Mohon tunggu...
Annie Nugraha
Annie Nugraha Mohon Tunggu... Seniman - Crafter, Blogger, Photography Enthusiast

Seorang istri dan ibu dari 2 orang anak. Menyukai dunia handmade craft khususnya wire jewelry (perhiasan kawat), senang menulis lewat blog www.annienugraha.com dan seorang penggemar photography

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

"Tabir", Menyingkap Rahasia Mera

19 Juli 2022   16:12 Diperbarui: 21 Juli 2022   16:45 1467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku TABIR | Foto dokumentasi pribadi

Hujan deras sore itu mengantarkan sebuah paket yang sudah lama saya nantikan.  Paket yang berisikan buku dari rekan sesama penulis, Ika Budiwanti Patte (Ika Patte).

Buku ini sudah membangkitkan rasa penasaran saya sejak beberapa pekan sebelumnya sempat dibahas dalam sebuah pertemuan daring.  Lewat jumpa on-line ini Ika Patte banyak bercerita tentang proses pembuatan buku tersebut, berguru lewat komunitas dan orang-orang terbaik dalam dunia literasi, termasuk berbagai langkah promosi yang dilakukan agar buku solo perdana berjudul TABIR ini bisa hadir dengan baik di tengah publik.

Ibu 3 anak kelahiran Purwokerto ini banyak menggugah hati saya yang di akhir 2021 juga melahirkan buku solo pertama lewat publisher yang sama yaitu Stiletto Book.  Selain tumpah ruah dengan cerita up and down saat mempersiapkan dan menyusun naskah, membangun tangga kesempurnaan materi dan penyajian cerita, Ika Patte juga mempersiapkan diri untuk tak lelah dan konsisten mengenalkan buku ini kepada khalayak.

Jadi saat meluangkan waktu khusus untuk membaca dan memahami isi buku, saya membalas rasa penasaran tersebut dengan aktivitas berkualitas yang sudah sangat ditunggu-tunggu oleh seorang pembaca dan penulis.  Seorang pembelajar yang sedang menampung gaya diksi baru dari rekan seprofesi.

TABIR dan Ika Patte | Foto dokumentasi pribadi
TABIR dan Ika Patte | Foto dokumentasi pribadi

Menilik Isi Buku Tabir

Buku dengan tebal 139 halaman ini melewati proses cetak pertama pada Mei 2021 dan cetak kedua pada Desember 2021.  Fakta yang membuktikan bahwa buku Tabir telah menyedot banyak peminat.

Mengusung genre drama misteri, Tabir menghadirkan 15 bab atau bagian cerita untuk kita baca.  Sebagian besar dari bab tersebut menghadirkan beberapa tokoh dengan pengalaman dan sudut pandang mereka akan sesuatu hal yang menjadi topik dan tokoh utama dari Tabir yaitu Mera.  Seorang gadis yang sejak kecil dikenal dengan sebutan atau panggilan Inon dan sedang berjuang membuka tabir masa lalunya.    Ika Patte terlihat begitu konsisten mengangkat keunikan karakter Mera lewat berbagai narasi kenyataan yang masih berseliput misteri hingga terakhir kita menutup buku.

Meskipun lewat rangkaian halaman yang ada di Tabir sarat dengan tanda tanya, kita diajak untuk menggali jawaban dari beberapa pertanyaan yang perlahan muncul di berbagai arah.  Mulai dari kondisi Mera yang sakit, munculnya berbagai wujud yang hanya dipahami dan dilihat oleh Mera, mengalami berbagai kejadian yang diluar nalar dan logika, lalu keberadaan orang-orang disekitarnya yang juga punya kisah hidup sendiri, hingga akhirnya bertemu pada satu titik yang masih dan tetap berselimut tabir.

Mengupas Misteri yang Terurai di Tabir

Sebagai tokoh utama dari buku Tabir, Ika Patte langsung menghadirkan Mera di bab terdepan.

Tak tanggung-tanggung, para pembaca langsung diajak berdebar-debar dengan apa yang dialami Mera.  Berada dalam kondisi sakit parah, Mera merasakan sakit bukan hanya pada fisiknya tapi juga pikiran, indera pendengaran dan indera penglihatannya.  Di Bab 1 dan 2 saya sempat tertipu tentang apa yang sedang dialami Mera saat itu.  Walaupun jelas-jelas ada kata-kata penggambaran yang mengarah pada wujud astral.  Wujud yang menurut pengalaman banyak orang, adalah sesuatu yang sering menghampiri mereka yang sedang dalam kondisi parah, nyawa seakan di ujung tanduk atau memang sedang mengalami proses ujian di sela-sela napas terakhir.

Seserem itukah? Yup betul banget.  Baru baca diawal kok sudah merinding ya.

Seperti pengalaman seorang teman yang dalam keadaan koma dan dalam satu waktu seperti terbawa pada dunia lain, terhalang dan berjubah tabir.  Saat itu dia bisa melihat bahkan bercakap-cakap dengan beberapa anggota keluarga yang sudah wafat, hingga bisa mendengar berbagai suara yang terjauh sekalipun.

Begitupun yang dialami Mera.

Di cerita awal-awal juga kita dikenalkan pada seorang sosok Palo yang diyakini Mera sebagai suaminya yang begitu memanjakan dirinya dengan limpahan kasih sayang yang tak mampu Mera tolak.  Pembaca dibikin iri akan bagaimana Ika Patte menggambarkan sosok Palo yang begitu mencintai Mera.  Seorang suami idaman yang sangat melindungi pasangannya.  Lalu kehadiran seorang anak kecil yang juga memperhatikan Mera dengan baik dan berkomunikasi layaknya dua orang yang sudah saling mengenal dalam jangka waktu yang lama.

Rangkaian tabir mulai menyeruak saat kita masuk ke dalam Bab 3.  Kehadiran 2 tokoh, Bu Prapti (Ibu kandung Mera) dan Rosma (adik Mera) pelan tapi pasti mengajak kita mengernyitkan dahi.  Terutama pada saat ibu dan anak ini terlibat dalam sebuah percakapan yang penuh rahasia dalam perjalanan mereka menuju rumah Mera.  

Buku TABIR | Foto dokumentasi pribadi
Buku TABIR | Foto dokumentasi pribadi

Obrolan yang mengantarkan Rosma untuk mengungkit kembali rasa penasarannya akan siapa sebenarnya ayah kandung Mera. Apalagi di satu waktu gadis ini pernah mencuri dengar percakapan antara Pakde dan Budenya (Pak dan Bu Bano) tentang tampilan fisik Rosma dan Mera.  Rosma jelas-jelas milik Pak Dipo (suami Bu Prapti dan ayah kandung Rosma) tapi Mera? Katanya mirip Romo. Tapi siapa Romo ini?

Disini jugalah pembaca "berkenalan" dengan sosok Romo, yang dalam bahasa Jawa diartikan sebagai Bapak/Ayah atau sebutan penghormatan untuk seseorang yang dituakan atau dihormati.

Alur berpikir pembaca pun teraduk-aduk.  Lalu siapa Palo? Kok ada Rafie?

Semua pelan mulai terurai saat Tabir mengajak kita untuk lebih mendekat pada orang-orang yang berada di seputar kehidupan Mera. Ada Mbok Pon, ART keluarga Mera yang sudah lanjut usia dan Mamad si supir, anak Mbok Pon, yang sudah mengabdi pada keluarga Mera bertahun-tahun.  Lalu ada Puput, sahabat Mera sejak kecil yang berprofesi sebagai psikolog yang selalu lapang mendengarkan cerita Mera.  Apapun itu ceritanya.  Seorang perempuan, yang menurut Mera, adalah seseorang dimana dia bisa meluapkan apapun yang sedang bergejolak di dalam pikirannya.

Semua tokoh-tokoh diatas menyaksikan bagaimana Mera diiringi halusinasi dan mengalami kejadian-kejadian yang hanya bisa dipahaminya sendiri.

Kesimpulannya adalah MERA SEDANG TIDAK BAIK-BAIK SAJA.

TABIR | Design dokumentasi pribadi
TABIR | Design dokumentasi pribadi

Penasaran yang awalnya sudah berjibaku di beberapa bab awal, mulai menemukan definisi yang lebih jelas.  Satu demi satu luka masa kecil Mera pun terungkap.  Tabir menggandeng dan mengajak kita, para pembaca, menyimak Mera yang terjebak dalam pergolakan batin karena luka lama yang tak kunjung sembuh dan terselesaikan dengan semestinya.

Masa kecil yang minim kasih sayang dari orang tua sendiri, baik Ibu maupun Bapak, lalu dilanjut dengan penyiksaan batin dari seorang suami yang berselingkuh dan menorehkan sakit yang begitu mendalam di hati.  Kebaikan dan kesempurnaan Mera sebagai perempuan dan istri, tak pun membawanya pada kebahagiaan.  Karena nyatanya, alih-alih mendapatkan perlindungan dan cinta hakiki dari seorang suami, Mera malah tersakiti hingga dia terjebak dalam irama kehidupan yang sungguh menyakitkan.

Perilakunya semakin aneh.  Bersenandung.  Berbicara sendiri.  Hidup bagaikan ada beban berat di pundak yang tak berkesudahan. Semua menjadi sebuah misteri, sebuah tabir, yang tak mampu membantu Mera untuk hidup lebih baik.  Tabir pun makin berkelebat dengan hadirnya sebuah bukti besar berupa gelang perak bertahtakan ukiran naga dengan dua butir berlian di bagian matanya. Gelang yang kemudian disebut sebagai Gelang Naga Antaboga.

Sekali lagi.  Mera sungguh sedang tidak baik-baik saja.  Hidupnya bergelimang rahasia yang berada diantara kenyataan, ilusi dan pergolakan batin yang sudah berkerak bertahun-tahun, terpaksa "dinikmatinya" tanpa jeda waktu.  Kesakitan hati yang justru menambah tabir, sekat penghalang, dalam kehidupan Mera.

Puncak konflik pun menyeruak.  Mengacaukan segalanya.  Saat berjuang meminta kejelasan pada ibunya di titik tertinggi konflik, Mera akhirnya menyerah, tak berkutik pada ibunya yang tetap keras hati mempertahankan tabir yang seharusnya bisa dia buka.

Menuntut pengakuan Bu Prapti ternyata tidak menghasilkan apa-apa.  Yang terjadi justru adalah menambah rasa tidak suka Pak Dipo pada Mera dan luka yang lebih mendalam di diri Bu Prapti, seorang perempuan tua yang sudah melahirkannya puluhan tahun yang lalu.

Hidup Mera pun menjadi lebih runyam dengan kesusahan yang terus bertambah.  

"Tak lelo, lelo, lelo ledung. Cep menenga aja pijer nangis. Anakku sing ayu rupane. Yen nangis ndak ilang ayune."

TABIR | Design dokumentasi Pendapat Pribadi 
TABIR | Design dokumentasi Pendapat Pribadi 

TABIR | Design dokumentasi pribadi
TABIR | Design dokumentasi pribadi

Pendapat Pribadi Untuk Tabir

Membaca Tabir membawa saya pada satu pemikiran bahwa buku ini telah mengajarkan kita bahwa kematangan mental dan gejolak psikis akan terus hadir dalam kehidupan saat rangkaian teka-teki semasa kecil tak membawa kita pada kebaikan.  Rahasia dan luka masa lalu, bisa menjadi tabir, dan membuat kita "terkunci" pada jejak kenyataan yang sesungguhnya bukanlah fakta.

Mera mengalami itu.

Hidupnya menjadi tak tenang, berselimut banyak tanda tanya, hingga akhirnya Mera tak sanggup lagi untuk menahan semuanya.

Sebagai seorang pembaca yang menyukai cerita misteri, Tabir, hingga halaman terakhir, membuat saya terpekur pada kenyataan hidup yang menyakitkan.  Apalagi kemudian rasa sakit itu terlalu lama terpendam bahkan semakin menumpuk sempurna oleh luka-luka masa lampau dan yang muncul kemudian.

Salut untuk Ika Patte yang sudah mengobrak-abrik kesakitan jiwa Mera hingga dia harus bergumul dengan halusinasi tak berujung. Ika Patte begitu sukses mengatur alur cerita hingga konflik yang tadinya kita pikir "hanya itu saja" ternyata lebih complicated dari sekedar seorang pesakitan yang sedang mencari jati diri.

Tak butuh banyak berpikir bahwa Tabir adalah buku misteri.  Front cover dan back cover buku ini sudah berbicara banyak.  Mulai dari warna, tulisan, blurb hingga kehadiran sebuah naga meliuk dalam lingkaran yang kemudian kita ketahui adalah gelang Naga Antaboga.  Sebuah gelang yang menjadi penghubung antara Mera, ibu dan ayah kandungnya.

Buku Tabir, menurut saya, pantas dimiliki oleh siapapun yang mencintai, menyukai buku-buku misteri.  Dan Ika Patte layak mendapatkan pujian karena kesuksesannya mengolah alur cerita yang berbobot dan intens menampilkan sosok Mera dengan segala keruwetan jalan hidupnya.

TABIR | Foto design dokumentasi pribadi
TABIR | Foto design dokumentasi pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun