Mohon tunggu...
Annisa F Rangkuti
Annisa F Rangkuti Mohon Tunggu... Psikolog - 🧕

Penikmat hidup, tulisan, dan karya fotografi. https://www.annisarangkuti.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Ayam Bakar buat Emak

21 Maret 2011   14:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:35 716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13007232961550530481

[caption id="attachment_97430" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi (http://tinyurl.com/6d99e5k)"][/caption]

Setiap kali Anggi pulang sekolah, langkahnya selalu terhenti sejenak di depan rumah makan Padang yang tidak terlalu jauh dari sekolahnya. Cukup dengan berjalan kaki beberapa menit, ia pasti sudah sampai di rumah makan yang menyajikan aneka hidangan Padang yang lezat tersebut. Setiap melewatinya, hidungnya akan mencium bau ayam bakar yang menggugah selera, sampai-sampai terkadang air liurnya hampir menetes karena membayangkan mulutnya yang sibuk mengunyah nasi ayam bakar dengan sambalnya. Apalagi siang-siang begini. Hmm...harumnya, bikin perutku lapar saja, batin Anggi. Pasti semua makanan di situ enak-enak. Ingin rasanya sesekali ia makan di situ, tentunya bersama Emaknya. Tapi setiap kali keinginan itu timbul, bayangan akan harga makanan yang harus dibayar Emaknya nanti selalu membuatnya mengurungkan niat. Nanti sajalah, kalau aku ada uang, pikirnya. Lebih baik aku harus mulai menabung uang jajanku agar bisa mengajak Emak makan di situ. Bunyi bel dua kali menandakan waktu istirahat kedua telah tiba. Kelas 5C langsung terdengar riuh oleh bunyi buku-buku dan alat tulis yang dimasukkan begitu saja ke dalam laci. Beberapa anak berjalan keluar kelas, bergerombol lalu bermain atau sekadar mengobrol satu sama lain. Anak-anak lainnya ada yang masih sibuk mencatat tulisan guru dari papan tulis, dan ada yang duduk berkumpul bersama teman-temannya sambil memamerkan barang-barang barunya. Anggi adalah salah satu anak yang sibuk mencatat, sementara di salah satu sudut kelas yang berseberangan dengan pintu, Gita terlihat sedang asyik mengobrol dengan teman-teman dekatnya sambil menunjukkan barang-barang lucu dan bagus yang ia punya. "Aku beli ini waktu liburan di Bali kemarin. Lucu ya?" ucapnya penuh kebanggaan sambil tangannya mengangkat sebuah dompet warna hitam merah jambu dan menunjukkannya pada teman-temannya. Dompet itu memang cantik. Banyak saku untuk menyimpan uang dan bermacam-macam kartu dengan rantai kecil yang ujungnya berbentuk bunga yang bisa ditaruh foto ukuran kecil. Anggi yang sayup-sayup mendengar sejenak menghentikan pekerjaan menulisnya dan menoleh ke arah Gita yang duduk di meja membelakangi papan tulis. Anggi duduk dengan jarak tiga meja dari tempat Gita dan ia bisa melihat dengan cukup jelas dompet yang dipegang Gita. Memang bagus, batinnya, lalu ia melanjutkan menulis. "Tau nggak harganya berapa?" ujar Gita sambil sedikit menaikkan dagu. "Emang berapa, Git?" salah seorang temannya menyahut. "Mana kita tau kalo kamu belum bilang berapa," sahut temannya yang lain. Gita menarik nafas sebentar sebelum melanjutkan, "150 ribu!" serunya. "Hah? Mahal banget?" kontan teman-temannya membelalakkan mata. "Yaa...emang mahal sih. Tapi itu belum seberapa. Masih banyak oleh-oleh liburanku yang belum kutunjukkan pada kalian. Kalau kalian mau, pulang sekolah nanti kalian ikut aja ke rumahku. Gimana?" Kedua temannya berpandangan sejenak lalu berkata, "Ayo!" Anggi yang ikut mendengar tiba-tiba saja merasakan tubuhnya kaku. Iya, mahal sekali dompet itu, pikirnya. Aku pasti tak akan mampu membelinya. Kalaupun terbeli, itu setelah menabung selama beberapa bulan dari uang jajan yang diberi Emak yang seorang tukang cuci. Tiba-tiba ia merasakan hatinya berdesir, rasa perih diam-diam menyelusup hatinya. Aku jelas berbeda dengan Gita yang anak orang kaya. *** Sudah dua minggu Anggi tidak jajan di kantin. Ia lebih memilih mengulang catatan pelajaran di dalam kelas atau hanya duduk-duduk sambil mengobrol dengan teman-temannya di bawah pohon mahoni di dekat kelasnya. Ia bertahan untuk tidak jajan demi memenuhi keinginannya mengajak Emak makan di rumah makan Padang itu. Emak yang melihat Anggi selalu kelaparan setiap pulang sekolah heran dengan tingkah laku putri semata wayangnya itu. Siang itu, saat mereka berdua sedang duduk di meja makan yang kecil di sudut ruangan, Emak tak tahan untuk tidak bertanya, "Emak lihat akhir-akhir ini kamu lahap sekali makannya. Biasanya kamu nggak gitu kan, Nggi? Ada apa sebenarnya?" "Nggak ada apa-apa, Mak..," jawab Anggi sambil terus mengunyah nasi dengan lauk tahu goreng kuah kacang dan tumis kangkung. "Masakan Emak hari ini enak ..," lanjutnya. Tak urung perkataan Anggi itu membuat mata Emak berkaca-kaca. Sebenarnya hatinya tergetar karena ia merasa hanya mampu memberikan makanan sederhana pada putrinya. Namun ia mengucap syukur pada Tuhan karena dianugerahi anak yang selalu bersyukur dengan apa yang ada. Ia terus memandang putrinya sampai selesai makan. "Mak..," Kata Anggi tiba-tiba. Emak yang tersenyum sambil merenung sedikit terkejut mendengar panggilan Anggi. "Eh..ya..ya, nak? Ada apa?" ucap Emak agak gugup. "Yah Emak...ngelamun ya? Kok kaget gitu?" ujar Anggi pura-pura cemberut. Emak hanya bisa tersenyum. "Eh, gini, Mak..," Anggi melanjutkan. "Anggi sebenarnya bosen ama masakan Emak," sontak perkataan Anggi membuat Emak kaget. Tapi ia hanya diam sambil menunggu Anggi selesai berbicara. "Anggi sesekali mau makan di luar. Di rumah makan gitu...," Emak terdiam sambil mengalihkan pandangan. Tampak sekilas kegelisahan di raut wajahnya. "Itu loh Mak...di rumah makan Padang deket sekolah Anggi. Duh, kayaknya di situ enak banget Mak makanannya. Setiap Anggi pulang sekolah dan lewat situ, pasti Anggi ngiler deh. Ayam bakarnya itu loh...dibakar di luar rumah makan, jadi aromanya nyebar kemana-mana. Haruuum dan kayaknya  enaaak banget." "Anggi pengen kita sekali-sekali makan di situ. Kan udah lama banget kita nggak makan di luar, Mak?" Emak hanya tersenyum getir. "Nah, biar kita bisa makan di situ, Emak nggak usah bingung. Anggi selama dua minggu ini nggak jajan di sekolah. Uang jajan yang Emak kasih Anggi tabung semua. Tuh, ada di laci lemari Anggi. Ntar Anggi buka deh tuh kotak celengan, biar kita bisa makan di situ besok. Gimana, Mak? Emak mau kan?" Emak masih diam sambil menatap Anggi. Mata Emak tampak berair. "Udah. Emak nggak usah kuatir. Ikut aja ya? Jadi sekarang Emak udah tau kan kenapa Anggi setiap pulang sekolah makannya banyak?" Emak langsung tersenyum. Anggi kemudian beringsut memeluk Emak. "Anggi sayang sama Emak. Anggi pengen sekali-sekali buat Emak bahagia." *** Bel panjang tanda pelajaran hari itu usai berbunyi. Dengan gerakan cepat, Anggi membereskan buku-buku dan alat tulisnya lalu memasukkannya ke dalam tas. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, Anggi segera melangkah ke luar kelas untuk pulang. Sebenarnya ia belum benar-benar pulang ke rumah. Sebelumnya ia akan mampir dulu di rumah makan Padang di dekat sekolahnya itu untuk membeli nasi lengkap dengan lauknya. Seharusnya ia makan di sana bersama Emak, tapi ternyata Emak tiba-tiba tidak bisa karena sakit demam. Pasti karena Emak kecapaian, pikir Anggi. Emak sebenarnya bilang besok saja mereka makan di sana setelah Emak sudah agak mendingan, tapi karena ia sudah tidak sabar lagi ingin makan masakan Padang di rumah makan itu, ia pun berniat untuk membelinya dan membawanya pulang. Setibanya di depan rumah makan, tiba-tiba matanya melihat sosok Gita sedang berdiri di depan steling makanan. Gita tampak mondar mandir sambil melihat-lihat menu makanan yang ada di balik kaca. Sesaat Anggi ragu untuk menegur atau pura-pura tidak melihat, tapi ia teringat nasehat Emak untuk menyapa dengan ramah siapa saja yang dikenalnya bila bertemu. Ia lalu kembali memantapkan langkah mendekat. "Hai, Gita," sapanya dengan senyum. Yang disapa menoleh ke kiri, lalu membalas, "Eh, Anggi. Sedang apa di sini?," Anggi agak tersinggung dengan perkataan Gita. Dasar anak orang kaya, rutuknya dalam hati. Tapi kemudian ia menjawab, "Ya pastinya mau beli makanan lah, masak mau beli buku?" ujarnya masih dengan senyum. Gita tanpa tersenyum hanya ber-Oh, lalu menunjuk sejenis gulai pada perempuan di sebelahnya. Setelah itu tidak ada pembicaraan lagi. Anggi ikut melihat-lihat macam-macam lauk di sana. Duh, banyak yang lezat-lezat. Yang pasti, ia akan memilih menu utama ayam bakar. Sedang asyik-asyiknya memilih lauk, tiba-tiba terdengar suara anak perempuan dari arah samping. "Bu, kasihan Bu, Kak, kasihan Kak...Ibu saya sedang sakit, Bapak saya sudah meninggal. Saya mohon sedekahnya Bu, Kak...tolong...saya belum makan," suara anak perempuan itu terdengar memilukan. Matanya mengarah ke Gita dan perempuan yang sejak tadi ada di sebelahnya. Sepertinya itu pembantunya, karena terdengar perempuan itu sering menyahut dengan panggilan "Non..." pada Gita sambil mengangguk-angguk. Gita hanya menoleh sebentar lalu segera mengalihkan pandangan. Pengemis itu kira-kira masih sebaya dengan Anggi dan Gita, namun badannya kurus, dekil, dan tampak kuyu. Sambil menadahkan tangan, ia berusaha mendekati Gita. "Kak...minta sedekah, Kak...," katanya beberapa kali. Karena tidak disahut, ia kembali mencoba mendekati, kali ini berada persis di samping Gita. Gita yang sedari tadi berusaha menghindar, kali ini tampak melotot dan mengibas-ngibaskan tangannya di lengan bajunya, khawatir bajunya ikut-ikutan kumal karena tersentuh tangan anak pengemis itu. Lalu tanpa berkata-kata ia menarik tangan pembantunya yang baru selesai membayar dan pergi dari situ. Anggi yang sedari tadi melihat kejadian itu dari jarak yang agak jauh hanya melihat Gita yang berjalan cepat ke mobilnya diikuti pembantunya yang tergopoh-gopoh membawa sekantung plastik makanan. Tak lama, mobil Gita mulai bergerak menjauh dan hilang dari pandangan. Anggi kemudian melihat pengemis itu. Tampaknya kali ini dia pengemis sungguhan, batinnya. Badannya benar-benar kurus, kumal, dengan rambut yang tidak karuan. Pakaiannya sudah seperti kain lap saja. Anak perempuan itu lalu duduk di bawah pohon di parkiran sambil menunduk, menopang dagu dengan kedua tangannya. Sesaat Anggi berpikir untuk memberikan sebagian makanan yang dia beli nanti. Setelah selesai memilih-milih makanan dengan cepat dan membayarnya, ia bergegas ke parkiran untuk menemui anak tadi. Huuffh...syukurlah, anak itu masih di situ. Anggi lalu berjalan mendekat. "Ini buat kamu," katanya sambil mengulurkan sebuah bungkusan. Anak itu tampak terkejut dan mendongak. Mulutnya sedikit terbuka. "Iya...ini buat kamu," Anggi mengulang ucapannya. Dengan ragu tangan anak itu ingin mengambil, tapi diurungkannya. "Ambillah...ini makanan yang baru kubeli. Kusisihkan punyaku buat kamu." Anggi mendekatkan bungkusan tersebut ke tangan anak itu. "Ma...makasih ya...," ucap anak itu pada akhirnya. Ragu-ragu ia tersenyum, yang dibalas dengan senyum tulus dari Anggi. Anggi merasakan dadanya lapang dan sejuk. Ternyata senang sekali rasanya bisa membantu orang lain, batinnya sambil melangkah ringan pulang ke rumah. Di rumah, ia menceritakan pengalamannya barusan pada Emak. Emak yang masih terbaring di tempat tidur tak kuasa menahan keharuannya. Beliau pun berlinangan air mata. "Emak bangga sama kamu, Nggi. Kamu benar-benar anugerah dari Allah. Emak bahagia sekali punya anak baik seperti kamu," kata-kata Emak membuat Anggi pun ingin menangis, tapi ditahannya. "Udah mak. Jangan nangis. Anggi juga bangga dan bahagia punya Emak yang sayang banget sama Anggi," ucapnya sambil mencium tangan Emak yang terasa hangat. "Kita makan yuk, Mak. Anggi udah laper. Pasti Emak juga. Nanti abis makan baru minum obat. Supaya cepet sembuh dan Emak bisa kerja lagi." Emak mengangguk pelan. Anggi lalu mengambil piring dan menyuapi Emak perlahan. "Kita sepiring berdua ya, Mak. Nanti kalau nasinya kurang kita tambah lagi," kata Anggi. Emak mengangguk sambil tersenyum. Anggi ikut tersenyum. Yah, ternyata masih ada orang yang lebih susah daripada aku, batinnya. Dengan nikmat ia mengunyah setiap sendok suapan dengan lauk ayam bakar dan gulai nangka yang dibagi dua dengan Emak. *** 19 Oktober 2009 >> Belajar menulis cerita anak... ;D

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun