Mohon tunggu...
Annisa Eka Salsabila
Annisa Eka Salsabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Revitalisasi Kota Tua Jakarta: Penggusuran dan Dampaknya terhadap Seniman Lokal dan Komunitas Budaya

9 Juni 2024   19:00 Diperbarui: 9 Juni 2024   19:07 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kota Tua Jakarta merupakan sebuah kawasan yang kaya dengan sejarah dan warisan budaya, telah menjadi pusat perhatian proyek revitalisasi yang bertujuan mengembalikan kejayaan masa lalu serta meningkatkan daya tarik wisata. Karena daya tarik tersebut, maka pemerintah melakukan revitalisasi dengan tujuan memperbaiki infrastruktur, memperindah lingkungan, dan meningkatkan daya tarik kawasan tersebut sebagai destinasi wisata budaya (Wahyu Prakosa, 2011). Dalam prosesnya, Pemerintah DKI Jakarta, bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan, berupaya menghidupkan kembali bangunan-bangunan bersejarah serta menciptakan ruang publik yang lebih menarik dan nyaman. Namun, adanya revitalisasi tersebut menyebabkan penggusuran seniman lokal dan komunitas budaya yang telah lama tinggal di kawasan tersebut. 

Banyak seniman lokal dan komunitas budaya yang telah lama menetap di kawasan ini mengalami penggusuran yang memaksa mereka keluar dari tempat tinggal dan ruang berkarya mereka. Seniman lokal adalah bagian tak terpisahkan dari ekosistem budaya Kota Tua. Mereka berkontribusi besar tidak hanya dalam hal kreativitas, tetapi juga dalam menjaga warisan budaya dengan menjalankan berbagai praktik seni tradisional dan kontemporer. Penggusuran ini mengakibatkan dampak serius pada beberapa aspek, diantaranya : Pertama, seniman lokal banyak yang kehilangan ruang studio, galeri, dan tempat berkarya yang telah mereka gunakan selama bertahun-tahun. Kehilangan ini mempengaruhi produktivitas serta keberlanjutan karya seni mereka, karena mencari tempat baru yang memadai sering kali sulit dan mahal. Kedua, komunitas seniman yang telah terbentuk selama bertahun-tahun mengalami disintegrasi. Kehilangan tempat berkumpul dan berkolaborasi merusak jaringan sosial dan profesional yang sangat penting bagi perkembangan seni dan budaya di kawasan tersebut. Ketiga, seniman lokal sering kali sangat terikat dengan tradisi dan budaya setempat. Penggusuran mereka berarti hilangnya elemen-elemen budaya yang menjadikan Kota Tua unik dan berkarakter. Tanpa kehadiran seniman lokal, Kota Tua berisiko kehilangan identitasnya yang khas. Keempat, melibatkan seniman lokal dan komunitas budaya dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek revitalisasi adalah langkah penting. Partisipasi ini memastikan bahwa kebutuhan dan kepentingan mereka diperhatikan, sehingga revitalisasi dapat dilakukan tanpa mengorbankan keberadaan mereka. Kelima, penggusuran menyebabkan pergeseran sosial, di mana komunitas yang telah lama tinggal harus mencari tempat baru, sering kali dengan kondisi yang kurang mendukung kegiatan budaya mereka. Hal ini menimbulkan masalah sosial dan ekonomi bagi komunitas tersebut, yang sering kali kehilangan akses ke sumber daya dan jaringan yang telah mereka bangun selama ini.

Untuk memahami dampak revitalisasi kota tua dapat dianalisis menggunakan perspektif Raymond Williams. Raymond Williams berpendapat bahwa budaya tidak hanya merupakan produk estetis, tetapi juga praktik kehidupan sehari-hari yang mencerminkan dan membentuk pengalaman kolektif suatu komunitas. Dalam konteks Kota Tua Jakarta, seniman lokal dan komunitas budaya telah memainkan peran penting dalam menjaga dan mengembangkan warisan budaya kawasan ini. Penggusuran mereka menghilangkan elemen-elemen budaya yang hidup dan organik, yang telah terbentuk melalui interaksi sosial dan aktivitas sehari-hari. Proyek revitalisasi, yang sering kali lebih berfokus pada aspek fisik dan estetika bangunan, mengabaikan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kehidupan komunitas setempat. Williams juga menyoroti konsep "struktur perasaan," yang menggambarkan bagaimana kelompok masyarakat tertentu merasakan dan memahami dunia di sekitar mereka melalui budaya (Williams R, 1958). Penggusuran seniman lokal dan komunitas budaya di Kota Tua Jakarta mengganggu struktur perasaan ini, karena memisahkan mereka dari lingkungan yang telah menjadi bagian integral dari identitas dan kehidupan mereka. Hilangnya tempat-tempat berkarya dan ruang sosial tempat mereka berinteraksi tidak hanya berdampak pada individu yang digusur, tetapi juga merusak jaringan sosial dan ikatan komunitas yang telah terjalin kuat selama bertahun-tahun. Selain itu, Williams menekankan pentingnya memahami budaya sebagai proses yang terus berkembang, bukan sebagai sesuatu yang statis. Proyek revitalisasi yang tidak melibatkan komunitas setempat cenderung memperlakukan budaya sebagai objek yang dapat dipindahkan atau diatur ulang sesuai dengan visi pengembang. Ini mengabaikan kenyataan bahwa budaya berkembang dari bawah, melalui partisipasi aktif dan kontribusi dari mereka yang hidup dalam lingkungan tersebut. Dengan menggusur seniman lokal dan komunitas budaya, proyek revitalisasi menghambat perkembangan budaya yang autentik dan berkelanjutan. Dalam perspektif Williams, setiap proyek perubahan sosial atau pembangunan harus mempertimbangkan dampaknya terhadap praktik budaya yang ada. Revitalisasi Kota Tua Jakarta seharusnya mengintegrasikan kebutuhan dan aspirasi komunitas lokal dalam rencana pengembangannya. Ini dapat dilakukan melalui konsultasi yang melibatkan seniman dan penduduk setempat dalam proses pengambilan keputusan, serta menciptakan ruang kreatif yang inklusif di mana mereka dapat terus berkarya dan berinteraksi. Hanya dengan pendekatan yang inklusif dan berkelanjutan, revitalisasi dapat mencapai tujuan utamanya tanpa mengorbankan warisan budaya yang tak ternilai harganya.

Kesimpulannya, revitalisasi Kota Tua Jakarta yang bertujuan memperbaiki infrastruktur dan meningkatkan daya tarik wisata berisiko mengorbankan seniman lokal dan komunitas budaya setempat. Penggusuran mereka mengakibatkan hilangnya ruang berkarya, disintegrasi komunitas, dan pergeseran sosial yang merusak jaringan sosial serta identitas budaya kawasan tersebut. Perspektif Raymond Williams menekankan pentingnya melibatkan komunitas lokal dalam proyek revitalisasi untuk menjaga praktik budaya yang autentik dan berkelanjutan. Pendekatan inklusif dan partisipatif diperlukan agar revitalisasi tidak hanya berfokus pada aspek fisik, tetapi juga mempertahankan nilai-nilai budaya yang hidup dan organik di Kota Tua Jakarta.

Firdaus, F., Purwantiasning, A. W., & Prayogi, L. (2018). Revitalisasi kawasan Kota Tua Jakarta dengan alternatif konsep TOD. PURWARUPA Jurnal Arsitektur, 2(1), 35-44.

Rahman, A. (2015). Revitalisasi Kawasan Kota Tua Jakarta Sebagai Upaya Mengembalikan Identitas Kota. Prosiding PESAT, 6.

Febriza, C. A. Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)(Studi Atas Dampak Revitalisasi Kota Tua, Jakarta Barat) (Bachelor's thesis, Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta).

Cahyo, P. S. N. (2017). Cultural Studies: Perlintasan paradigmatik dalam ilmu sosial. KOMUNIKATIF: Jurnal Ilmiah Komunikasi, 3(1), 19-35.

Williams, R. (1958). Culture and society: 1780-1950. Chatto & Windus.

Sumardiar, dkk. (2020). Sosiologi Perkotaan. Literacy Institute.

Kartono, D T (2019). Sosiologi Perkotaan : Edisi 3. Universitas Terbuka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun