lebih dekat denganNya." Biasanya aku terdiam saat kau berkata begitu, Pak Tua. Sering kala malam tiba, di bulan Ramadhan, air mataku mengalir demi mengingat kata-katamu itu. Ya, siapa yang tahu usia manusia kecuali penciptanya? Lalu sore ini, kita kembali bercengkerama di tangga serambi rumahmu. Kau sedang berpuasa sunat di bulan Sya'ban. Maka tak ada sajian yang disediakan Mak Tua. Namun ada yang berbeda lebih dari itu. Aku perhatikan dirimu tak lagi banyak bercerita. Kau lebih banyak diam dalam renunganmu dan tersenyum padaku lebih dari biasanya. Aku justru khawatir. Tiba-tiba sekejap rasa menelusup hatiku. Rasa aneh yang membuat jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Aku kembali teringat kata-katamu tentang Ramadhan. *** Kamis sore, 19 Sya'ban 1432 H, 10 hari menjelang Ramadhan. Rumah sederhanamu tak sesenyap biasanya. Pak Tua, inikah takdirmu? Belum sampai langkahmu menjejak Ramadhan, kau telah cepat-cepat pergi mendahuluinya untuk bertemu Sang Khaliq. Langkahmu tak bisa dibendung. Sama seperti saat kau akan berangkat ke tanah suci berpuluh tahun sebelumnya. Bahkan Mak Tua hanya bisa pasrah melihatmu terbujur di pembaringan. Air matanya kulihat menetes satu-satu, tanpa ratapan. Begitu sabar isterimu itu, Pak Tua. Saat jiran dan sanak saudara mengurai tangis pilu mereka, perempuanmu itu hanya duduk berzikir sambil sesekali membelai-belai dahimu yang pucat. Aku pun tak sanggup menahankan gemuruh kesedihan dalam dadaku. Film-film kenangan kita terputar kembali, mengantarkan kerinduan yang sangat akan sosokmu yang bersahaja. Kemana lagi 'kan kucari? Hanya do'a sebagai penawar kerinduanku padamu. Semoga jalanmu dilapangkan olehNya, Pak Tua. Semoga do'a orang-orang tercintamu kala Ramadhan nanti menjadi untaian pahala yang tak putus untukmu. Pak Tua, ternyata inilah Sya'ban terakhirmu. *** 2 Ramadhan 1432 H >> Ilustrasi adalah dokumentasi Rizky Rangkuti.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun