[caption id="attachment_71944" align="alignleft" width="300" caption="(http://www.khatulistiwa.net)"][/caption] Apa jadinya jika kisah seorang nabi diceritakan dalam bentuk novel? Itulah yang terlintas di pikiran saya ketika melirik buku berjudul "Sebuah Novel Biografi Muhammad, Lelaki Penggenggam Hujan". Sudah lama saya tak membaca lagi kisah hidup nabi Muhammad, setelah dulu mengetahui sedikit sejarah hidup beliau lewat buku Tarikh (sejarah) Islam berbahasa Arab Melayu ketika saya masih belajar di madrasah. Rasanya ingin mengenalnya kembali, setelah sekian lama "terlupa" akan keteladanannya. Membaca siapa penulis dan sedikit sinopsisnya di bagian sampul, saya lalu tanpa ragu membawanya turut serta pulang ke rumah. Kening saya sempat berkerut ketika membaca prolognya, berusaha memahami. Menggambarkan kondisi masyarakat dari berbagai tempat; Persia (sekarang Iran), Tibet, Mesir, India, Indonesia (Barus), lalu Makkah. Dengan bahasa penulis yang nyastra, orang-orang yang berdialog di lembar-lembar awal buku ini serempak menceritakan tentang ramalan akan datangnya seorang nabi, yang juga disebut sebagai Astvat-ereta, Maitreya, Bar Nasha, Malechha Dharma, Maharishi, yang kesemuanya itu menunjuk ke satu sosok, seorang lelaki mulia yang akan membebaskan manusia dari segala macam penderitaan. Sosok penerang setelah kegelapan menyelimuti jiwa-jiwa manusia selama berabad-abad lamanya. Membaca kelanjutan cerita ini lalu terasa memikat. Fakta-fakta akurat yang digambarkan dalam narasi dan dialog-dialog antara para tokoh-tokohnya membuat kisah Nabi Muhammad ini terasa hidup, serasa tengah menonton film yang sebenarnya "cukup berat" namun menarik untuk disimak. Selayaknya sebuah novel, maka ada tokoh-tokoh fiktif yang merepresentasikan masyarakat Persia yang dipimpin oleh Khosrou, penganut agama Zoroaster; agama Majusi, penyembah api. Ajaran Zoroaster yang suci tak lagi murni karena kendali nafsu kekuasaan yang tengah menguasai Khosrou, sang raja. Itulah yang terasa di hati dan pikiran seorang pemuda cerdas bernama Kashva, penghuni Kuil Sistan yang berada di lingkungan kerajaan. Apalagi setelah ia membaca banyak perkamen-perkamen kuno yang mengisyaratkan akan datangnya seorang lelaki pembawa agama baru yang membawa kedamaian bagi seluruh umat manusia. Tambahan lagi, korespondensinya dengan Elyas, seorang penunggu perpustakaan sebuah biara di Bashrah, Suriah (Syria), intens membahas ramalan akan kedatangan seorang nabi yang juga dijanjikan oleh nabi Persia, Zardusht, dalam kitab sucinya. Pembicaraan mereka lewat gulungan-gulungan papirus semakin menarik ketika Elyas mengisahkan tentang surat seorang pendeta di biara Bashrah bernama Bahira kepada Waraqah bin Naufal, seorang nasrani di Makkah. Surat yang mengabarkan tentang pertemuannya dengan seorang anak lelaki yang ia yakini memiliki tanda-tanda kenabian dan telah lama diramalkan kehadirannya lewat perkamen-perkamen kuno dan kitab-kitab suci. Pendeta Bahira menemui anak lelaki itu yang tengah dalam perjalanan niaga dari kota Makkah ke negeri Syam (Irak) bersama pamannya, Abi Thalib, dalam suatu jamuan makan malam. Seorang anak lelaki istimewa, yang kelak akan membawa perubahan besar pada dunia. Sebagaimana para nabi sebelumnya, perjalanan penyebaran ajarannya itu akan menghadapi banyak cobaan berupa penolakan dan permusuhan dari orang-orang yang tidak menyukai ajaran yang dibawanya. Dialah Himada, Muhammad, Yang Terpuji. Melihat indikasi akan datangnya ajaran agama baru, Kashva khawatir dengan ajaran Zardusht yang mulai terancam kemurniannya. Maka dengan keberaniannya, ia memberi peringatan pada Khosrou agar kembali pada kesucian agama yang dianut kerajaan Persia itu. Tak disambut baik, Kashva pun melarikan diri dengan dibantu beberapa orang yang mendukungnya demi menghindari hukuman yang akan dijatuhkan Khosrou kepadanya. Pelarian yang selanjutnya terasa sangat panjang dan penuh penderitaan. Demi menghindari kejaran tentara Khosrou yang telah mengepung perbatasan Persia ke Suriah, Kashva pun terpaksa harus menikmati perjalanan berhari-hari ke Gathas, lalu ke India, kemudian harus melewati perjalanan berat mendaki gunung-gunung salju untuk sampai ke Tibet, dengan maksud menemui seorang bikshu yang selama ini juga sering berkirim surat dengannya tentang kedatangan sang nabi. Perjalanan sampai ke Tibet saja sudah terasa sangat panjang dan melelahkan. Mampukah Kashva pada akhirnya sampai ke Yatsrib (Madinah), menemui sang nabi yang dijanjikan? Ataukah Kashva hanya berhalusinasi dengan orang bernama Elyas dan bikshu bernama Tashidelek? Pembaca nantinya akan menemukan suatu rangkuman perjalanan yang sesungguhnya bermakna filosofis. Kisah perjalanan Kashva menjadi kisah tersendiri di samping kisah-kisah nabi Muhammad. Tidak hanya kisah-kisah nabi dan para sahabat serta para istri dan keluarganya. Peristiwa perang Uhud yang menewaskan pamanda tercinta nabi, Hamzah, juga tergambar jelas di sini. Juga ada peristiwa perang Khandaq yang dengan strategi pertahanan penggalian paritnya berhasil memukul mundur kaum kafir Quraisy Makkah yang mencoba menyerang Madinah. Pembelotan yang dilakukan kaum Yahudi Makkah dengan mengingkari perjanjian dengan kaum muslim Madinah, pengkhianatan kaum penyembah berhala Makkah terhadap perjanjian Hudaibiyah, yang pada akhirnya berujung pada penghancuran berhala-berhala di Ka'bah setelah invasi damai kaum muslimin ke Makkah. Runtuhnya berhala-berhala itu juga menandakan berakhirnya era agama pagan dan majusi sekaligus dimulainya zaman kejayaan Islam hingga berabad-abad kemudian, yang meliputi seluruh jazirah Arab, Afrika, Asia sampai ke Eropa. Buku yang disunting oleh Fahd Djibran, penulis yang juga kompasianer ini sangat bermanfaat untuk dibaca, khususnya bagi kaum muslim. Meski tidak menceritakan kisah nabi secara menyeluruh dari awal sampai akhir, namun tetap banyak kisah keteladanan yang dapat diambil hikmahnya, terutama tentang sifat-sifat kepemimpinan beliau yang tegas, cerdas, berani, amanah,  sekaligus penyabar dan lembut hati. Di buku ini pun tersirat makna jihad fi sabilillah dan poligami yang sesungguhnya, yang saat ini banyak disalahpahami makna dan tujuannya. Niat awal saya membaca buku ini lebih karena saya menyadari belum sepenuhnya mengenal nabi Muhammad, yang sejatinya adalah suri tauladan bagi umat Islam. Membaca buku ini lembar demi lembar ternyata cukup mampu menumbuhkan apa yang saya inginkan; membaca lebih banyak untuk mengenal lebih dekat Muhammad Rasulullah. Agar tidak ada lagi sebentuk tanya di benak saya; "Muhammad? Siapa dia?". *** Keterangan buku: Judul                    : Sebuah Novel Biografi, Muhammad SAW, Lelaki Penggenggam Hujan Penulis                : Tasaro GK Penyunting        : Fahd Djibran Penerbit             : Bentang Pustaka Cetakan              : I (Maret 2010) Tebal                    : 544 Halaman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H