Semuanya tentang memberi...
Semuanya tentang matahari yang tak henti memancarkan sinarnya...
Semuanya tentang air yang terus mengalir meski ada aral melintang...
Semuanya tentang cinta pada Allah, cinta pada diri, dan cinta pada kehidupan...
Jika dirimu cinta pada Sang Maha, maka berilah, sisihkan waktumu barang sejenak untuk mengingat dan bersyukur padaNya...
Jika engkau cinta pada dirimu, maka berilah, sisihkan waktu, pikiran, tenaga, dan hartamu untuk berbuat lebih banyak bagi sesama...
Jika dirimu cinta pada kehidupan, maka sekali lagi; berilah!
Karena memberi itu mulia...
Berilah apa saja "milik"mu ; hartamu, jiwamu, pikiranmu, tenagamu, waktumu, cinta dan kasih sayangmu bagi siapa dan apa saja yang ada di muka bumi ini...
Berilah...dan berilah...
Karena matahari takkan pernah redup karena memberi cahayanya...
Air takkan pernah berhenti mengalir selama masih ada lembah...
Dan hidup takkan pernah usai untuk dirimu karena pemberian ikhlasmu akan senantiasa membekas di hati dan benak yang tahu akan ketulusanmu...
Maka berilah...berilah...berilah...
Dan sambutlah cinta dari alam semesta...
Pagi itu, Rabu, 12 Desember 2007. Aku sedang sibuk mengetik laporan kasus terakhirku. Siang itu aku harus sudah menyerahkannya ke dosen. Hampir selesai pada pukul 8 tepat, ketika tiba-tiba Rani mengirim sms, "Nisa, kasusmu udah siap? Kemaren Bu Nay marah lo karna katanya kasusmu belum dikumpul. Cepetan kumpul hari ini." Keningku berkerut. Kasus yang mana? Bukannya kasus yang dibimbing dosenku, Bu Nay, sudah kukumpul pada Bu Lis hari Sabtu kemarin? Aku penasaran. Kubalas sms Rani, "Kasus yang mana? Aku udah kumpul ke Bu Lis kok hari Sabtu kemaren. Kok ibu itu marah-marah? Gimana sih?" Aku protes ke Rani. Rani lalu membalas, "O gitu. Mending kamu bilang aja ke Bu Nay kalo kamu udah kumpul, bilang hari dan tanggalnya." Dalam hati, aku masih protes. Tapi aku menghubungi Bu Nay juga lewat sms (khawatir mengganggunya kalau menelepon) bahkan meminta maaf (padahal aku tidak tahu siapa yang salah. Yah, terima saja. Simak lagi pasal senioritas; senior, yang dalam hal ini dosen, tidak pernah salah) atas keterlambatanku melaporkan pada beliau kalau aku sudah menyerahkan kasusku pada Bu Lis. Tak lama kemudian Rani meneleponku untuk membicarakan masalah kasusku itu. Ternyata Bu Nay kemarin marah-marah dan menumpahkan kekesalannya pada teman-teman yang sedang bimbingan kasus pada hari itu. Masalahku yang jadi topik utama. Kata beliau kasusku sudah selesai dibimbingnya 2 minggu sebelumnya dan ia sedemikian marahnya karena aku belum mengumpulkannya juga -sumpah ya, padahal beliau meng-acc kasusku baru beberapa hari sebelumnya. Kalau aku tidak cepat mengumpulkan berarti beliau yang kena tegur Bu Lis sebagai koordinator kekhususan klinis anak. Nah, persoalan tegur menegur ini yang tampaknya jadi alasan. Selain itu ada lagi berita yang mengejutkanku. Katanya kasusku akan digugurkan atau setidak-tidaknya dikurangi nilainya bila aku belum mengumpulkan secepatnya. "Hah? Kasusku mau diaborsi? Hey, what's on?" Aku bingung. Dari pembicaraan dengan Rani aku lalu berkesimpulan bahwa itu adalah kesalahan Bu Lis, yang belum menyerahkan kasusku ke bagian administrasi program pascasarjana kampus. Ternyata Bu Nay kemarin melakukan pendataan dan ditemukanlah bahwa kasusku yang dibimbing beliau belum masuk daftar administrasi. Ya..ya..aku bisa mengerti. Oke, sebagai mahasiswi yang adil dan beradab aku berniat menghadap Bu Nay siang ini dan akan mengklarifikasi duduk persoalannya. Saat aku mau berangkat dari rumah, aku ditelepon Shila. Dia juga mengabarkan tentang Bu Nay yang sempat angot kemarin. Dia mengkhawatirkan kasusku yang ia dengar akan dikenai sanksi. Aku lalu menjelaskan masalah sebenarnya dan berterima kasih karena sudah mengkhawatirkanku. Tapi aku jadi bingung lagi. Memang sebegitu hebohnya yang kemarin itu? Ketika dalam perjalanan menuju kampus, aku ditelepon Elsi. Dia juga menyampaikan rasa prihatinnya atas tragedi kasusku yang sebenarnya belum jelas itu. Lagi-lagi aku menjelaskan masalah sebenarnya dan berterima kasih karena dia sudah peduli padaku, dan lagi-lagi aku bertanya-tanya tentang bagaimana sebenarnya kejadian kemarin itu. Tapi diam-diam, aku merasa menjadi seleb... :D Selesai bimbingan kasus terakhirku, aku lalu ke Gramedia. Di perjalanan, aku mendapat balasan sms dari Bu Nay yang isinya, "Ga apa-apa tuh laporannya. Ga usah khawatir." Yah, alhamdulillah...ternyata memang benar dugaanku, Bu Nay kemarin hanya sedang stres karena dihadang sejumlah bimbingan kasus sementara deadline-nya sudah dekat. Di Gramedia, satu lagi temanku, Mirna, menelepon dan menanyakan insiden kasusku itu. Lagi-lagi aku menjelaskan masalah sebenarnya dan berterima kasih karena dia sudah turut prihatin akan hal itu. Ternyata Mirna ada di Biro Psikologi Bu Nay. Aku langsung menuju ke sana karena bagaimanapun aku tetap harus menjelaskan permasalahannya pada Bu Nay. Tiba di sana, aku menemukan Mirna dan beberapa temanku yang akan bimbingan. Aku menunggu Bu Nay di luar ruangannya. Saat akhirnya Bu Nay keluar, aku melihat rona wajahnya yang muram dan tampak letih. Aku langsung meminta maaf atas kesalahpahaman tentang kasusku itu. Ia hanya tersenyum tipis dan berkata, "nggak apa-apa," lalu masuk kembali ke ruangannya untuk bimbingan berikutnya. Hah? Apakah semudah dan secepat itu? Aku masih terpelongo di depan pintu ruangannya yang tertutup. Aneh sekali hari ini. Deskripsi teman-temanku tentang kejadian kemarin sepertinya begitu dahsyat, namun ternyata dapat selesai begitu saja dalam hitungan detik. Tapi sebenarnya bukan itu yang kutangkap maknanya. Yang kupelajari hari itu adalah tentang kepedulian teman-temanku atas hal yang menimpaku. Teman-temanku, yang notabene kurang peduli pada temannya sendiri dan cenderung egois selama menjalani perkuliahan yang telah berlalu satu setengah semester ini, ternyata adalah teman-teman yang sebenarnya begitu baik dan peduli. Aku lalu mengurai ke belakang, tentang apa yang sebenarnya telah kuberikan pada mereka, khususnya keempat temanku itu, hingga mereka pada hari itu sedemikian khawatirnya akan kejadian yang menimpaku. Bukannya bermaksud mengungkit kebaikan diri sendiri, tapi memanglah...orang yang berbuat baik selalu akan mendapatkan balasan kebaikan pula pada saat yang tak terduga. Mungkin aku pernah membantu mereka di kala sulit mereka, meski hanya sekedar mendengar keluh kesah mereka atau memberi support berupa kata-kata semangat yang disampaikan tak lebih dari 5 menit. Kurasa itu saja. Tapi itu pula yang kuperoleh. Di kala aku hampir dihadang masalah, mereka juga bersedia membantuku atau sekedar memberi support dan mendengar keluh kesahku. Aku hanya tak menyangka kalau mereka yang peduli, padahal mereka bisa kuanggap bukan teman dekatku di kampus. Tapi terbukti bahwa melalui mereka aku belajar lagi tentang satu hal; jangan pernah meremehkan kebaikan, sekecil apapun. Berilah, berilah, dan berilah...karena suatu saat kita akan menuai hasilnya dari arah yang tak terduga. Untuk itu aku meminjam istilah "Bank Emosi" dari Daniel Goleman, penulis Emotional Intelligence itu, bahwa kebaikan tulus yang kita tanam pada hati sanubari orang lain akan membuahkan kebaikan tulus yang berlipat ganda. Seperti sebuah bank konvensional, semakin banyak kebaikan yang kita simpan di hati mereka, maka akan semakin banyak pula kebaikan yang akan kita dapatkan bila suatu saat kita membutuhkannya. Yah...yang penting berusaha ikhlas sajalah... :) >> Semua nama di cerita ini (kecuali namaku...) sudah disamarkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H