[caption id="attachment_337144" align="aligncenter" width="346" caption="(dok. AFR)"][/caption]
SAYA belum selesai membaca buku ini ketika mulai terasa ada benang merah antara buku yang sedang saya baca ini dengan sebuah buku yang pernah saya baca beberapa belas tahun yang lalu. Totto Chan, Gadis Cilik di Jendela, karangan Tetsuko Kuroyanagi yang ber-setting Jepang, tiba-tiba menjelma menjadi kisah nyata dengan setting Indonesia lewat sub bab- sub bab yang ada di bagian pertama buku yang berjudul Oase Pendidikan di Indonesia, Kisah Inspiratif Para Pendidik. Senang sekali ketika membacanya.
Bagian pertama yang bertajuk "Pembelajaran yang Memerdekakan" itu berisi kisah-kisah para pendidik yang bertahan dan terus berjuang dengan idealismenya tentang pendidikan karakter yang seharusnya diajarkan pada anak-anak sejak usia dini. Anak-anak diajarkan tentang arti kejujuran, empati, solidaritas, rasa tanggung jawab, dan kemampuan menemukan solusi permasalahan dengan diajak berdialog dari hati ke hati. Pengalaman hidup sehari-hari pun menjadi penting, dan menjadi sarana belajar yang berharga, yang darinya diperoleh nilai-nilai dan prinsip-prinsip tentang kehidupan yang sarat makna. Para pendidik yang dikisahkan dalam bab ini mencoba menginternalisasikan nilai-nilai positif kehidupan yang bersifat abstrak itu lewat bahasa dan cara-cara yang sederhana. Setidaknya itu yang saya tangkap ketika membaca sub bab pertamanya; "Belajar dari Gentong dan Celengan".
Tempat belajar tak terbatas ruang dan waktu. Alam dan seisinya menjadi buku untuk mengeksplorasi mahakarya Sang Pencipta. Tak hanya di kelas, tapi juga di luar kelas. Anak-anak yang menjadi murid Sekolah Anak Alam yang berlokasi di Bantul, D.I Yogyakarta itu bebas mengekspresikan dirinya dengan caranya masing-masing. Mata pelajaran tak terbatas kurikulum yang padat dan berat. Guru-guru telah menjadi sahabat tempat bertukar pikiran dan tempat bertanya apa saja yang ingin mereka tahu. Anak-anak bisa menjalani hari-harinya di sekolah dengan bahagia, tanpa merasa tertekan dengan kewajiban ini itu layaknya sekolah formal pada umumnya. Mereka belajar kapan saja mereka mau dan belajar apa saja yang mereka ingin tahu. Ah, anak-anak mana yang tidak suka dengan metode pembelajaran seperti itu?
Begitupun murid-murid di SD Hikmah Teladan, Cimahi, Jawa Barat. Prinsip sekolah yang memerdekakan anak, yang diwujudkan dengan membebaskan anak menjadi dirinya sendiri, sungguh menjadi tantangan tersendiri bagi para guru. Materi tak selalu taat kurikulum. Anak-anak normal dan berkebutuhan khusus yang menjadi murid di sekolah itu bebas mengekspresikan dirinya. Tak ada paksaan bagi mereka untuk belajar hingga mereka siap secara psikologis.
Guru-guru yang menjadi pendamping dan pembimbing anak-anak di dua sekolah itu pastilah luar biasa. Rasa lelah dan kepentingan pribadinya mungkin sudah tak lagi dihiraukan demi sebuah cita-cita menjadikan murid-muridnya sebagai generasi penerus yang tak hanya cerdas akal, tapi juga luhur budi.
Tak mudah, sungguh tak mudah berjalan melawan arus. Ketika sekolah-sekolah formal lain berlomba-lomba unjuk keunggulan dengan program-program pendidikannya yang mentereng dan lebih berorientasi kognitif, sekolah-sekolah alam yang sering kali dianggap sebagai sekolah non formal dan masih dilihat sebelah mata oleh pemerintah ini memilih jalannya sendiri untuk ambil bagian dalam proses mencerdaskan bangsa. Mereka memilih metode pendidikan yang mengikuti perkembangan alamiah anak. Tak memaksakan anak harus bisa membaca sebelum ia siap dan mampu untuk membaca. Tak memaksa anak untuk mengikuti tuntutan kurikulum yang seperti dikejar setoran. Hanya ada apresiasi setiap hal positif yang dilakukan anak, sekecil apapun, sehingga tumbuh rasa percaya dirinya.
Melihat semua anak sebagai individu yang unik, dengan bakat dan minatnya masing-masing serta membiarkan mereka berekspresi, bereksplorasi, dan berkreasi sesuai bakat dan minatnya itu. Tak ada pembatasan yang mengekang kecerdasan alamiah mereka. Tak ada kompetisi sengit untuk memperebutkan gelar juara, sehingga mengikis rasa empati dan kesetiakawanan yang sejatinya tumbuh alami dalam diri setiap anak. Tak ada tuntutan pekerjaan rumah yang membebani dan merampas waktu bermain mereka. Bahkan, mereka sejatinya bermain dalam belajarnya, karena proses belajar itu dilakukan dengan cara yang aplikatif dan menyenangkan.
Ya, metode pembelajaran aplikatif sejatinya menjadi metode dasar pembelajaran, mulai dari tingkat pendidikan anak usia dini sampai universitas. Proses transfer ilmu tentulah akan lebih mudah dilakukan bila dilakukan sambil menonton video misalnya, atau membuat fragmen cerita yang berkisah tentang topik pelajaran yang ingin dibahas. Seperti yang dilakukan Retno Listyarti, seorang guru Pendidikan Kewarganegaraan yang mengajar di SMA Negeri 13 Jakarta. Ia memilih medium pembelajaran tentang konflik dengan sengaja menciptakan konflik di kelas. Para siswa yang ada di kelas ikut terlibat dan merasakan konflik tersebut, sehingga lebih mudah baginya untuk menanamkan pemahaman tentang konflik pada para siswa, tak hanya berupa definisi dan berlembar-lembar teori membosankan yang pada akhirnya menguap dari ingatan.
[caption id="attachment_337139" align="aligncenter" width="560" caption=" "Komitmen adalah Wujud Nyata Kesetiaan pada Perubahan" -Ibe Karyanto, salah satu penulis buku Oase Pendidikan di Indonesia- (dok. AFR)"]
Metode pembelajaran serupa juga diterapkan Bambang Wisudo, guru di Sekolah Otonom Sanggar Akar, Jakarta Timur, saat ingin mengajarkan Bahasa Inggris. Tak hanya menggunakan medium video, tapi juga lewat bernyanyi karaoke, menulis surat, untuk memperkaya kosa kata dan memperlancar pelafalan bahasa Inggris para peserta didiknya. Metode itu menjadi landasan melesatnya kemampuan berbahasa Inggris anak didiknya, khususnya Sutri. Terbukti, Sutri yang difabel, yang dibesarkan dalam keluarga dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, yang sempat jadi anak minder, menjadi jago berbahasa Inggris. Ia bahkan telah mampu menulis puisi dalam bahasa Inggris. Kemampuannya dalam berbahasa Inggris lambat laun telah membuka cakrawala mimpinya tentang masa depan yang gemilang. Terkesan dengan metode pembelajaran di Sanggar Akar hingga menjadikannya pribadi baru yang berhasil menggali potensi diri, ia sampai menuliskan kalimat indah dan inspiratif ini dalam buku "Dari Akar Kami Tumbuh";