Saat dimana Bayu terombang-ambing perasaan dan pikiran setelah kedatangan Widya ke kantornya. Gesture tubuh dan tatapan Widya yang sangat mencerminkan ketegasan hati seorang perempuan berdarah Batak, diungkapkan dengan rinci oleh de Laras.
Saya langsung tertegun saat anak ke-2 Btari ini menyampaikan keberatannya atas hubungan antara Ibunya dan Bayu. Efeknya adalah Bayu berusaha menenangkan hati dengan menjaga jarak sementara. Sikap yang justru sangat ditentang oleh Sinta.
"Ayah mencintai Tante Btari, kan?" tanya Sinta, tanpa melihat wajahku, tangannya masih dalam genggamanku. "Ya Sinta. Sangat," jawabku.
"Ayah mesti berjuang untuk itu. Ayah nggak boleh menyerah," sahut Sinta tanpa kuduga. "Ayah nggak mau berdebat. Ayah nggak mau ada konflik Sin. Selama ini semua sudah berjalan dengan baik-baik saja," jawabku.
"Kalau Ayah menyerah, bagaimana dengan Tante Btari Yah. Tante Btari layak Ayah perjuangkan," Sinta malah terisak. Aku mendekap dan memeluknya. Sinta semakin keras menangis dalam pelukku. Ia menyenderkan kepalanya ke lenganku.
Entah mengapa sebuah detak keras menghantam hati saya. Berlembar-lembar tissue pun harus saya ambil untuk menghapus air mata yang sempat bercucuran tanpa bisa dikendalikan.
Ada sebuah kedewasaan seorang lelaki sepuh tersirat disana. Ada juga kebijakan bahwa dia tak ingin ada satu hal pun yang membuat kisah cintanya berselimut perkara. Apalagi ini menyangkut semua orang dan hal yang berada di dekatnya.
"Mendengar Sinta menyebut nama Btari membuat aku menjadi teringat tujuan kedatanganku ke rumah Sinta. Ada sedikit rasa sesak terselip di dada. Setelah hampir dua tahun mengenal Btari, baru kali ini bunga cintaku dipatahkan. Justru dari ide pertemuan yang aku usulkan. Akan tetapi apapun itu, aku ingin semua berawal dengan baik, dengan bersikap terbuka pada anak-anak. Anak-anakku dan menantuku tahu kalau aku sedang dekat dengan seseorang. Aku tidak ingin mereka mengetahui hubunganku dengan Btari dari orang lain. Atau malah memergoki berada di suatu tempat dengan Btari. Aku ingin semua tahu dan paham sehingga apapun yang mungkin dibicarkan orang lain tentang kami, mereka sebagai orang terdekat sudah tahu dari kami berdua secara langsung." (Bayu, Keagungan Manah, hal. 195-196)
Air mata saya mengalir kembali. Memahami kedewasaan Bayu justru mengajak saya mengharu biru. Lelaki bersuku Jawa dan dilukiskan sebagai lelaki idaman, lembut dan menyanjung perempuan ini, sudah berhasil menguasai emosi saya untuk berpihak kepadanya. Dan sedu sedan itu kemudian bersambung ke halaman 387 dimana Btari menceritakan sebuah tulisan Bayu di dalam buku catatan harian yang kemudian diberi judul "Secangkir Teh"
"Pagi adalah hari baru, hari penuh harapan, hari perjumpaanku. Walau kekasihku terbaring lemah di tempat tidur, tapi ku bersyukur ia masih memberiku senyum termanisnya. Ku duduk disebelah jendela besar kamar rumah sakit. Kuseduh teh celup kesukaannya dan ia akan tersenyum bahagia melihat kehadiranku pagi itu. Ku harap aku selalu menjadi yang pertama membuatnya terjaga, besyukur akan kebersamaan kami, menikmati cerita canda tawa dengan setiap hal yang kami lalui bersama. Diiringi rasa sakit tubuhnya karena hanya itu yang bisa aku lakukan untuknya." (Bayu, Keagungan Manah, hal. 387)
Tak kuat menahan pilu, novel ini saya tutup. Saya mengatur napas sembari membawa mata terpejam dan membiarkan butir airmata mengalir pelan di kedua sudut mata.