Senja mulai merangkak. Â Sinar mentari perlahan turun mengistirahatkan diri. Â Seorang diaspora yang sedang pulang kampung, duduk terpaku menikmati proses tenggelamnya sang mentari. Â Dalam keheningan yang hakiki, dia duduk di bibir pantai, di atas ujung sebuah dermaga kayu. Â Di hadapannya terbentang selat Halmahera yang menghubungkan Tidore Kepulauan dengan Pulau Halmahera yang tampak tenang ikut menutup siang hari.
Sang diaspora duduk terpekur. Â Pandangannya terlihat nanar. Â Tidak setenang lautan air yang terhampar di depannya. Â Karena ada serangkaian lamunan dan sudut kesedihan di ujung matanya. Â Lalu ada percikan hati yang berkecamuk dengan kegalauan dan seakan menemani pekatnya langit yang selalu hadir menemani hari-harinya belakangan ini.
Anitawati, sang diaspora ini, baru saja pulang dari serangkaian acara adat yang diadakan oleh Kesultanan Tidore. Â Sebuah acara besar yang diselenggarakan tahunan dan selalu dia sempatkan hadir meski harus mengeluarkan dana transportasi yang lumayan merogoh kantong. Setidaknya ongkos pesawat dari Jakarta ke Ternate dan sebaliknya.
Tapi tak apa. Â Karena pulang kampung dan menjadi bagian dari acara ini adalah sebuah penghormatan atas leluhur yang jejak keagungannya mengalir lewat darahnya. Â Dia tak akan melupakan darimana dia berasal. Â Apapun alasannya, sejauh manapun dia berkelana, Bumi Marijang dan marga Kaicil yang disandangnya, akan selalu menjadi tempat dan alasannya untuk kembali, kembali dan terus kembali.Â
Menyadari Sebuah Kehilangan
Ada apa dengan kehilangan? Â Apa yang hilang?
Anitawati tidak sedang mengalami kehilangan uang atau segala sesuatu yang berhubungan dengan harta benda yang menyebabkannya melamun sejak sore tadi. Â Tapi dia kehilangan satu hal yang jauh lebih besar dan lebih berarti yaitu sebuah jati diri. Â Bukan atas dirinya pribadi. Â Namun jati diri tanah kelahirannya, Moluku Kie Raha, yang semenjak dia lahir sudah menjadi bagian dari napasnya.
Bagi seorang diaspora yang telah menjadi warga masyarakat global, identitas sangatlah penting. Â Pertemuannya dengan warga masyarakat lainnya yang berbeda sudut pandang dan pengalaman hidup dalam sebuah komunitas kompleks dan beragam, justru memunculkan banyak percakapan yang mempertanyakan tentang identitas diri dan atribut sebagai orang Tidore.
Di acara yang super meriah tadi, ibu dari 3 orang puteri ini, bertemu dengan banyak orang penting dan banyak rakyat biasa. Â Termasuk beberapa diaspora seperti dirinya. Â
Mulai dari pejabat pemerintah setempat (Pemerintah Kotamadya Tidore), puluhan perwakilan pemerintah daerah tetangga seperti Kesultanan Ternate, Kesultanan Bacan, Kesultanan Jailolo, dan lain-lain. Â Hadir juga para pemangku/Baboto adat kesultanan sebagai tonggak dan tuan rumah sesungguhnya dari acara ini. Â Â