Mohon tunggu...
Annisa F Rangkuti
Annisa F Rangkuti Mohon Tunggu... Psikolog - 🧕

Penikmat hidup, tulisan, dan karya fotografi. https://www.annisarangkuti.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Keling: Catatan Kelam si Gadis

30 April 2010   07:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:30 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_129988" align="alignright" width="246" caption="sekedar ilustrasi (http://www.1st-art-gallery.com/Edwin-Lord-Weeks/Blue-Tiled-Mosque-At-Delhi-India.html)"][/caption] Gadis remaja itu makan begitu lahap. Nasi gorengnya lebih cepat habis dariku. Aku sempat heran, bagaimana bisa ia menghabiskan makanannya secepat itu? Baru setelah kuamati diam-diam dua sendok suapannya terakhir, baru aku paham kalau kunyahannya tak sampai 7 kali tiap suapan. Sementara aku, termasuk pemakan yang lambat. Makanan bisa kukunyah sampai 32 kali dulu baru kulewatkan ke kerongkonganku. Ya sudahlah, mungkin dia memang lapar, pikirku. Tak heran, sedari pagi tadi aku menjejalinya dengan berbagai macam tes psikologi. Mulai dari tes inteligensi yang banyak subtesnya hingga tes kepribadian yang jenisnya beragam. Ini juga belum selesai semua. Jadi besok aku akan kembali menjemputnya untuk kuajak menyelesaikan rangkaian tes itu lagi di kampusku. Selesai makan dan membayarnya di kasir, kuantar ia pulang. Tubuh dan pikiranku yang mulai merasa lelah membayangkan perjalanan ke rumahnya yang seringkali tak mudah. Jalan menuju rumahnya memang selalu ramai kendaraan bermotor dan seringkali macet. Bising setiap waktu. Cuaca panas dan suara klakson mobil yang tak henti-hentinya membuat suasana tambah tak nyaman, bisa meningkatkan agresi. Kusabar-sabarkan hatiku, hingga akhirnya setelah perjuangan selama satu jam, kami sampai juga di rumahnya, di salah satu gang sempit tak jauh dari jalan besar menuju tol. Di teras aku melihat tiga orang adik si gadis remaja sedang duduk sambil bermain. Setelah menyapa mereka, aku duduk di satu-satunya kursi yang ada di situ. Adiknya yang satu tak jauh beda umurnya dari si gadis. Namanya Laila. Sedari tadi ia hanya mengamat-amati kuku-kuku tangannya sambil bernyanyi-nyanyi tak jelas.  Yang dua lagi adalah Rani dan Mona, masing-masing berumur 4 dan 3 tahun. Satu buah boneka serupa Barbie yang sudah kotor dan lusuh mereka perebutkan. Saling teriak, saling pukul, saling jambak, hingga tak lama kemudian terdengar suara tangisan. Laila berusaha melerai dengan menarik salah satunya masuk ke dalam rumah sambil membawa si Barbie. Aku hanya bisa tersenyum kecut melihatnya. Pemandangan ini sudah biasa kulihat sejak seminggu yang lalu aku datang ke rumah ini saban hari. Sejenak aku hanya menatap Rani yang kini duduk saja memandangi kancing bajunya yang hampir lepas. Lalu kuambil sesuatu dari tasku dan kutunjukkan padanya selembar kertas HVS folio dan sekotak crayon. Kemudian dengan gerak isyarat, aku ajak ia masuk ke dalam rumah. Ia tersenyum manis sekali lalu melompat-lompat girang mendahuluiku masuk, tak sabar menyambut kertas dan crayon dariku di dalam. Begitu masuk, aku pun menyapa Arjuna yang baru keluar dari kamar mandi dan Lika yang sedang sibuk melipat baju-baju sambil tubuhnya menyandar ke dinding. Raju baru saja datang dari luar sambil berlari-lari. Seperti biasa, ini kegiatan yang sangat menarik bagi mereka, si gadis dan adik-adiknya. Selain Laila, Rani dan Mona, adik-adik si gadis ada empat orang lagi. Dua orang laki-laki dan dua orang perempuan. Urutannya seperti ini; si gadis, Laila, Arjuna, Lika, Raju, Rani, Mona, dan si bayi Devi. Semuanya berjumlah delapan orang. Bila mereka semua berkumpul, maka seperti berdesak-desakanlah mereka di rumah ini. Semua gerak hidup mereka kala siang hari lebih banyak dilakukan di ruang seluas 3x4 meter di antara kamar tidur dan kamar mandi ini. Sebuah ruang yang agak gelap dan samar-samar berbau pesing pipis anak kecil. Tak ada perabot yang berarti selain sebuah meja yang menempel di salah satu dinding, yang di atasnya ada gelas-gelas dan piring-piring plastik bekas pakai. Juga lemari berukuran sedang di sisi dinding lainnya. Isi lemari itu macam-macam; gelas, piring, buku-buku tulis yang sudah tak berbentuk lagi dan agaknya hanya dijejal-jejalkan saja di situ. Ada juga beberapa helai baju dan sebotol dot susu, kaleng, dan entah apa lagi yang lainnya. Seperti lemari serba ada. Di samping lemari itu lah pintu ke kamar mandi dengan selubang sumur. Tak ada televisi. Tak ada radio tape. Tak ada perabot elektronik. Hanya beberapa foto lama yang tergantung di dinding dan banyak pakaian yang ditumpukkan saja di salah satu sudut ruang. Beberapa mainan rusak dan sudah pudar warnanya berserakan di lantai. Tak ada yang bisa mereka lakukan di rumah ini. Maka setiap kali aku membawa setumpuk kertas HVS folio dan dua kotak crayon dan pensil warna, mereka seperti laron-laron yang mengerubungi terang cahaya. Berebutan sambil berseru-seru kegirangan, mereka tak sabar menerima angsuran kertas-kertas itu dariku. Lalu masing-masing mengambil posisi nyamannya, tak jauh-jauh dari crayon atau pensil warna. Sambil menggambar mereka berceloteh riang. Bercerita tentang gambar yang mereka khayalkan. Sesekali mereka bertanya padaku. Hal-hal yang sederhana, bahkan sangat sederhana hingga berkali-kali aku terhenyak. Mereka bertanya tentang bagaimana rasanya es lilin, bagaimana gambar bintang, atau apa saja yang dipelajari di sekolah. Aku berpikir, tak tahukah mereka bagaimana dunia di luar sana? Kurasa dunia mereka hanya sebatas rumah ini sampai ujung jalan besar itu. Anak-anak yang pernah bersekolah seperti si gadis, Arjuna dan Lika sesekali berbangga pada adik-adik mereka tentang apa yang mereka tahu, juga masih seputar hal-hal yang sederhana. Lalu Arjuna, Lika, Rani dan Mona menunjukkan gambarnya padaku. Keningku sedikit berkerut. Tak jelas apa yang mereka gambar. Garis-garis dan lengkung-lengkung yang tak beraturan, warna-warna kontras. Setelah mereka terangkan, barulah aku tahu itu gambar anak sekolah, bunga, rumah, dan eskrim. Berkali-kali anak-anak itu meminta kertas baru, yang dengan segera kuberikan. Semua riang dan aku pun turut merasa riang, meski hatiku selalu saja miris. Kuperhatikan si gadis. Bertubuh kurus, kulit hitam manis, kasar dan penuh dengan bekas luka, entah luka apa. Wajahnya keturunan India; hidungnya mancung, bibirnya tipis, dengan sinar mata yang nyaris redup. Ia tampak tekun dengan gambarnya. Ini kertas gambarnya yang ketiga. Lagi-lagi kulihat berwarna cenderung gelap. Melihat wajahnya, aku selalu terbayang-bayang kisahnya. Beberapa bulan yang lalu, ia mengalami percobaan perkosaan oleh tetangganya sendiri. Meski tak sampai membuatnya hilang keperawanan, tapi peristiwa itu mampu membuatnya menjadi anak yang lebih pendiam dari biasanya. Tak banyak yang bisa dilakukan kedua orangtuanya selain melaporkannya ke polisi. Lalu akhirnya sampai ke sebuah LSM perlindungan anak. Dari LSM itulah aku mengetahui kasusnya ini. Kala itu lebih karena tak ada pilihan kasus lain dalam rangka tugas kuliahku. Waktu sudah mepet. Maka dengan bantuan temanku yang pekerja LSM itu, aku mendatangi rumahnya dan berkenalan dengan ibu mereka. Seorang ibu yang ramah, banyak bicaranya. Sering mengeluhkan suaminya yang hanya bekerja serabutan dan setiap hari mabuk. Karena setiap kali ia pulang ke rumah dalam keadaan mabuk, maka sedikit saja ada yang menyulut amarahnya, suaminya itu akan langsung bertindak kasar terhadap dirinya dan anak-anaknya. Lemparan barang, pukulan tangan atau gagang sapu adalah santapan mereka hampir setiap hari. Tak heran, anak-anak itu selalu mengerut ketakutan setiap kali ayah mereka pulang dan baru merasa bebas kala sang ayah pergi lagi pada saat hari menjelang siang. Sang ibu sendiri, makin hari kukenal ia, kulihat sudah hampir seperti gila. Ia tak bekerja. Yang bekerja adalah si gadis dan Laila, sebagai tukang cuci di rumah-rumah tetangga. Penghasilan yang  mereka dapat langsung disetorkan ke sang ibu. Mereka mengaku tak keberatan dengan pekerjaan itu, karena bagi mereka, itu untuk membantu keluarga mereka juga. Sementara sang ibu, tak ada hal lain yang dikerjakannya selain berhutang kesana kemari. Anak bayinya, Devi, sesekali turut dibawanya serta, seperti hari ini. Maka pada akhirnya, si gadis, Laila, Arjuna, dan Raju harus berhenti sekolah karena tak mampu lagi membayar biayanya. Tapi kurasa ini lebih karena memang tak ada dorongan dari ayah maupun ibunya agar mereka tetap sekolah karena saat ini sekolah dasar sudah gratis. Ayah mereka jarang memberi nafkah dan uang yang mereka hasilkan hanya cukup untuk makan sehari-hari, bahkan seringkali kurang dari tiga kali sehari. Sebenarnya ayah dan ibu mereka sudah hampir bercerai dan selama proses perceraian dengan alasan KDRT itu, anak-anaknya berada di bawah perlindungan LSM. Tapi entah mengapa, pada akhirnya sang ibu mencabut gugatannya dan mereka kembali bersatu sebagai sebuah keluarga yang menurutku sudah carut marut. Sampai hari ini, sang ibu masih dengan kebiasaannya pergi entah kemana untuk berhutang kesana kemari. Mungkin ia sering membawa Devi agar orang lain jatuh iba padanya. Si ayah juga tetap dengan kebiasaan mabuknya dan hampir setiap malam memukuli anak istrinya. Entahlah, aku merasa mereka mulai menikmati keadaan itu dan ini menular pada anak-anaknya. Mereka hidup hanya untuk hari ini saja. Kuperhatikan lagi si gadis. Entah bagaimana nasibnya dan adik-adiknya esok dan esoknya lagi. Hari sudah semakin sore dan aku akan pamit. Kami sudah selesai menggambar dan bercerita. Saat hendak melangkahkan kaki keluar rumah, kulihat si ibu baru saja datang dan menyapaku dengan senyumnya. Kata-katanya seringkali sama, sudah tak asing lagi di telingaku. "Dek, tolong ibu lah dek...ayah orang ini mabuk lagi di kede tuak itu. Geram kali aku liatnya. Mau kulaporkan lagi dia ke polisi. Tolonglah dek...sekali ini lagi. Besok-besok nggak kuminta laginya kayak gini. Udah kelewatan dia sekali ini dek...tolonglah dek...Nanti cuma ngantar kami aja ke kantor polisi, biar ditangkap polisi itu dulu dia. Biar tau rasa. Mau lah ya dek...ya? Mau ya?," Aku hanya menggeleng sambil tersenyum. Aku langkahkan saja kakiku ke luar. Kurasa cukuplah pengalamanku dua hari yang lalu. Saat aku cemas mencium aroma tuak di mobil yang kukendarai namun setibanya di kantor polisi tak ada tindakan aparat sama sekali. Hanya menasehati si ibu dan suaminya saja. Kurasa entah sudah kali yang ke berapa polisi itu mereka datangi dan setiap kali itu pula polisi yang sedang berjaga di sana sudah bosan dengan laporan-laporan si ibu hingga memilih mengabaikannya saja. *** >>  Keling: sebutan untuk warga keturunan India. Dalam perkembangannya, sebutan ini dianggap sebagai penghinaan bagi warga keturunan India. Pada komunitas Cina dan Malaysia, Keling divariasikan dalam berbagai kata dalam bahasa mereka  yang bertujuan untuk menghina dan mendiskriminasikan warga keturunan India. Lebih lengkapnya bisa dibaca di sini. Di Medan, ada suatu daerah di pusat kota yang dinamai "Kampung Keling" atau Kampung Madras.  Di kota ini, kata Keling juga sering dikaitkan dengan stereotip negatif; cakap keling atau janji keling, yang berarti ucapan yang hanya manis di mulut, janji yang lebih sering tidak ditepati. Tentu ini tidak bisa digeneralisasikan pada seluruh warga keturunan India yang tinggal di Medan. Kata Keling diambil sebagai judul hanya untuk mengambil definisi awalnya, yang merujuk pada warga keturunan India, tanpa intensi menyinggung SARA apapun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun