Mohon tunggu...
Annisa F Rangkuti
Annisa F Rangkuti Mohon Tunggu... Psikolog - 🧕

Penikmat hidup, tulisan, dan karya fotografi. https://www.annisarangkuti.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mata Setan di Kereta Bawah Tanah (Review)

27 Juli 2011   13:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:19 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_121898" align="aligncenter" width="560" caption="Evil Eyes on the Subway (dok. AFR)"][/caption] Setelah lama dinanti, akhirnya buku setebal 56 halaman itu sampai juga ke tangan saya. Jarak tempuh Chicago-Medan itu 'ternyata' jauh. Butuh waktu kira-kira satu bulan untuk mengirimkan sebuah buku kumpulan flash fiction dari salah seorang sahabat kompasianer, Ouda Saija. Sesuai permintaan, ada kalimat singkat pembuka di halaman pertamanya. Hobi saya memang mengoleksi torehan kata dan tanda tangan para penulis di buku mereka. Ada kebahagiaan tersendiri ketika penulis yang bukunya kita koleksi menulis sebaris kata-kata dan menorehkan tanda tangannya di sampul atau halaman pertama buku khusus untuk pembacanya. Dari Ouda Saija ini, saya dapatkan kalimat;

To Annisa F. Rangkuti

Happy Reading

Plus icon "smile", tanda tangan dan tanggal.

Cukuplah sebagai kalimat penyemangat untuk membuka lembar-lembar selanjutnya. Tak disangka, cerita-cerita di dalam buku keduanya ini sungguh enak dibaca sampai tuntas sekali duduk. Bahasa Inggrisnya mengalir dan saya yakin masih dapat dicerna tanpa harus menggunakan kamus. Hehehe. Dan ini yang saya kagumi dari penulis flash fiction andal seperti Ouda Saija; menyampaikan pesan cerita dengan kalimat-kalimat yang efektif dan efisien. Maka tak butuh waktu lama dan bertele-tele untuk dapat menangkap pesan kuat yang ada pada setiap ceritanya. Memang ia pun mengaku tak cakap berpanjang kata. Gaya bertutur Ernest Hemingway yang apa adanya terbaca pada setiap judul. Ia lebih suka kalimat-kalimat pendek dengan pesan yang kuat. Bagi yang setia mengikuti karya-karyanya di Kompasiana, tampak betul kalau ia memang fokus pada jenis bercerita yang seperti itu. Penyampaian apa adanya dengan akhir cerita yang terkadang membuat terperangah. Saya percaya, untuk bisa menulis seperti itu butuh latihan dan inteligensi yang tak sekadar rata-rata normal. Jika diingat-ingat, ia termasuk yang pertama kali memperkenalkan flash fiction di Kompasiana. Selain kompasianer Rusdianto (kini telah non aktif sebagai kompasianer) dan Gibb yang kala itu juga turut memperkenalkan fiksi singkat ala Hemingway ini. Sampai-sampai ada masa ketika para kompasiner pecinta fiksi ramai-ramai menulis flash fiction. Pengaruhnya sampai pada saat diselenggarakannya festival penulis dan pembaca Ubud Writers and Readers Festival 2010. Karyanya yang berjudul Flying Jaguar masuk dalam urutan flash fiction dengan voting kedua tertinggi versi bahasa Inggris dan dipublikasikan dalam bentuk majalah pada festival tersebut bersama karya-karya penulis lainnya. Dalam bukunya ini, Flying Jaguar berubah nama menjadi Jaguar Williams. Beberapa karya dalam bukunya ini memang sudah pernah dipublikasikan di Kompasiana. Evil Eyes on the Subway adalah alih bahasa dari Mata Setan di Kereta Bawah Tanah yang sempat masuk halaman kompas.com dan mengundang lebih dari 1000 pembaca. Demikian juga dengan Negligence Kills, In the Bathroom, The Matchmaking, The Divorce of a Poet, T-Rex's Smile dan The Street Singer's Wedding Ring. Namun begitu, membaca lagi karya-karyanya itu dalam versi bahasa Inggris justru memberi nuansa tersendiri. Pesan yang ingin disampaikan justru semakin kuat dan membekas dalam ingatan. Bila divisualisasikan, beberapa judulnya mengantarkan ingatan kita pada film-film Hollywood yang khas dengan adegan berita televisi atau headline surat kabar yang menerangkan keadaan akhir tokoh-tokohnya sebagai ending cerita. Seperti pada judul  Six Hours to 2010, Negligence Kills dan Jaguar Williams. Sayang, menurut saya akhir cerita seperti ini kurang memikat. Entah karena saya sudah bosan menonton ending seperti ini di film-film Hollywood.

[caption id="attachment_121899" align="aligncenter" width="469" caption="dok. AFR"]

1311772830587533956
1311772830587533956
[/caption] Bagi saya, The Hidden Dragon adalah karya yang paling saya sukai. Seingat saya, ini adalah karya barunya. Flash fiction ini membuat saya tersenyum sekaligus merenung ketika membacanya. Saya menduga ini terinspirasi pengalaman pribadinya ketika berkunjung ke Chinatown di daerah domisilinya sekarang. Dasar seniman kreatif. Dengan imajinasinya yang tinggi, ia menggambarkan situasi ketika tokoh utama menyambangi sebuah restoran China pada suatu sore. Simbolisasi ras tampak ketika perutnya yang lapar karena belum makan siang digambarkan seperti seekor elang yang terbang dan bersuara ribut di dalam perutnya. Entah bagaimana, sang tokoh utama lalu mendengar suara hewan lain yang berasal dari perut sang pelayan, seorang wanita Tionghoa. Suara itu persis seperti elang lapar di dalam perutnya. Bedanya, di dalam perut wanita Tionghoa itu adalah seekor naga. Lalu mulailah elang dan naga itu berdialog satu sama lain. Ternyata sang pelayan wanita juga belum makan siang. Namun sesuai peraturan di tempatnya bekerja, ia baru boleh makan setelah pekerjaannya selesai lewat jam 10 malam. Akhir cerita, sang tokoh utama yang kasihan pada sang pelayan wanita lalu memberikan sebuah kue, a fortune cookie, yang sebelumnya disediakan baginya sebagai hidangan penutup. Sebuah penceritaan tentang sterotype etnis Tionghoa yang sungguh memikat. Saya lalu teringat cerita yang sama dari orang-orang yang bekerja pada majikan etnis Tionghoa dan hanya bisa mendengar dengan hati miris. Cerita ini dirasa mampu mewakili kenyataan yang sering dialami para pekerja tersebut. Gangsta Gal dan The Divorce of a Poet adalah judul-judul favorit saya selanjutnya. Rasanya tak perlu saya bahas lebih jauh lagi karena sudah cukup banyak kompasianer yang me-review setiap judul dalam buku ini. Sebut saja kompasianer Hazmi Srondol, Tantri Pranashinta dan Wnks. Hebatnya, baru saja kemarin ia resmi mengumumkan penerbitan buku ketiganya, tentang macapat Jawa versi bahasa Inggris. Sejak kemunculan karyanya dalam bentuk e-book, agaknya ia semakin kecanduan menulis buku, yang kali ini dalam versi cetak. Semoga saja 'kerja' sambilannya ini tidak sampai mengganggu aktivitas utamanya sebagai mahasiswa doktoral di Loyola University, Chicago. Katanya sih, sambil menyelam minum susu. ;D Bila tertarik ingin memilikinya, silakan mengontak penulis yang bernama asli Ouda Teda Ena ini melalui pesan di inbox. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun