Wah! Saya langsung excited. Umak pasti sedang membuat Itak! Iya, Itak Poul-poul, kue khas Mandailing yang dibuat dari adonan tepung beras, parutan kelapa, irisan gula merah, plus sedikit gula putih dan garam. Sudah lama saya kangen makanan ini. Biasanya kue ini ada di acara-acara adat semacam acara pernikahan, memasuki rumah baru atau "pamijur danak", acara turun tanah untuk bayi di budaya Mandailing.
Sesuai namanya, Itak, yang berarti tepung beras, memang dicetak dengan cara digenggam atau dikepal dengan tangan (poul-poul). Entahlah apa arti sebenarnya dari mencetak kue dengan cara dikepal ini. Alasan praktis? Boleh jadi. Kalau saya tanya Umak saya, itu lebih sebagai simbol salam, jabat erat tangan yang merupakan simbol keakraban hubungan antar keluarga. Karenanya, di zaman dulu Itak Poul-poul ini tak hanya ada di acara-acara adat, tapi juga hadir di keseharian untuk menyambut tamu (khusus) yang datang ke rumah.
Menurut sejarahnya, (Itak) Pohul-pohul sering menjadi buah tangan bagi pihak keluarga yang datang berkunjung dalam rangka pembicaraan adat, misalnya, membicarakan rencana perkawinan putra dan putri kedua belah pihak. Tentu saja Pohul-pohul yang bentuknya mengikuti siluet kepalan tangan , yakni bekas jari-jari yang membentuk Pohul-pohul tersebut sehingga tepung beras sebagai bahan utamanya menjadi padat dan saling mengisi, merupakan perlambang dari bagaimana pembicaraan adat di antara kedua belah pihak (paranak dan parboru) berlangsung. Dalam proses yang diwarnai oleh dialog dan negosiasi tersebut, adakalanya terjadi saling lempar perkataan yang menusuk atau menyinggung perasaan. Namun seperti pada Pohul-pohul di mana tepung saling mengisi dan saling memadatkan diri, kiranya diharapkan demikianlah perkataan-perkataan yang bersiliweran dalam pembicaraan adat, saling mengisi dan saling memadatkan dengan tiada lain tujuannya adalah untuk menyempurnakan hajatan adat yang sedang dipersiapkan. (bisa dibaca di sini).
Versi apapun tentang alasan dibuatnya kue Itak ini, tentulah dengan tujuan baik. Namun entah kenapa, warisan kuliner yang satu ini semakin hari semakin jarang ditemukan di pasar-pasar tradisional di daerah Mandailing. Lebih sering, makanan ini dibuat sendiri dan tidak untuk dijual.
Sebenarnya cara membuatnya mudah saja (meski saya belum pernah membuatnya sendiri, hanya mengandalkan kepalan tangan Umak. Hehe...) Bahan utamanya adalah tepung beras yang berasal dari beras yang digiling di penggilingan atau ditumbuk dengan alu. Lalu ada kelapa parut, irisan gula merah, sedikit gula putih dan garam, yang kesemua takarannya cukup dikira-kira saja. Sambil mengadon, Anda bisa mencicip sedikit-sedikit untuk memastikan ketepatan rasanya. Setelah dirasa pas, adonan itu lalu dibentuk sedikit demi sedikit dengan kepalan tangan. Segenggam demi segenggam. Sekepal demi sekepal. Kalau mau makan yang mentahnya saja, silakan makan langsung dari adonan yang baru dikepal tadi. Atau ambil adonannya, kepal dan nikmati sendiri. Hehe... Makanya mungkin bagi sebagian orang, bisa muncul perasaan kurang bersih kalau memakan langsung adonan mentah yang dicetak oleh tangan orang lain sehingga lebih memilih yang dikukus saja.
Bagi Anda yang penasaran soal rasanya, bisa langsung mencoba resep singkat di atas. Dengan mencoba membuat kue kepal ini, berarti Anda sudah ikut melestarikan salah satu kekayaan warisan kuliner nusantara. Kalau bukan kita, siapa lagi? Yuk, dicoba! :-)
***
Postingan ini diikutsertakan dalam Kampret Jebul 3. Untuk melihat postingan lainnya, sila klik di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H