Anak sulung adalah anak pertama, atau anak tertua di dalam sebuah keluarga. Anak sulung biasa dikenal dengan experimental child, karena biasanya orang tua belum terlalu paham bagaimana cara mendidik dan membimbing seorang anak dengan baik. Tak hanya itu, anak pertama cenderung menyita perhatian orang tua, sebab kelahirannya paling dinanti setelah adanya pernikahan. Anak pertama juga diberkahi dengan kasih sayang yang melimpah dari orang tuanya.Â
Namun seiring berjalannya waktu, posisi anak sulung pasti akan terganti dengan kelahiran saudaranya kelak. Disaat itu pula lah kasih sayang orang tua mulai terbagi. Dan dari sana juga rasa iri terkadang meradang pada diri si sulung.
Anak sulung kerap kali disebut sebagai harapan keluarga. Terlahir sebagai yang pertama, jelas para orang tua menaruh harapan besar pada si sulung. Maka tak jarang pula anak sulung disebut sebagai anak paling kuat diantara saudara-saudaranya.
Lebih dulu merasakan bagaimana sulitnya mendapati banyak tuntutan, mengalami berbagai masalah, juga memikul berbagai macam beban, membuat jiwa si sulung berubah menjadi lebih kuat dari sebelumnya.
Tapi, dibalik itu semua, benarkah anak sulung tidak boleh menampilkan kelemahannya?
Nyatanya, menjadi anak sulung memang harus sesempurna itu. Harus memiliki pundak yang kokoh untuk sandaran siapapun, memiliki jiwa kuat dan pantang menyerah, juga harus bisa menjadi panutan untuk adiknya. Namun siapa sangka jika dibalik itu semua, terselip banyak ketidaksempurnaan?
Dituntut untuk menjadi sempurna dan kuat sejak kecil, jelas membuat si sulung merasakan kesepian yang teramat. Rasa sakit, kepedihan, bahkan tangisan memang tak pernah ia tampakkan di hadapan siapapun. Tapi ketika ia berada di dalam sebuah ruangan dengan nuansa yang nyaman, juga seorang diri, maka pecahlah tangisannya. Runtuh sudah pertahanan si sulung yang sempurna.
Mungkin bagi sebagian orang, menjadi anak pertama itu menyenangkan. Namun nyatanya tidak. Berdiri di atas pijakan sendiri, tanpa memiliki sandaran, tidak diizinkan memilih jalan sendiri, tentu membuat anak pertama tidak bisa mengatakan tidak dalam segala hal.
Tak ayal, beberapa dari anak pertama, kerap merasa kesepian. Anak pertama tidaklah sekuat itu. Pundak yang biasanya terlihat kokoh, terkadang melesu ketika ia sendirian. Wajah yang selalu terlihat tegas, hanya bisa menampilkan raut kesedihan.Â
Si sulung, tidak sekuat itu. Menangis bukanlah hal buruk untuk siapapun. Untuk para anak sulung, pemegang harapan besar, menangislah. Menangislah jika memang sudah tak sanggup lagi. Kita semua berhak menangis. Jangan hanya karena tuntutan, kita merasakan kesakitan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H