Mohon tunggu...
Anni Rosidah
Anni Rosidah Mohon Tunggu... Guru - Penulis Buku Arah Cahaya

Jaga Selalu cita-cita dan mimpimu. Jangan Pernah kau padamkan. Mesti setitik, cita-cita dan mimpi itu akan mencari jalannya

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Arah Cahaya Part 4 (Panen Masalah)

6 Agustus 2023   09:27 Diperbarui: 7 September 2023   16:08 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Momen panen merupakan waktu yang paling ditunggu oleh para petani. Tak terkecuali bagi orang tua Cahaya, khususnya untuk ibunya. Seperti biasa, butuh waktu berminggu-minggu untuk orang tua Cahaya memanen jagung dan padi yang dipanen karena luasnya lahan yang ditanami.

Kali ini, orang tua Cahaya memulai memanen padi. Sistem panen di desa Cahaya tidak seperti di daerah lain. Di sini, para pekerja yang menanam (tandur) padi-lah yang memanen dan mengolah dari tanaman padi hingga berubah jadi bulir-bulir padi.

Padi dari sawah diangkut oleh para pekerja tandur dengan keluarganya dengan motor untuk di bawa pulang ke rumah si-empunya sawah. Biasanya para pekerja yang kebanyakan suami istri yang memanen atau ngerit padi. Kemudian di bawa pulang ke rumah pemilik sawah hingga digiling menjadi butiran padi dan disisihkan dari kotoran yang masih menempel dengan tampah.

Kemudian, bulir padi yang didapat diukur dengan ebor sejenis anyaman bambu berbentuk setengah lingkaran. Biasanya Setiap tiga ebor padi diambil pemiliknya baru kemudian diambil satu `ebor untuk pekerja tandur. Begitu seterusnya. Sehingga semua orang meskipun tidak punya sawah, tetapi mereka semua mempunyai simpanan berkarung-karung padi di dalam rumah. Sehingga untuk kebutuhan makan sehari-hari mereka tidak harus membeli beras.

Kali ini, hasil panen padi orang tua Cahaya sangat melimpah. Bangunan dapur ukuran 9 x 6 meter itu penuh dengan karungan padi dari lantai hingga atapnya. Biasanya, orang tua Cahaya tidak menjual langsung hasil panennya. Hasil panen padi baru dijual saat harga gabah naik. Hal itu dilakukan karena biasanya saat musim tanam, harga gabah anjlok. Sehingga banyak warga di desa memilih menjual hasil panen saat harga mulai tinggi.

Rasa bersyukur dengan hasil panen dirasakan ibu Cahaya. Usahanya selama empat bulan dirasa dapat memenuhi semua kebutuhan keluarga bahkan untuk menanam lagi. Tak lupa, ibu Cahaya menggilingkan beberapa karung padi menjadi beras untuk dibagikan kepada saudara-saudara dan tetangga-tetangganya yang kurang mampu.

Biasanya, setelah panen dan musim tanam, ibu Cahaya sering menghabiskan waktu di rumah orang tuanya. Kakek dan nenek Cahaya yang sudah tua memang sudah lama sakit lumpuh sehingga anak-anaknya yang perempuan, termasuk ibu Cahaya banyak menghabiskan waktu untuk mengurus mereka. Sedangkan anak-anak yang laki-laki membantu dalam keuangannya.

Suatu sore saat Mardiyah, ibu Cahaya pulang dari mengurus bapak/ibunya yang juga kakek dan nenek Cahaya yang rumahnya tetangga desa dari rumah Cahaya, betapa kagetnya karena hasil panen padi yang begitu banyak di dapur belakang rumahnya raib entah ke mana. Saat tahu bahwa hasil panen itu dijual oleh suaminya tanpa sepengetahuannya timbullah pertengkaran hebat di antara keduanya. Dan akhirnya, ibu Cahaya hanya bisa menangis dan menangis tanpa bisa berbuat apa-apa.

Uang hasil menjual padi yang bertumpuk banyaknya tak tahu entah ke mana. Mungkin untuk melunasi utang-utangnya atau melunasi uang pajak yang digunakannya yang tak terasa menumpuk begitu banyaknya. Bertahun-tahun hal itu dialami oleh Mardiyah. Sehingga tak jarang ia meminta bantuan dari orang tuanya untuk menutup kebutuhan keluarga.

Namun, lama kelamaan Mardiyah mencari solusi agar dapat mencukupi kebutuhan keluarga dan anak-anak yang tidak sedikit jumlahnya. Mulailah ia beternak ayam petelur di kandang belakang rumah. Usaha itu pun berkembang dan dapat menutup semua kebutuhan keluarga. Bahkan jika ada sisa, tak lupa ia menyimpannya untuk membeli sawah tahunan agar menambah penghasilan tanpa sepengetahuan suaminya.

Tak jarang Mardiyah menyiasati dengan menanam tanaman sayur seperti cabe kecil, cabe besar atau ketimun dan terong agar hasil panen tak bisa lagi dijual sesuka hati oleh suaminya. Hal itu karena jika menanam sayuran, uang panen bisa didapatkan setiap minggu dari hasil panen. Dan ia sendiri yang memegang hasil panennya. Apalagi setelah kematian kedua orang tuanya, tak ada lagi yang bisa diandalkan saat butuh uang untuk menutupi kebutuhan keluarga. Sementara suaminya, harusnya sudah cukup dari menjual tanah bengkok sebagai kepala dusun yang ia punya.

"Kekuatan terbesarku adalah melihat ibuku yang tak pernah hancur walau dibanting setinggi-tingginya dan tak tenggelam walau ditekan sekuat-kuatnya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun