Mohon tunggu...
Annie Nugraha
Annie Nugraha Mohon Tunggu... Seniman - Crafter, Blogger, Photography Enthusiast

Seorang istri dan ibu dari 2 orang anak. Menyukai dunia handmade craft khususnya wire jewelry (perhiasan kawat), senang menulis lewat blog www.annienugraha.com dan seorang penggemar photography

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Beberapa Masjid Indah Bersejarah yang Bisa Kita Kunjungi di Makassar

26 Juni 2022   19:14 Diperbarui: 26 Juni 2022   19:36 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengunjungi satu daerah kemudian punya waktu ekstra yang lumayan banyak? Kenapa tidak mengisi waktu-waktu tersebut dengan mengunjungi beberapa masjid indah bersejarah?  Salah satu kegiatan yang tentunya banyak membawa manfaat bagi kita.  

Selain semakin mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, wisata religi juga mengajak kita untuk menilik sejarah berdirinya tempat ibadah tersebut. 

Bahkan seringkali lewat penjelajahan ini, kita bisa menemukan arsitektur menarik serta beberapa informasi yang membuat kita tak henti berdecak kagum dan menikmati waktu-waktu berharga sembari menyempatkan diri beribadah di dalamnya.  

Sungguh suatu rangkaian menjelajah yang bernilai dan mengajak kita untuk mengingat bahwa mengunjungi rumah Allah SWT adalah salah satu dari sekian banyak aktivitas traveling yang bisa mengisi lembaran qalbu kita.

Begitulah yang saya alami saat berada di Makassar beberapa pekan yang lalu.  Ditemani oleh Mas Tobey, mantan jurnalis yang juga berprofesi sebagai travel guide, saya berkunjung ke 4 masjid sarat sejarah, dengan arsitektur yang indah dan monumental.  

Mulai dari masjid yang telah berdiri ratusan tahun yang lalu hingga yang kekinian dengan sentuhan rancang bangun yang sarat warna-warna cantik, juga unik dan estetik.

MASJID AL-HILAL KATANGKA

Mas Tobey sempat dua kali bolak-balik di Jl. Syech Yusuf dimana masjid Al-Hilal, Katangka berada.  Kepadatan lalu lintas sesiangan itu sempat membuatnya meragukan petunjuk arah yang tertera di Google Maps.  Tapi akhirnya sebuah kubah yang mirip atau berbentuk ruangan atau rumah kecil dengan beberapa jendela itu menjadi satu petunjuk pasti akan keberadaan masjid bersejarah ini.

Mas Tobey pun memarkirkan mobil di sebuah lapangan kecil persis di samping masjid.  Ada rumah kecil yang sepertinya digunakan untuk DKM dan menyimpan berbagai peralatan.  Lalu berhadapan dengan area parkir ini, ada kompleks pemakaman yang lumayan luas dan tampak sangat tua.  Sebagian dari makam-makam ini sudah berlumut dengan warna yang mulai memudar.

Saat membaca sebuah plang besi yang terlihat tua dan ada di parkirkan masjid, kita akan langsung tahu bahwa Masjid Al Hilal, Katangka ini adalah salah satu cagar budaya kota Makassar.  Bahkan dengan hanya melihat dan memandangi tampak luarnya saja, masjid ini sudah meninggalkan kesan historis yang tentunya menarik untuk digali.

Berdiri di atas tanah seluas 150m2, salah satu masjid tertua di Makassar ini, berada di Katangka, Somba Opu, Gowa.  Menurut sejarah yang tercatat, masjid Al Hilal, Katangka dibangun pada 1603.  Tapi ada juga yang mempercayai bahwa masjid ini dibangun pada abad ke-18.  Pendiri awal dari masjid ini adalah Raja Gowa ke-14 yang bernama Mangngerangi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tumenanga Ri Gaukanna atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sultan Alauddin.

Dinamakan masjid Katangka karena dulu dipercayai bahwa masjid ini dibangun dengan menggunakan kayu Katangka.  Sejenis kayu yang kuat dan kokoh yang berada disekitar lahan dibangunnya masjid.  Lokasinya pun di area yang bernama Katangka.  

Jadi mungkin ini jugalah yang turut bersumbangsih pada penamaan masjidnya.  Meskipun telah direnovasi berulangkali, bangunan inti dari masjid ini tetap terjaga.  Bahkan saat melangkah masuk kedalamnya pun, tiang-tiang kayu dan sebuah mimbar yang bersejarah masih berdiri dengan tegak.

Tanah yang digunakan untuk tempat berdirinya masjid ini adalah tanah wakaf Raja Gowa.  Jadi tidak heran jika kita bisa melihat beberapa makam besar Raja Gowa, seperti Sultan Hasanudin, yang berada di sebuah lahan yang berada di utara masjid.

Arsitektur bangunannya sendiri memiliki beragam makna seperti 5 pintu yang mewakili 5 rukun Islam, 6 jendela yang mengisyaratkan 6 rukun iman, 4 tiang peyangga yang mewakili 4 sahabat nabi dan 2 kubah bersusun yang mewakili 2 kalimat syahadat.  Rangkaian konsep pembangunan rumah ibadah yang well-prepared dan conceptable banget.

Saya sempat menunaikan shalat Ashar disini karena kedatangan saya pas sekali dengan dikumandangkannya adzan.  Untuk jamaah perempuan, harus masuk lewat pintu belakang, dimana tempat untuk berwudhu dan shalat ada disini.  Saat berada di area belakang masjid ini saya bisa melihat pendopo semi terbuka yang sangat luas.  

Anak-anak tampak duduk rapih dan bersiap untuk mengaji.  Keberadaan mereka mengingatkan saya akan masa kecil di kota kelahiran saya, Palembang.  

Terutama saat berkumpul di sebuah surau yang berada di seputaran tempat tinggal dan menunggu guru mengaji.  Sembari menunggu sang guru datang, biasanya kami makan es dungdung, ngemil, bahkan berlari-larian seperti anak-anak lelaki yang saya lihat saat itu.

Masjid yang menempel persis di pinggir jalan ini tetap terlihat bersih meski debu lalu lintas dan suara mesin kendaraan terdengar lalu lalang di telinga.  Tapi saat berada di dalam keheningan masih terasa.  Setidaknya kita masih khusuk beribadah.

Dokpri
Dokpri

MASJID MUHAMMAD CHENG HOO

Menilik dari namanya, tentulah kita tahu bahwa masjid ini adalah sebuah persembahan dan penghormatan atas Laksamana Cheng Hoo.  Seorang nahkoda berdarah Tiongkok yang pernah mampir berdagang di nusantara.  Lewat buku sejarah yang sempat saya baca sih Laksamana Cheng Hoo sempat mampir di Sumatera dan Jawa.  

Belum pernah ke Sulawesi.  Tapi komunitas mualaf di Sulawesi Selatan memutuskan untuk membangun masjid ini sebagai sebuah penghargaan atas jasa beliau menyebarkan Islam dimanapun beliau berdagang.

Masjid sumbangan dari komunitas muslim Tionghoa di Sulawesi Selatan ini, berdiri tegak di Jl. Tanjung Bunga, Maccini Sombala, Tamalete atau di sebelah utara kota Makassar.  Kepengurusan dan operasionalnya hingga kini dipegang oleh PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) cabang Sulawesi Selatan.

Dari sebuah prasasti kecil yang berada di pintu masuk ruang shalat yang berada di lantai 2, masjid ini diresmikan pada 12 April 2018 dengan penandatangan prasasti Hj. Ramlah Kalla Aksa.  Adik kandung mantan Wapres RI ke-10 dan ke-12, H. Yusuf Kalla, yang kemudian menikah dengan H. Aksa Mahmud, pengusaha kakap Sulawesi yang mendirikan rangkaian usaha sukses dengan bendera Bosowa Corporation.

Berkeliling memotret, saya terbawa dejavu mengingat Masjid Muhammad Cheng Hoo yang berada di Palembang dan Surabaya.  Ketiganya hadir dengan kombinasi warna yang sama, antara merah, kuning, hijau dan putih.  Di Makassar ini, selain urusan warna, masjid Muhammad Cheng Hoo juga memadukan keunikan bangunan khas Tionghoa dan Bugis.  Salah satu suku yang ada di Sulawesi Selatan.  

Mulai dari warna merah yang mendominasi hingga kubah yang berbentuk seperti pagoda serta roster-roster bersudut segita panjang-panjang yang bertebaran di setiap sudut dan sisi masjid.  Kehadiran roster ini membuat tampak luar bangunan jadi nyeni dan estetik plus tentu saja istagenic untuk ditampilkan di akun media sosial kita.

Tak jauh dari masjid ada bangunan 2 lantai berwarna hijau yang adalah madrasah hafidz Qur'an.  Saat saya memotret tampak serombongan anak-anak berseragam (berjubah hijau) yang berjalan dari gedung tersebut menuju masjid.  Dibimbing oleh seorang pria dewasa, mereka berkumpul di dalam masjid untuk mengaji dan menerima arahan dari pria tersebut.  Lantunan ayat suci Al-Qur'an terdengar merdu dan sangat menyejukkan hati.

Saya mendadak bermunajat.  Memohon kepada Allah SWT untuk memudahkan semua urusan anak-anak saya.  Menjadikan mereka anak yang sholeh dan sholeha serta menjadi manusia yang membawa manfaat bagi orang lain.  Mendoakan juga untuk suami dan diri sendiri agar disehatkan, dimurahkan rezeki dan diberi kesempatan terus berdua, berjodoh dunia akhirat.  Aaahhh masjid selalu bisa menghanyutkan perasaan ya.

Dokpri
Dokpri

Dokpri
Dokpri

MASJID 99 KUBAH

Mengunjungi Masjid 99 Kubah ini adalah salah satu alasan saya untuk terbang ke Makassar.  Saat suami menawarkan saya ikut, menemaninya bertugas ke kota ini, saya langsung mengangguk.  Alasan lain yang menunjang adalah karena sempat berulangkali melihat foto-foto indahnya di media sosial.  

Lalu dari beberapa tautan/artikel, saya mengetahui bahwa Masjid 99 Kubah adalah karya salah seorang arsitektur ternama, gubernur dari daerah tempat saya tinggal, dan juga adalah seorang Ayah yang saat itu sedang kehilangan anak sulungnya yang hanyut di sungai Aare, Switzerland (sekarang, saat saya mengetik ini, almarhum telah ditemukan dan dimakamkan).

Dialah Ridwan Kamil.  Lelaki berusia 50an tahun ini merancang masjid 99 Kubah di 2017 yang saat itu masih berstatus sebagai Walikota Bandung.   Masjid megah ini berada di kawasan Centre Point of Indonesia yang persis berseberangan dengan anjungan Pantai Losari.  

Jadi saat kita menikmati sunset atau berfoto di sepanjang anjungan Pantai Losari, Masjid 99 Kubah akan ikut terekam layaknya latar belakang foto.  Sebuah ikon baru kota Makassar yang menghadirkan betapa rumah Allah SWT selayaknya dibuat megah dan diagungkan.  

Berada persis di halaman masjid dan sepanjang jalan menuju masjid, ada sebuah area hiburan yang diberi nama Lego Lego.  Spot hiburan ini ada di bantaran laut yang berhadapan dengan Anjungan Pantai Losari.  

Disini terdapat banyak tempat makan yang cocok banget buat ngumpul dan nongkrong-nongkrong.  Tak ayal.  Saat sekali waktu saya singgah setelah sunset, sederetan kendaraan parkir di kanan dan kiri jalan.  Penuh banget.  

Mengangkat konsep 99 Asmaul Husna, sifat-sifat mulia Yang Maha Esa, Masjid 99 Kubah terlihat sangat unik dengan kubah-kubah kecil berjenjang yang dibuat berwarna-warni.  Sesaat ketika mengamati masjid ini, kita teringat akan seni arsitektur khas Timur Tengah yang kaya akan warna.

Begitupun dengan saat berada di dalam.  Melengkapi indahnya rancang luar ruang masjid, langit-langit yang menyanggah kubah-kubah kecil itu juga sangat cantik dengan warna-warna aktraktif.  Saya berdecak kagum tiada habisnya.  Bahkan saat shalat pun, saya bisa merasakan dinginnya keramiknya.  

Dia area shalat wanita tersedia puluhan mukenah cantik-cantik disamping puluhan Qur-an yang tersusun cantik di sebuah lemari-lemari sekat kayu berwarna alam.

Area mimbarnya juga sangat mengesankan.  Bagikan sebuah gerbang yang tinggi dan gagah, disampingnya tercantum kaligrafi berwarna keemasan dan berbagai jenis keramik mewah mengkilat yang mendampinginya.  MashaAllah.  Betapa beruntungnya saya karena dijinkan Allah SWT dan semesta untuk tiba di masjid nan megah dan bersejarah ini.  

Masjid yang berada di salah satu dari 5 pulau terbesar di Indonesia dan jaraknya ratusan kilometer dari tempat dimana saya tinggal bersama keluarga.

Saat saya berada disini, awal Juni 2022, bagian teras masjid, tempat berwudhu, toilet dan lahan parkir disekitarnya belum selesai 100%.  Begitupun rangkaian anak tangga yang menghubungkan lantai dasar masjid dengan bagian bawahnya.

  Kondisi tangga yang lumayan curam dan melingkar ini sepertinya kurang akomodatif untuk mereka yang uzur atau mengalami masalah pada sendi-sendi kaki.  Bahkan saya sendiripun harus melangkah pelan-pelan karena kecuraman dan tidak adanya penerangan untuk membantu kita mengukur langkah.

Sebelum masuk ke area shalat, ada sederetan kotak-kotak dengan kunci untuk kita gunakan.  Saya menaruh dan menitipkan sepatu saya disini.  Dari titik dimana lemari berkunci ini berada, kita dapat menebarkan pandangan serta melihat Anjungan Pantai Losari dari kejauhan.  

Saya juga melihat ada beberapa kapal Phinisi yang berlabuh di seberang.  Pemandangan yang tidak akan saya dapatkan kecuali saat berada di Masjid 99 Kubah.

Dokpri
Dokpri

Dokpri
Dokpri

MASJID AMIRUL MUKMININ

Masjid yang terletak di timur laut pantai Losari ini, didirikan menjorok ke laut dengan tonggak-tonggak beton dan 164 tiang pancang yang berada di bawahnya.  Karena itu masjid ini disebut sebagai masjid terapung.  Tadinya saya pikir bangunan masjidnya benar-benar terapung di atas air laut.  

Terbuat dari kayu atau bambu dan terus bergerak mengapung kesana kemari mengikuti gerak air laut.  Ternyata yang dilukiskan sebagai "terapung" disini adalah berada di atas air laut, meskipun tidak dalam kondisi "menyentuh air laut".

Dibangun menyerupai rumah panggung khas adat suku Bugis dan Makassar, masjid yang menjadi bagian dari Anjungan Pantai Losari ini mulai dikerjakan pada 2009 dan diresmikan oleh H. Jusuf Kalla, sang putera daerah, pada 12 Desember 2012.

Keberadaan 2 pilar tinggi dengan 2 kubah yang dipoles oleh keramik mozaik serta tangga meliuk yang berada di salah satu sisi bangunan, semakin memberikan kesan megah dan monumental. Di dalam masjidnya sendiri terpasang 5 pilar yang tinggi dan kokoh.  

Pilar yang melambang 5 shalat fardhu dalam agama Islam.  Tentu saja sekaligus bisa menjadi pengingat bahwa ada 5 kewajiban menghadap sang Ilahi dalam sehari.

Menjadi satu dengan pusat rekreasi kota Makassar yaitu Pantai Losari, memotret masjid ini saat sunset tiba adalah salah satu kenangan wisata religi yang tak akan terlupakan.  Hanya sayangnya saat hendak mengejar sunset di Pantai Losari, kemacetan menghadang saya.  Jadi masjid ini hanya sempat saya abadikan di pagi hari saat langit biru terhampar dan udara panas mulai menerpa wajah dan tubuh.

Karena letaknya di Pantai Losari, mengunjungi Masjid Amirul Mukminin menjadi satu paket dengan tempat hiburan merakyat tersebut.  Saat merekam keindahan masjid ini dari kejauhan, saya bisa melihat dan merasakan bagaimana masjid ini telah menjadi bagian dari wisata kota yang dimiliki Makassar.  

Karena terkenal sebagai salah satu titik terbaik menikmati sunset, beribadah di masjid ini saat maghrib tentunya menjadi satu waktu yang sangat dinantikan.

Mendadak saya membayangkan bagaimana asiknya berbuka puasa di Masjid Amirul Mukminin.  Karena sekitar pkl. 16:00 WITA, hampir seluruh area parkir dipenuhi oleh para pedagang kaki lima.  

Sajiannya juga beragam.  Mulai dari makanan berat hingga makanan khas daerah Makassar seperti Pisang Ape.  Salah satu jajanan wajib saat kita bertandang ke Makassar.

Dokpri
Dokpri

Masjid Amirul Mukminin

Masjid yang terletak di timur laut pantai Losari ini, didirikan menjorok ke laut dengan tonggak-tonggak beton dan 164 tiang pancang yang berada di bawahnya.  Karena itu masjid ini disebut sebagai masjid terapung.  Tadinya saya pikir bangunan masjidnya benar-benar terapung di atas air laut.  

Terbuat dari kayu atau bambu dan terus bergerak mengapung kesana kemari mengikuti gerak air laut.  Ternyata yang dilukiskan sebagai "terapung" disini adalah berada di atas air laut, meskipun tidak dalam kondisi "menyentuh air laut".

Dibangun menyerupai rumah panggung khas adat suku Bugis dan Makassar, masjid yang menjadi bagian dari Anjungan Pantai Losari ini mulai dikerjakan pada 2009 dan diresmikan oleh H. Jusuf Kalla, sang putera daerah, pada 12 Desember 2012.

Keberadaan 2 pilar tinggi dengan 2 kubah yang dipoles oleh keramik mozaik serta tangga meliuk yang berada di salah satu sisi bangunan, semakin memberikan kesan megah dan monumental. Di dalam masjidnya sendiri terpasang 5 pilar yang tinggi dan kokoh.  

Pilar yang melambang 5 shalat fardhu dalam agama Islam.  Tentu saja sekaligus bisa menjadi pengingat bahwa ada 5 kewajiban menghadap sang Ilahi dalam sehari.

Menjadi satu dengan pusat rekreasi kota Makassar yaitu Pantai Losari, memotret masjid ini saat sunset tiba adalah salah satu kenangan wisata religi yang tak akan terlupakan.  Hanya sayangnya saat hendak mengejar sunset di Pantai Losari, kemacetan menghadang saya.  

Jadi masjid ini hanya sempat saya abadikan di pagi hari saat langit biru terhampar dan udara panas mulai menerpa wajah dan tubuh.

Karena letaknya di Pantai Losari, mengunjungi Masjid Amirul Mukminin menjadi satu paket dengan tempat hiburan merakyat tersebut.  Saat merekam keindahan masjid ini dari kejauhan, saya bisa melihat dan merasakan bagaimana masjid ini telah menjadi bagian dari wisata kota yang dimiliki Makassar.  

Karena terkenal sebagai salah satu titik terbaik menikmati sunset, beribadah di masjid ini saat maghrib tentunya menjadi satu waktu yang sangat dinantikan.

Mendadak saya membayangkan bagaimana asiknya berbuka puasa di Masjid Amirul Mukminin.  Karena sekitar pkl. 16:00 WITA, hampir seluruh area parkir dipenuhi oleh para pedagang kaki lima.  Sajiannya juga beragam.  

Mulai dari makanan berat hingga makanan khas daerah Makassar seperti Pisang Ape.  Salah satu jajanan wajib saat kita bertandang ke Makassar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun