Mohon tunggu...
Anni Rosidah
Anni Rosidah Mohon Tunggu... Guru - Penulis Buku Arah Cahaya

Jaga Selalu cita-cita dan mimpimu. Jangan Pernah kau padamkan. Mesti setitik, cita-cita dan mimpi itu akan mencari jalannya

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Arah Cahaya Part 18 (Petualangan Gua Surowono, Antara Hidup dan Mati)

27 Agustus 2023   09:39 Diperbarui: 7 September 2023   15:51 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini adalah minggu ketiga, Cahaya dan teman-temannya berada di kampung Pare. Seperti biasa, akhir pekan mereka gunakan untuk berlibur. Sehabis salat Subuh berjamaah di Mushola dekat kos. Cahaya dan teman-temannya biasa menghabiskan pagi dengan berjalan-jalan keliling desa. Menyusuri jalan menuju sawah dengan tanaman brokoli, kubis, kol, kentang, cabe dan segala macam tanaman hortikultura lainnya.

Karena tidak pernah melihat tanaman-tanaman itu sebelumnya, melihat momen panen menjadi agenda yang sangat menyenangkan bagi mereka. Mereka bahkan berfoto di sawah dengan latar tanaman hortikultura. Setelah puas berjalan-jalan, biasanya mereka akan bersantai di bawah rerimbunan pohon bambu atau yang biasa disebut barongan.

                Pagi itu, saat bersantai di barongan, mereka bertemu dengan teman-teman kursus. Mereka mengajak mengunjungi gua Surowono. "Ayo, ikut ke gua Surowono. Dekat kok. Kita naik andong saja. Nanti pulangnya jalan kaki saja," kata Dimas, salah seorang temannya. Setelah mengobrol lama, akhirnya mereka pun sepakat ikut juga.

Segera Cahaya dan teman-temannya pulang ke kos untuk membeli sarapan dan mandi. Setelah bersiap-siap semua, Cahaya dan kelima temannya menuju tempat janjian yang sudah ditentukan. Dan benar saja, teman-temannya sudah menunggu kedatangan Cahaya dan lima temannya. Tiga lelaki dan tujuh lainnya perempuan itu pun berangkat dengan andong yang sudah dipesan.

                Setelah perjalanan hampir 15 menit. Akhirnya mereka sampai juga di tempat yang dituju. Setelah membayar sejumlah uang, akhirnya andong pun pergi. Di tempat tersebut, ternyata sudah ramai pengunjung. Gua yang terletak di area persawahan dan barongan ini, sekilas memang tidak tampak seperti gua pada umumnya.

Gua Surowono merupakan gua atau lorong yang di dalamnya mengalir sebuah sungai yang airnya sangat jernih. Gua yang terletak di Desa Canggu, Kecamatan Badas, Kabupaten Kediri ini konon merupakan sistem kanal. Terowongan Surowono sering disebut terowongan pelarungan. Sebab pada zaman Majapahit, sering digunakan ritual larung sesaji.

Terowongan ini terdiri dari lima sumur dengan jarak antar sumur sekitar 50 hingga 60 meter. Mulut terowongan berbentuk kubah, selebar tubuh manusia dengan tinggi sekitar 160 cm hingga 170 cm, bahkan di antara sumur ke-empat dan ke-lima jarak dasar terowongan dan langit-langit hanya sekitar 60 cm.

Menurut kepercayaan masyarakat Desa Canggu, salah satu lorong dari Gua Surowono ini terhubung hingga keraton Panjalu/Kadhri/Kadhiri (Kabupaten Kediri, Jawa Timur sekarang). Konon sungai bawah tanah itu merupakan sebuah terowongan rahasia untuk melarikan diri jika terjadi sebuah prahara keraton.

Untuk memasuki lorong Gua Surowono, harus dipandu oleh penjaga, karena terdapat percabangan lorong yang bisa membuat orang tersesat di dalamnya. Pintu masuk dan pintu keluar Gua Surowono berbeda dengan gua lainnya, di sini, pintu masuk dan pintu keluar berada di tempat yang berbeda. Kebanyakan pengunjung hanya melihat di luar saja. Karena ajakan temannya, Cahaya dan kelima temannya pun akhirnya ikut masuk lorong gua.

"Ayo kita ikut saja, temanku ini asli sini. Dia yang akan memandunya," ajak Dimas dengan semangatnya.

Setelah menuruni anak tangga terakhir, tepat berada di pintu gua, arus sungai bening dan dingin bawah tanah sudah menyapu kaki. Lebar sungai bawah tanah itu hanya seukuran tubuh manusia dewasa. Bisa dibayangkan betapa sulitnya menyusuri lorong itu. Suara gemuruh air dengan penerangan yang minim sempat membuat Cahaya dan kelima temannya bergidik.

Dua temannya, Dayat dan Selly bahkan memutuskan keluar dan tidak meneruskan petualangan karena merasa sangat sesak napas. Tinggallah Cahaya dan dan kelima temannya dan seorang pemandu. Di dalam gua, atau tepatnya mirip sungai bawah tanah, terdapat beberapa cabang lorong. Inilah asannya kenapa pengunjung harus didampingi pemandu, agar tidak tersesat ke aliran sungai yang salah.

Hampir sepuluh menit perjalanan, jantung Cahaya terasa berdegup kencang. Ketika mulai memasuki lorong pertama, di area ini pengunjung masih dan bisa berjalan tegak, meskipun arus sungai menerpa hingga setinggi perut. Namun nyali benar-benar diuji ketika memasuki lorong kedua. Cahaya dan lainnya harus berjongkok untuk menyusuri derasnya arus sungai. Mau tidak mau, badan mereka terendam seluruhnya.

Puncak ketegaran nyaris runtuh, ketiga sampai di lorong ketiga dan keempat. Cahaya dan teman-temannya mengikuti sang pemandu yang berjalan sambil duduk, bahkan merangkak. Atap sungai bawah tanah yang rendah menjadi penyebabnya. Arus sungai sudah sejajar dengan leher. Bisa dibayangkan, bagaimana jika tiba-tiba banjir. Nyawa tentu menjadi taruhannya.

Entah mengapa, saat itu debit air terasa terus bertambah. Air yang dari tadi hanya sebatas leher, kini naik hingga telinga bahkan hampir tenggelam. Dalam ketakuan yang luar biasa, antara hidup dan mati, sang pemandu meminta agar mereka saling menjaga jarak. "Jarak kita jangan terlalu dekat. Agak berjauhan agar kita tidak sampai tenggelam. Dengan begitu, air tidak akan sampai terasa penuh.

Para petualang nekat itu pun masuk dalam ruangan sempit dan gelap. Dalam hati, Cahaya dan kelima teman-teman perempuannya seakan berada dalam titik terakhir dalam hidupnya. Antara hidup dan mati, atau nyaris mati. Mereka berdoa dan berselawat meminta perlindungan agar diberikan keselamatan kali ini.

Pikiran Cahaya seakan mengingat kembali tentang berita surat kabar tentang kematian pelajar atau mahasiswa saat jelajah alam. "Kali ini, pasti kami yang akan masuk berita dan menjadi bahan perbincangan," pikir Cahaya.

Setelah menyusuri gua yang konon merupakan sebuah terowongan rahasia kerajaan Panjalu sejauh kurang lebih lima puluh meter, akhirnya mereka melihat sebuah titik cahaya. Semakin didekati, cahaya itu tampak kian benderang. Dan benar saja, mereka melihat permukaan tanah yang terang.

Entahlah, bagaimana perasaan Cahaya dan teman-temannya saat itu. Berada disatu tempat antara hidup dan mati seakan membuat mereka tak ingin kembali mengulang hal yang sama. Ia merasa temannya itu sudah sangat membahayakannya. Melihat teman-temannya dalam ke-takutan teramat parah, Dimas hanya cengar-cengir saja. Baginya, kegiatan petualangan ekstrim mungkin sudah biasa.

Namun bagi Cahaya dan teman-temannya, hal itu sangat tidak biasa. Dalam basah kuyup seluruh badan dan jilbabnya, akhirnya mereka naik satu per satu dari luar gua. Berjuta syukur Alhamdulillah terucap di hati Cahaya dan teman-temannya. Setelah keluar, akhirnya Cahaya kembali ke kos dengan berjalan kaki mengikuti Dimas dan seorang pemandu jalan yang berjalan di depannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun