Mohon tunggu...
Annie Nugraha
Annie Nugraha Mohon Tunggu... Seniman - Crafter, Blogger, Photography Enthusiast

Seorang istri dan ibu dari 2 orang anak. Menyukai dunia handmade craft khususnya wire jewelry (perhiasan kawat), senang menulis lewat blog www.annienugraha.com dan seorang penggemar photography

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Sepenggal Peninggalan Sejarah Kejayaan Imigran Tionghoa di Tjong A Fie Mansion, Medan

30 April 2021   07:56 Diperbarui: 30 April 2021   14:27 1360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fasad dari Tjong A Fie Mansion/Museum, Medan.  Foto: Dokumentasi pribadi

"There on earth where I stand.  I hold the sky, success, and glory consist not in what I've gotten but in what I've given"

Saya berulang kali berusaha mencerna kutipan tulisan dari seorang Tjong A Fie ketika membuka laman resmi www.tjongafiemansion.org. Tautan di mana saya menggali dan menyelami info sebanyak mungkin tentang Tjong A Fie Mansion (the Mansion). The great Historic.  Heritage.  Home.  An Iconic Museum.  Destinasi wisata yang sarat makna, penuh sejarah, dan menempati urutan pertama saat saya berkesempatan berkunjung/kembali ke kota Medan di awal tahun 2020.

Yang Dulu Pernah Terlewatkan

Mendadak terseret dejavu saat masih SMP di Medan, saya kembali teringat masa-masa di mana dalam 2 kali seminggu harus mendatangi daerah Kesawan, tempat The Mansion berada.  Waktu-waktu di mana saya harus mengikuti kursus gitar di Yamaha Music Centre.

Beberapa langkah setelah turun dari taxi on-line yang dipesan Molly, saya melonjak menyadari apa yang saya hadapi saat itu.  Astaga, ternyata The Mansion, berada hanya beberapa langkah dari tempat saya (dulu) biasa berkegiatan musik.  

Bahkan di jalan yang sama, tak jauh dari tempat saya berdiri, ada 2 resto lawas yang juga populer di Medan (Tip Top dan Soto Udang Kesawan). Beberapa valuable venues yang tidak saya sadari saat masih berusia belasan tahun (awal 80-an) dan belum melek pariwisata.

Dengan dinding dan pagar tinggi, The Mansion tidak dapat terlihat saat pintu depannya tertutup rapat. Jalan Ahmad Yani ini, meski telah diatur menjadi satu jalur, tetap selalu terkepung dengan kemacetan, dari dulu hingga kini.  

Belum lagi jika parkiran di sisi kiri badan jalan tiba pada saat-saat kesibukan jam-jam kantor. Jadi yang mau berkunjung ke sini, sangat disarankan menggunakan kendaraan sewaan ketimbang harus berjibaku dengan kegiatan memarkir kendaraan.

Tuntas menyeberang jalan yang padat kendaraan dan melewati sebelah pintu kayu bercat hijau kuning di hadapan kami, saya terpaku dengan keindahan fasad yang kaya dengan sentuhan arsitektur Cina.  

Di halaman depan ada sebuah taman kecil menyertai pijakan berbatu koral berbentuk lingkaran. Dari tempat kami berdiri, terlihat deretan jendela kayu terbuka lebar, membiarkan udara bebas hilir mudik tanpa batas.  

Sementara di halaman tampak berbagai tanaman dengan berbagai warna dan jenis. Tumbuh subur di bawah sengatan sinar matahari. Panas terik menyertai kedatangan kami.  Sumug tak terkira.  api kemegahan yang tersaji di hadapan saya, sungguh meninggalkan kesan pertama yang tidak akan terlupakan.

Aaahh inilah tempat sarat sejarah yang menjadi salah satu perhiasan wisata (Historical Jewel) kota Medan dan sudah lama ingin saya kunjungi. 2 patung Foo Lions yang terbuat dari granit pun, meski warnanya mulai memudar, masih kelihatan gagah mengawal kedatangan para tamu seperti saya dan Molly.

Menelusuri Lantai 1

The great experiences start from here.

Membayar HTM Rp 35.000,-/orang, saya mengosongkan kekaguman untuk menerima suguhan dan coretan yang begitu bermakna dari suatu tempat. Tak butuh waktu lama untuk langsung terpesona dengan saratnya sejarah The Mansion. 

Pintu kayu megah, langit-langit tinggi dengan handpainted patterns yang dalam referensinya bernuansa kupu-kupu dan burung Phoenix hadir begitu sempurna. 

Dua unggas yang sarat dengan keindahan ini terukir cantik ketika saya mendangak untuk melihat ceiling yang terbangun dengan tinggi sekitar 6-8 meter berikut sebuah pembatas kayu berukir yang menjembatani ruang depan dan area terbuka di bagian tengah. MashaAllah.  Baru melihat ini saja, saya sudah larut akan kekaguman tak terkira.

Belum luruh kekaguman akan langit-langit yang penuh ukiran, persis di depan pintu masuk ada sebuah meja kayu panjang, memangku sebuah vas bunga tinggi besar yang memeluk bunga-bunga indah.

Di sekelilingnya ada sebuah piano jaman baheula dan ruang duduk kayu berkolaborasi dengan anyaman bambu.  Tampak diam tak boleh disentuh seperti puluhan foto-foto yang mengajak kita untuk memahami jejak sejarah keluarga Tjong A Fie. 

And not to forget to mention adalah lantai keramik Venetian yang menyebar rata di setiap sudut lantai 1. Lantai sama yang juga ada di rumah dinas almarhum Ayah saya, dan kami tempati selama tinggal di Medan. 

Dari sini saya paham bahwa bisa jadi rumah yang ada di Jl. Iskandar Muda itu adalah rumah lama yang dibangun di era penjajahan Belanda.  Masa di mana The Mansion juga didirikan.

Pelan menelusuri setiap jengkal yang ada, ruangan megah di bagian paling depan lantai 1 ini berfungsi sebagai main hall, tempat dimana Tjong A Fie menerima tamu-tamu kehormatan. 

Dari arah kami datang, di sisi kanan ada sebuah ruangan khusus yang cukup luas. Menelisik perabotan yang ada, sepertinya ini adalah ruang kerja.  Ada mesin ketik, meja kayu yang bisa menampung hingga 6 orang, dan beberapa furnitur yang menunjang kegiatan perkantoran.

Masih di seputar ruang depan di lantai 1, saya mendadak merasakan energi yang begitu kuat ketika memasuki ruang tidur Tjong A Fie.  Berbentuk persegi panjang, kamar ini didominasi oleh sebuah tempat tidur yang terbuat dari kayu Mahogani bercat hitam.  

Kokoh dan garang terlihat.  Ada kelambu yang mengelilinginya. Sofa 1 set. Kursi kayu anyaman rotan. Dan tentu saja lemari baju, gantungan jas, dan berbagai pernak pernik yang menandakan bahwa si penghuni kamar adalah seorang hartawan. 

Persis seperti kamar-kamar Raja dan Ratu yang hadir di film-film kolosal Cina. Kesamaan inilah yang mungkin membawa Tjong A Fie untuk tetap mengingat tanah kelahirannya, Guangdong, bagian selatan daratan Cina, yang menjadi ibukota dari provinsi Guangzhou.

Sudut terakhir dari bangunan terdepan adalah sebuah ruang makan. Membawa pewisata untuk larut dalam peninggalan perabotan keluarga Tjong A Fie, pengelola mini museum ini, menaruh berbagai keramik peralatan makan.  

Sungguh indah untuk dilihat. Sungguh cantik untuk direkam dalam lensa kamera. Kebayang, di zaman tahun 1800-an, memiliki benda-benda seperti ini tentulah menunjukkan strata/kelas kebangsawanan seseorang.

Langkah-langkah selanjutnya adalah ruang tengah dengan taman terbuka.  Berdiri di titik paling strategis, dengan usaha mendangak, saya bisa melihat deretan jendela kayu yang ada di lantai 2.  Jenis dan warnanya sama persis seperti apa yang saya lihat ketika menikmati fasad.  Ah, inilah mengapa ruang depan tadi tidak berasa panas.  Ternyata, selain karena memang langit-langitnya tinggi, ruang tersebut tersambung dengan sebidang area terbuka.  Kondisi yang memungkinkan udara berganti dan mengalir dengan leluasa.

Teras di kanan dan kiri yang ada di samping ruang terbuka pun keliatan begitu sempurna jika difungsikan sebagai tempat untuk berleha-leha.  Bisa dijadikan tempat bermain anak atau sekedar berkumpul sambil beribadah. Beribadah? Yup.  

Ada 1 ruangan khusus yang dijadikan kuil kecil atau tempat sembahyang bagi Tjong A Fie dan keluarga yang beragama Budha. Pengunjung tidak diperkenankan memotret kuil ini. Tapi jelas terlihat, kalau tempat ibadah ini tetap terjaga kepengurusannya. Asap kecil dari hio yang terbakar tampak tak henti memecah udara di sekitarnya.

Sebelum melangkah ke lantai atas, saya dan Molly mengunjungi area dapur.  Luas dan terlihat mampu menampung belasan pekerja dalam satu kali kegiatan. Di sini, selain tempat pembakaran dan tungku-tungku, ada juga berbagai perlengkapan masak tradisional. Sebagian atap ruangan dibiarkan terbuka dengan sebuah tangga yang berfungsi sebagai akses antara lantai 1 dan lantai 2.

Di pintu lain yang tak jauh dari ruang memasak, saya menemukan akses ke bangunan yang berada di sayap kanan. Puluhan pot-pot tanaman tersebar di sana sini.  Ada serangkaian bangunan yang terpisah dari bangunan inti. 

Di sini ada ruang duduk dan ruang pertemuan yang sarat dengan koleksi buku.  Di ruang duduk kita disuguhkan beberapa papan informasi mengenai anak keturunan Tjong A Fie.

Sebuah Family Tree pun terpampang dengan tulisan tangan.  Dari bagan ini, saya melihat bahwa Tjong A Fie mempunyai 3 istri.  Istri pertama bernama Madame Lie (berasal dari Cina) dan tidak memiliki keturunan. Istri kedua bernama Madame Chew (berasal dari Penang, Malaysia).  

Seorang janda dengan 3 anak.  Dan yang terakhir adalah Madame Liem Koei Yap (berasal dari Binjai, Sumatera Utara). Dari istri terakhir ini Tjong A Fie mendapatkan 7 anak. Sungguh satu keluarga besar jika ditelisik dari segi jumlah. 

Dan kalau menelusur sejarah bahwa Tjong A Fie saat bermigrasi ke Medan saat berumur 18 tahun, besar kemungkinan saat menikah dengan istri pertama dan kedua, beliau masih berusia remaja.

Bangunan tambahan yang berada di luar gedung inti.  Di sini ada area duduk dengan sofa merah, foto the great Tjong A Fie dalam balutan pakaian khas Cina, dan Family Tree.  

Tapi yang membuat saya sangat terkesan adalah sebuah tulisan yang berjudul A Man Between Worlds. Sebuah uraian singkat mengenai keberadaan Tjong A Fie sebagai jembatan antara Belanda dengan kaum pribumi Sumatera Utara.  A man borned in 1860, a successful business man, yang juga dikenal sebagai bapak pluralisme di Medan.

Beranjak Ke Lantai 2

Tak kalah megah dengan lantai 1, lantai 2 juga didominasi oleh ukiran dan lantai kayu dengan perpaduan warna hijau dan kuning.  Sama megahnya.  Bahkan dengan pengaturan plong, lantai 2 ini terasa lebih adem dan lebih luas. 

Yang terasa begitu istimewa adalah deretan jendela-jendela berukuran jangkung di bagian tengah.  Jendela inilah yang memungkinkan kita melongok ke ruang terbuka yang berada di bawahnya.

Jika di lantai 1 tadi kita ketemu main hall dan 2 ruang pelengkap (kamar tidur dan ruang kerja), layout yang sama juga saya temukan di lantai ini.  Kesan luas begitu sarat terasa karena tidak dipenuhi oleh oleh papan-papan hijau berisikan foto-foto lama. 

Tak jauh dari konsep lantai 1, ruangan luas di lantai 2 pun sepertinya dibuat selapang mungkin untuk menjamu puluhan tamu.  Jendela yang menghadap ke luar seakan bersinergi dengan sisi belakang agar lalu lintas udara berjalan dengan lancar.  Hawa sejuk pun menyapu di segala sisi.

Di lantai 2 ini juga ada kuil kecil keluarga (Kwan Ti Kong Temple) yang hanya bisa diakses oleh anggota keluarga, anak keturunan Tjong A Fie, yang masih tinggal di the Mansion.  

Mereka tinggal di sayap kiri bangunan yang aksesnya tertutup untuk umum. Menurut saya ini keputusan yang cukup tepat. Mengingat bahwa the Mansion dan semua yang berada di dalamnya adalah harta keluarga yang sangat berharga dan wajib untuk terus dijaga.

Sekilas Tentang Tjong A Fie dan The Mansion

Lahir pada 1860 di Guangdong, China, lelaki ini juga dikenal dengan nama Tjong Fung Nam atau Tjong Yiauw Hian.  Memutuskan untuk "merantau" ke Labuan Deli pada umur 18 tahun mengikuti kakaknya, Tjong Yong Hian, yang sudah terlebih dahulu pindah ke sini dan telah sukses membangun bisnis.

Sementara Tjong A Fie sendiri pun akhirnya meraih kesuksesan di beberapa bidang seperti real estate, mining, banks (perbankan), railroads, kebun kelapa, tembakau, teh, karet, palm oil, dan tanaman tebu.  

Karena keberhasilannya inilah, pada 1911, beliau menggantikan posisi kakaknya sebagai Majoor Der Chineezen, sebuah komunitas khusus untuk warga Cina di Medan.

Dalam sejarahnya, Tjong A Fie terkenal dermawan dan banyak membantu warga pribumi.  Dia membangun sekolah, rumah sakit, kuil, gereja, masjid, dan fasilitas-fasilitas umum yang bisa dinikmati oleh semua orang dari berbagai ras dan agama, tanpa terkecuali.

Karena cintanya kepada sang istri, Tjong A Fie membangun the Mansion, sebuah hunian maha indah, di atas tanah seluas 8.000m2.  Rumah dengan 35 kamar dan 2 lantai yang sarat akan ribuan catatan sejarah ini, dibangun pada 1895 dan selesai pada 1900.  

Layaknya ras yang berpegang teguh pada adat lama, the Mansion didirikan berdasarkan prinsip-prinsip Feng Shui dengan sentuhan padu padan arsitektur Cina, Eropa, dan Melayu.

Tak ingin menghilangkan makna historik dan kenangan akan kehadiran seorang legenda Tjong A Fie, pihak keluarga akhirnya bekerjasama dengan Konsulat Jendral Amerika di Medan untuk melakukan restorasi melalui The USA AFCP GRAND yang diterima pada 2013. Dari titik inilah, the Mansion mulai beranjak menjalankan fungsinya sebagai museum yang wajib untuk dilestarikan.  

Mengantongi penghargaan seperti Anugrah Purwakalagraha Museum Awards dalam kategori Museum Cantik di 2016, the Mansion adalah satu titik besar yang memaknai keberadaan hunian keluarga sebagai historical jewel sepanjang masa, bagi Medan khususnya dan bagi negara Indonesia pada umumnya.

Ukiran kayu yang megah dan cantik di lantai 1 (Dok. pribadi)
Ukiran kayu yang megah dan cantik di lantai 1 (Dok. pribadi)

(Dok. pribadi)
(Dok. pribadi)

(Dok. pribadi)
(Dok. pribadi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun