Mohon tunggu...
Annisa F Rangkuti
Annisa F Rangkuti Mohon Tunggu... Psikolog - 🧕

Penikmat hidup, tulisan, dan karya fotografi. https://www.annisarangkuti.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Senyum Wasegi

3 Mei 2010   04:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:27 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_131895" align="alignright" width="300" caption="sekedar ilustrasi (http://armany.web.id/assets/images/)"][/caption] Wasegi. Nama yang aneh. Aku tak pernah tahu apa makna nama itu diberikan orangtuanya padanya. Yang jelas, nama itu miliknya. Disandang oleh anak perempuan kurus, berkulit hitam -sayangnya tidak manis-, berambut keriting halus, bermata bulat, hidung tidak mancung dan bibir tebal. Satu kelebihan fisiknya dibandingkan aku dan kebanyakan anak-anak lainnya di sekolah itu adalah giginya yang berbaris rapi dan berwarna putih cemerlang. Seperti lampu yang menerangi gelap malam. Itu kata teman-temanku, dan aku hanya tersenyum saja. Senyum yang setengah mengiyakan dan setengah menaruh iba. Setengah jahat setengah baik. Masih lebih mending aku. Teman-temanku yang lain jahat semua padanya. Gadis kecil itu sering diejek, dihina, dicaci, dimaki dengan sebutan "keling", "bodoh" atau "jorok". "Keling" karena kulitnya yang hitam, "bodoh" karena dia tidak termasuk anak yang pintar, dan "jorok" karena kulit tubuhnya terlihat kasar dan ada cukup banyak bekas luka kecil di sana sini. Namun entah mengapa, Wasegi selalu saja tersenyum menanggapi itu semua. Benar-benar hanya tersenyum. Atau dia memang hanya bisa tersenyum tanpa kuasa untuk membalas? Senyumnya terkadang tulus, itu yang sering diperlihatkannya padaku. Mungkin dia tahu tatapan ibaku. Aku memang tak pernah sekalipun mengejeknya. Hanya kasihan, tapi aku tak mampu membelanya. Sering juga senyumnya hanya sekedar senyuman. Senyum untuk sekedar menguatkan hatinya di kala sorotan mata melecehkan dan kata-kata hinaan itu menyapanya. Rasanya bahasa verbal dan bahasa tubuhnya menyatu. Hanya itu. Tersenyum. Dia jarang berkata-kata. Itupun hanya ketika ditanya saja. Itu yang bisa kuingat, karena memang itu sudah lama sekali. Hampir dua puluh tahun yang lalu, saat aku masih SD. Tapi aku masih mengingat jelas nama dan wajahnya. Mungkin karena dia satu-satunya murid yang bernama unik di sekolah itu. Kurasa bukan cuma aku, tapi semua guru dan murid mengenalnya kala itu karena dia memang berbeda. Dia terkenal bukan karena kepintarannya, tapi lebih karena warna kulitnya yang lebih legam dari warna kulit murid lain yang termasuk ‘"hitam" sekalipun. Ada satu persamaanku dengan Wasegi -bukan karena kami sama-sama perempuan yang memakai rok kalau ke sekolah- aku dan dia sama-sama murid yang pendiam. Kami saling menyapa hanya lewat senyuman. Mungkin itu pula yang membuat kami bisa saling memahami. Ketika aku dan teman-temanku bertemu dengannya di gang kecil dekat sekolah itu, dia pun hanya melemparkan senyum sambil terus melangkah melewati kami. Aku menatapnya sampai jauh, tidak lagi mendengar bisik-bisik teman-temanku yang sesekali cekikikan membicarakannya. Dari situ, aku baru tahu rumahnya. Sebuah rumah yang sederhana, dekat dengan kemiskinan. Aku pun semakin iba. Tak tahukah mereka kalau anak itu sudah begitu menderita dengan segala macam penolakan dari lingkungannya? Bagai tak ada lagi yang bisa dibanggakannya selain senyumnya itu. Sebuah senyum pelipur lara. Setelah melewati rumahnya itu dan setelah beberapa tahun kemudian aku bersekolah di SD itu, aku tak ingat apakah dia bersekolah di situ sampai tamat atau tidak. Mungkin karena dia bukan anak pintar atau populer sehingga mudah diingat siapa saja yang ada di sekolah itu. Tapi kurasa nama, wajah dan senyumnya sudah merasuki alam bawah sadarku. Maka ketika hari ini aku terkenang masa SD-ku, kuingat kembali dia. Lama kemudian baru aku sadari, mungkin senyumnya itu yang menginspirasi. Selama ini, ketika aku dipandang sinis, ketika aku merasa diremehkan, ketika aku diejek, ketika aku mengalami penolakan, aku selalu berusaha untuk tersenyum. Tersenyum saja, maka semua hal buruk itu perlahan akan sirna dan berganti kelapangan hati untuk menerimanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun