Mohon tunggu...
Annisa F Rangkuti
Annisa F Rangkuti Mohon Tunggu... Psikolog - 🧕

Penikmat hidup, tulisan, dan karya fotografi. https://www.annisarangkuti.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Anak Anda "Hurried Child"?

17 Januari 2010   06:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:25 1181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Anda masih ingat dengan kisah Josh si "Hurried Child"?. Bila anda lupa atau belum membacanya, anda bisa klik kisahnya di sini. Ternyata apa yang dialami Josh adalah masalah yang saat ini banyak dijumpai di sekitar kita,  terutama di kota-kota besar. Di kota Medan sendiri saya sudah menemukan beberapa anak yang seperti Josh. Mereka semua memiliki kesamaan; dibebani oleh jadwal kegiatan yang padat untuk usia mereka yang masih tergolong usia prasekolah. Kegiatan yang mereka ikuti selain sekolah play group atau TK biasanya adalah les berbagai macam keterampilan; bahasa asing, melukis/mengambar, alat musik, balet, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan tambahan ini mereka ikuti hampir setiap hari sepulang sekolah. Sekolah yang dimaksud pun sudah mereka jalani sejak mereka masih berusia batita. Josh misalnya, sudah mengikuti play group sejak usianya baru menginjak 2 tahun. Anak yang lain bahkan ada yang sudah didaftarkan orangtuanya ke baby class saat usianya masih 1 tahun 6 bulan. Bila ditanya ke orangtuanya, biasanya alasan mereka seragam; berharap agar kemampuan intelektual dan sosialisasi anak lebih cepat berkembang, selain karena faktor ayah dan ibunya yang selalu sibuk bekerja sehingga dimasukkan lah si anak ke berbagai program pendidikan itu agar ia tidak merasa kesepian dan kurang perhatian di rumah. Sudah tepatkah tindakan para orangtua ini? Apa yang sebenarnya terjadi pada mereka? Pada zaman dimana arus teknologi dan komunikasi berkembang pesat dan maju seperti saat ini, orangtua dihadapkan pada beragam jenis informasi serta beragam metode komersial maupun non komersial yang menawarkan program-program untuk membantu proses tumbuh kembang anak. Arus perubahan di Indonesia khususnya, hampir selalu dipengaruhi dan mengikuti trend perubahan di negara-negara dimana Indonesia berkiblat, seperti Amerika Serikat. Contohnya adalah trend pendidikan inklusif dan pendidikan anak usia dini yang topiknya marak dan hangat beberapa tahun terakhir ini. Trend pendidikan anak usia dini ini mengalami perkembangan yang pesat di kota-kota besar di Indonesia. Banyak pendidikan prasekolah seperti baby class, play group maupun TK yang menjamur dan menawarkan kurikulum dan beragam fasilitas yang bertujuan untuk membantu mengoptimalkan kecerdasan anak. Anak-anak tidak hanya disekolahkan di play group atau TK, orangtua bahkan menambah kegiatan belajar anak dengan mengikutkannya dalam berbagai macam les tambahan sepulang belajar dari sekolah. Pola pengasuhan orangtua seperti ini dapat dikatakan sebagai pola pengasuhan yang menuntut (push parenting), yang bisa dilihat dan tampak dengan jelas melalui perilaku orangtua yang antara lain; mengatur nyaris setiap menit hidup anaknya dengan kursus-kursus, program sosialisasi, dan kegiatan "pengayaan" lainnya, menuntut prestasi tinggi di sekolah dan di berbagai bidang lain nyaris dengan segala cara, menekan anak untuk memilih kursus atau pelatihan keterampilan yang tujuannya lebih untuk membuat daftar riwayat hidup yang mengesankan daripada untuk memenuhi rasa ingin tahu yang alamiah dan minat pribadi anak. Kenyataannya, anak-anak usia dini yang dimasukkan ke dalam berbagai program akademik akhirnya kehilangan berbagai kesempatan yang seharusnya bisa mereka peroleh dari pergaulan mereka dengan teman-teman sebayanya. Orangtua menganggap kegiatan dengan bimbingan orang dewasa adalah cara yang lebih baik daripada anak-anak mereka hanya bermain-main saja. Kegiatan bermain tidak lagi dilihat sebagai hal yang berguna bagi perkembangan anak, padahal anak-anak menampilkan kemampuan terbaiknya ketika mereka bermain karena pada saat itu tidak ada ekspektasi apapun terhadap anak. Anak-anak yang seperti ini tidak lagi memperoleh kesempatan untuk menguji gagasan-gagasan mereka, menggali dan bereksperimen karena mereka selalu terbentur dengan jadwal dan ekspektasi yang dibuat oleh orang dewasa. Ada beberapa alasan orang tua melakukan ini: Pertama, alasan ekonomi. Pada era globalisasi seperti saat ini, keamanan finansial semakin sulit diperoleh. Setiap orang di zaman ini harus bekerja keras untuk mencapai standar hidup tertentu yang dianggap sukses oleh masyarakat, oleh karena itu orang tua menempatkan ketahanan ekonomi sebagai alasan utama dalam membina anak-anak mereka. Harapan mereka adalah suatu saat nanti anak-anak mereka akan mendapatkan pekerjaan layak yang mampu memenuhi segala kebutuhan hidup mereka, sehingga para orang tua menyediakan segala sesuatunya untuk anak-anak mereka sebagai respon terhadap pertimbangan keamanan dan terhadap kurangnya waktu yang mereka sediakan untuk memantau perkembangan anak-anak mereka di rumah. Para orangtua ini juga tampak terobsesi dengan kesempatan untuk pengembangan diri. Mereka merasa jika mereka tidak mengikutsertakan anak-anaknya dalam berbagai kegiatan yang mereka rasa bermanfaat di kemudian hari, mereka akan merasa terlambat untuk mengoptimalkan potensi anak-anaknya. Kedua, orang tua masa kini cenderung memiliki anak yang lebih sedikit pada usia mereka yang sudah sangat dewasa. Pasangan menikah saat ini cenderung berusia lebih tua ketika mereka memiliki anak dan dengan jumlah anak yang sedikit, sehingga para orang tua ini menempatkan ekspektasi yang tinggi terhadap anak-anak mereka. Di samping itu ada semacam perasaan bahwa orang tua belum dapat dikatakan sebagai orang tua yang baik sebelum melibatkan anak mereka dalam berbagai macam kegiatan, sehingga kemudian menetapkan standar keberhasilan yang seringkali tinggi bagi anak mereka.

Gejala mempercepat perkembangan anak yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan usianya ini disebut dengan hurried child. Istilah ini dicetuskan oleh seorang psikolog dari Amerika Serikat, David Elkind, dalam bukunya yang berjudul "Hurried Child, Growing Up Too Fast Too Soon". Ia mendefinisikan hurried child sebagai suatu gejala baru yang dialami para orang tua masa kini yang melibatkan anak-anak mereka dalam berbagai macam kegiatan ekstrakurikuler, yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan akademik, sosial budaya, fisik, maupun psikologis anak-anak mereka. Sindrom hurried child terjadi ketika orang tua terlalu memaksakan keinginan dan harapannya pada anak. Para orang tua ini mencoba untuk mengakselerasi kemampuan dan keterampilan anak mereka pada usia dini. Tidak hanya orang tua, media juga berperan besar dalam percepatan perkembangan anak yang tidak sewajarnya. Melalui media, anak dan remaja dihadapkan pada model yang telah matang secara emosional dan intelektual, yang akhirnya membuat mereka berperilaku lebih matang pula, tidak sesuai dengan tahap perkembangan usia mereka. Kenyataannya adalah segi intelektual dan emosional tidak bisa dipercepat perkembangannya karena kedua hal itu berkembang sesuai tahap perkembangan yang berkaitan dengan usia. Akibat yang paling jelas dari sindrom ini adalah anak-anak tersebut tidak bisa menikmati kehidupannya sebagai anak-anak, karena orangtua mereka menempatkan tuntutan yang tidak realistis terhadap diri mereka. Anak-anak ini seringkali terlihat berperilaku hiperaktif, agresif secara verbal maupun fisik (melawan, berbicara kasar, berkelahi dengan teman) atau sebaliknya, berperilaku pasif; pendiam, terlihat tidak banyak bergaul dengan teman-temannya. Selain itu, anak-anak ini dapat juga mengalami burnout (kejenuhan)karena terlalu banyaknya tugas-tugas sekolah maupun kegiatan luar sekolah yang harus diikuti, sehingga menyebabkan berkurangnya waktu untuk bermain dan istirahat. Sebagai dampak jangka panjangnya, apabila anak didorong terlalu keras dan terlalu dini, dapat menyebabkan anak mengalami berbagai macam gangguan psikologis, seperti kecemasan, gangguan atensi dan hiperaktivitas/Attention Deficit and Hyperactivity Disorder (ADHD), bahkan depresi. Sehingga ada baiknya, sebelum buru-buru memasukkan anak-anak kita ke berbagai macam kegiatan yang mungkin tidak perlu atau tidak disukainya, kita bertanya dari hati ke hati pada mereka sambil memandang wajah mereka yang polos, lucu dan menggemaskan, "Nak, apakah kamu bahagia?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun