Mohon tunggu...
Annisa Nur Salam
Annisa Nur Salam Mohon Tunggu... Mahasiswa -

seorang mahasiswi Ekonomi Syariah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kitab Kuning, Suatu Khazanah Pondok Pesantren

9 Desember 2017   18:32 Diperbarui: 9 Desember 2017   18:37 1702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbicara mengenai pondok pesantren, mungkin sebagian orang beranggapan bahwa lembaga tersebut tidak lebih dari lembaga pendidikan agama Islam non formal dengan budaya yang tradisional. Sejatinya, pondok pesantren merupakan suatu khazanah lembaga keilmuan yang sudah mengakar di Indonesia jauh sebelum keberadaan lembaga pendidikan formal. 

Berdasarkan data dari kementerian agama, saat ini kurang lebih terdapat 27.290 pondok pesantren yang tersebar di Indonesia dengan jumlah santri sebanyak 4.290.626 santri. Tentunya hal tersebut menandakan bahwa, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang mempercayai pondok pesantren sebagai tempat menuntut ilmu bagi putra-putrinya. 

Anggapan pondok pesantren sebagai lembaga tradisional mungkin bisa dibenarkan dengan tradisinya yang masih kental mempertahankan budaya klasik termasuk dalam menggunakan rujukan kitab kuning sebagai sumber ilmu dalam belajar. Namun justru ke-tradisional-an pondok pesantren menggambarkan begitu istimewanya lembaga tersebut dalam memelihara nilai-nilai budaya Islam. Kitab kuning sendiri merupakan salah satu unsur yang harus ada di pondok pesantren selain adanya kyai, pondok, santri, dan masjid. Mubtadiin, S.Ag sebagai Humas Ditjen Pendis di tengah-tengah acara  Musabaqoh Qiroatul Kutub (MQK) pada Sabtu (2/12) menuturkan bahawa Kementerian Agama sangat menjaga akar yang kuat dari tradisi pondok pesantren yaitu kitab kuning. Karena kitab kuning merupakan salah satu khazanah sumber rujukan ilmu yang tak boleh dilupakan, sejatinya kitab kuning itu sendiri merupakan substansi selain Al-Qur'an dan Al-Hadits. 

whatsapp-image-2017-12-09-at-17-57-35-5a2bc40fab12ae3c9e509312.jpeg
whatsapp-image-2017-12-09-at-17-57-35-5a2bc40fab12ae3c9e509312.jpeg
Kementerian Agama (Kemenag) sebagai instansi yang memayungi seluruh pondok pesantren di Indonesia turut memelihara budaya santri dalam mempelajari kitab kuning salah satunya melalui ajang Musabaqoh Qiroatul Kutub (MQK) yang diadakan di tingkat Kabupaten, Provinsi hingga Nasional. MQK itu sendiri ialah sebuah ajang kompetisi para santri dalam membaca, menerjemahkan, memahami serta menjelaskan kitab kuning yang diikuti oleh berbagai pondok pesantren. 

Di penghujung tahun 2017, Kemenag menyelenggarakan MQK Nasinal ke-IV dengan mengusung tema "Dari Pesantren Untuk Penguatan Karakter dan Kepribadian Bangsa". Muhtadin, S.Ag menuturkan bahwa MQK IV diikuti oleh 2.466 santri yang merupakan perwakilan dari 34 provinsi di Indonesia. MQK Nasional IV yang digelar pada 29 November hingga 7 Desember 2017 bertempat di Pondok Pesantren Raudhatul Mubtadiin Jepara, Jawa Tengah. Pondok Pesantren Raudhatul Mubtadiin ialah pondok pesantren tertua di Jepara yang berdiri sejak tahun 1883. Pondok tersebut jauh dari keramian kota dan sederhana namun begitu megah dengan tradisi santri yang melekat di dalamnya. 

whatsapp-image-2017-12-09-at-17-56-01-5a2bc445f133443ad6726682.jpeg
whatsapp-image-2017-12-09-at-17-56-01-5a2bc445f133443ad6726682.jpeg
Di MQK Nasional IV terdapat beberapa bidang keilmuan yang dilombakan diantaranya ialah Fiqh, Nahwu, Tarikh, Akhlak, Tauhid, Tafsir Hadis, Ushul Fiqh, Balaghah dan Tauhid. Selain lomba membaca kitab kuning, terdapat juga lomba lainnya yakni Debat Bahasa Arab dan Bahasa Inggris serta Eksebisi Nazham Alifiyah. 

Nazham Alifiyah merupakan 1000 bait syair tentang ilmu Nahwu atau ilmu gramatika Bahasa Arab dalam kitab Syarh Ibn Aqil 'ala Alfiyah Ibn Malik. Santri yang mengikuti MQK dikelompokan dalam tiga tingkatan yakni Marhalah Ula (santri dengan usia maksimal 15 tahun kurang 1 hari), Marhalah Wustha (santri dengan usia maksimal 18 tahun kurang 1 hari), serta Marhalah Ulya (santri dengan usia maksimal 21 tahun kurang 1 hari).

whatsapp-image-2017-12-09-at-17-57-31-5a2bc542caf7db2cea461252.jpeg
whatsapp-image-2017-12-09-at-17-57-31-5a2bc542caf7db2cea461252.jpeg
Salah satu santri Marhalah Wustha yang mengikuti cabang lomba Fiqih kitab Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib dengan serius dan optimis membacakan, menerjemahkan serta menjelaskan isi yang terkandung dalam kitab tersebut di depan dewan juri. Pada Bab Walimah dalam kitab Fiqh tersebut menjelaskan kewajiban bagi seorang muslim dalam menghadiri walimah ketika mendapatkan undangan. Begitu istimewanya Islam menunjukkan cara-cara terbaik bagi umatnya dalam berperilaku termasuk dalam menghargai saudaranya. 

Ajaran Islam yang tertuang dalam al-Qur'an dan al-Hadits tidak selamanya dapat difahami secara komprehensif. Oleh karenanya, mempelajari kitab kuning sebagai karya para kyai terdahulu merupakan salah satu jembatan untuk lebih memperdalam ilmu agama Islam. Maka patut diacungi jempol bagi para santri yang masih muda karena telah mampu memahami kitab kuning untuk kemudian didakwahkan di masa yang akan datang. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun