[caption id="attachment_121898" align="aligncenter" width="560" caption="Evil Eyes on the Subway (dok. AFR)"][/caption] Setelah lama dinanti, akhirnya buku setebal 56 halaman itu sampai juga ke tangan saya. Jarak tempuh Chicago-Medan itu 'ternyata' jauh. Butuh waktu kira-kira satu bulan untuk mengirimkan sebuah buku kumpulan flash fiction dari salah seorang sahabat kompasianer, Ouda Saija. Sesuai permintaan, ada kalimat singkat pembuka di halaman pertamanya. Hobi saya memang mengoleksi torehan kata dan tanda tangan para penulis di buku mereka. Ada kebahagiaan tersendiri ketika penulis yang bukunya kita koleksi menulis sebaris kata-kata dan menorehkan tanda tangannya di sampul atau halaman pertama buku khusus untuk pembacanya. Dari Ouda Saija ini, saya dapatkan kalimat;
To Annisa F. Rangkuti
Happy Reading
Plus icon "smile", tanda tangan dan tanggal.
Cukuplah sebagai kalimat penyemangat untuk membuka lembar-lembar selanjutnya. Tak disangka, cerita-cerita di dalam buku keduanya ini sungguh enak dibaca sampai tuntas sekali duduk. Bahasa Inggrisnya mengalir dan saya yakin masih dapat dicerna tanpa harus menggunakan kamus. Hehehe. Dan ini yang saya kagumi dari penulis flash fiction andal seperti Ouda Saija; menyampaikan pesan cerita dengan kalimat-kalimat yang efektif dan efisien. Maka tak butuh waktu lama dan bertele-tele untuk dapat menangkap pesan kuat yang ada pada setiap ceritanya. Memang ia pun mengaku tak cakap berpanjang kata. Gaya bertutur Ernest Hemingway yang apa adanya terbaca pada setiap judul. Ia lebih suka kalimat-kalimat pendek dengan pesan yang kuat. Bagi yang setia mengikuti karya-karyanya di Kompasiana, tampak betul kalau ia memang fokus pada jenis bercerita yang seperti itu. Penyampaian apa adanya dengan akhir cerita yang terkadang membuat terperangah. Saya percaya, untuk bisa menulis seperti itu butuh latihan dan inteligensi yang tak sekadar rata-rata normal. Jika diingat-ingat, ia termasuk yang pertama kali memperkenalkan flash fiction di Kompasiana. Selain kompasianer Rusdianto (kini telah non aktif sebagai kompasianer) dan Gibb yang kala itu juga turut memperkenalkan fiksi singkat ala Hemingway ini. Sampai-sampai ada masa ketika para kompasiner pecinta fiksi ramai-ramai menulis flash fiction. Pengaruhnya sampai pada saat diselenggarakannya festival penulis dan pembaca Ubud Writers and Readers Festival 2010. Karyanya yang berjudul Flying Jaguar masuk dalam urutan flash fiction dengan voting kedua tertinggi versi bahasa Inggris dan dipublikasikan dalam bentuk majalah pada festival tersebut bersama karya-karya penulis lainnya. Dalam bukunya ini, Flying Jaguar berubah nama menjadi Jaguar Williams. Beberapa karya dalam bukunya ini memang sudah pernah dipublikasikan di Kompasiana. Evil Eyes on the Subway adalah alih bahasa dari Mata Setan di Kereta Bawah Tanah yang sempat masuk halaman kompas.com dan mengundang lebih dari 1000 pembaca. Demikian juga dengan Negligence Kills, In the Bathroom, The Matchmaking, The Divorce of a Poet, T-Rex's Smile dan The Street Singer's Wedding Ring. Namun begitu, membaca lagi karya-karyanya itu dalam versi bahasa Inggris justru memberi nuansa tersendiri. Pesan yang ingin disampaikan justru semakin kuat dan membekas dalam ingatan. Bila divisualisasikan, beberapa judulnya mengantarkan ingatan kita pada film-film Hollywood yang khas dengan adegan berita televisi atau headline surat kabar yang menerangkan keadaan akhir tokoh-tokohnya sebagai ending cerita. Seperti pada judul Six Hours to 2010, Negligence Kills dan Jaguar Williams. Sayang, menurut saya akhir cerita seperti ini kurang memikat. Entah karena saya sudah bosan menonton ending seperti ini di film-film Hollywood.
[caption id="attachment_121899" align="aligncenter" width="469" caption="dok. AFR"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H